Minggu, 23 September 2007

UN, Masih Perlukah?

Oleh: Rosyidah Purwo

Ujian Nasional (UN) sudah di ambang mata. Guru-guru di sekolah-sekolah SD, SMP, dan SMA, sudah mulai kebat -kebet, merasa khawatir dan takut kalau-kalau anak didiknya banyak yang tidaklulus. Para orang tua tidak kalah takutnya. Begitupun dengan mereka yang hendak melaksanakan UN.

UN 2006 telah membawa kenangan buruk bagi anak-anak sekolah dan orang tua. Kenyataan bahwa banyak anak yang berprestasi selama di sekolahnya, bahkan yang sudah diterima di sebuah Perguruan Tinggi ternyata tidak lulus, membawa mereka pada sebuah bayangan hidup yang menakutkan, dan masa depan suram yang siap menghadang. Tidak sedikit anak-anak atau orang tua yang stres karenanya.

UN= “Monster” Menakutkan
Berbekal dari pengalaman UN 2006, telah membawa anak-anak sekolah dan orang tua banyak yang merasa khawatir untuk menghadapai Ujian Nasional. Mereka takut kalau-kalau gagal dalam menempuh ujian. Gagal ujian sama artinya dengan hancurnya masa depan.

Beban psikologis, menghantui mereka. Takut dan cemas menjadi teman hidup. Seharusnya adanya UN tidak menjadikan demikian namun, melihat pengalaman UN tahun 2006, menjadikan UN seolah-olah merupakan beban hidup yang yang teramat berat. Seakan-akan UN adalah “monster jahat” yang siap mengambil nyawa kapan saja.

Akibatnya, mereka yang seharusnya belajar dengan tenang untuk menghadapai Ujian, menjadi kehilangan rasa nyaman dan tenang untuk belajar. Jika begitu, bukan penguasaan materi yang didapat, namun tidak lebih dari rasa kawatir, takut, dan cemas.

Menyimpang dari Undang-Undang Sisdiknas
Melihat UN 2006 yang sangat tragis, sebuah media memberitakan bahwa ujian tahun depan akan ditingkatkan kualitasnya. Muncul sebuah pertanyaan, kualitas yang bagaimana?

Sebenarnya bukan masalah kualitas yang perlu dipermasalahkan, namun sistem yang perlu diluruskan.

Melihat sistem UN 2006 kemarin yang mana sistem penilaiannya hanya melihat dari satu aspek saja, jelas sekali pemerintah tidak memperhatikan sistem dan proses pendidikan yang ada. UN hanya diukur dari satu aspek kompetensi kelulusan saja yakni aspek kognitif.
Padahal menurut penjelasan pasal 35 ayat 1 UU Sisdiknas, kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). Dalam kaitannya dengan mutu pendidikan, UN hanya melakukan evaluasi terhadap peserta didik.

Padahal, menurut pasal 57 UU Sisdiknas, mutu pendidikan seharusnya didasarkan pada evaluasi yang mencakup peserta didik, lembaga, dan program pendidikan. Jelas sekali pemerintah melanggar UU Sisdiknas.

Hak Guru Dikebiri
UU Sisdiknas telah dilanggar, adalah satu point negatif untuk pemerintah. Tapi pemerintah sepertinya tidak cukup puas hanya dengan menciptakan satu point saja. Lagi-lagi, pemerintah mencetak satu point negatif. Sistem UN telah melakukan pengebirian terhadap hak-hak guru.

Hak guru dikebiri begitu saja dalam hal pengambilan keputusan terhadap rangkaian proses pengajarannya. Dalam proses mengajar diwajibkan guru membuat perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Tetapi hak untuk mengevaluasi tidak diberikan untuk ujian akhir jenjangnya.

Dengan adanya ujian nasional versi pemerintah, mutlak jerih payah siswa selama setahun terakhir sekolah tidak dijadikan pertimbangan sama sekali. Padahal di situlah “rekaman” penting guru tentang kondisi terakhir siswa.

Dari “rekaman” pantauan itu, gurulah yang tahu persis siswa layak lulus atau tidak. Jadi tidak seperti sekarang ini penentuannya hanya diambil pada saat ujian nasional saja. Itupun tidak seluruh mata pelajaran. Sia-sia dong pengorbanan guru selama tiga tahun. Jika demikian, masih perlukah UN diadakan?

Tidak ada komentar: