Minggu, 19 September 2010

Kebiasaan

Oleh: Rosyidah Purwo

Siapa yang menyangka, dari sebuah kebiasaan ternyata dapat membawa keberuntungan. Memang sih..tidak semua kebiasaan dapat membawa hoki, kebiasaan buruk mislnya.
Eit, jangan salah. Kebiasaan buruk-pun sewaktu-waktu dapat membawa keberuntungan juga. Mau tahu contohnya apa? Seorang ibu di belakang rumah saya memiliki seorang anak laki-laki yang doyan mabok-mabokan. Nah, suatu saat si Ibunya anak ini dongkol banget dengan anak laki-laki pertamanya.

Konon ceritanya, si anak sudah kebelet untuk menikah. Bukannya ia bekerja penuh semangat, penuh rasa tanggung jawab, berdisiplin, dan hemat. Eh, si anak malah enak-enakan mabok dan kongkow-kongkow di jalan bareng sama teman satu geng-nya. Kontan saja, Si Ibu berkata, “bocah kaya kue angger mati bae lha jujur, ora gawe beban wong tua!” (artinya: anak seperti ini, mati saja sana! Bikin beban orang tua saja!) Si Ibu ini sudah tidak tahan lagi rupanya dengan tingkah laku anaknya. Maka si Ibu ini kepengin anaknya mati.

Nah lo, mau tahu apa keuntungannya apa? Jika anak ini mati, mungkin tidak jadi beban orang tua kali ya? He he he, dan satu lagi mengurangi jumlah pengangguran dan kepadatan penduduk Indonesia Raya tercinta, tanah iar kita.

Nah, kaitannya dengan kebiasaan, ada sebuah cerita menarik. Ada seorang perempuan yang memiliki kebiasaan unik. Kebiasaan itu adalah hal yang sangat sepele. Ia selalu meletakan gayung mandinya dengan posisi gagang (pegangan) berada pada arah luar. Artinya, bagian pegangan itu mengarah pada luar bagian bak mandi.

Suatu pagi, perempuan ini mandi pagi-pagi sekali. Dengan giat, perempuan ini menyiapkan segala perlengkapan mandinya. Sabun cair merek Biore, pasta gigi Pepsodent, sikat gigi dan sabun muka merek Nivea. Handuk dan baju ganti tentunya ia bawa serta ke kamar mandi.

Sebelum mulai mengguyur dirinya dengan air yang teramat dingin pagi itu, permpuan ini menggosok gigi, menyikat jari-jari, dan menyabun mukanya. O iya, tentunya ia tidak melakukan rutinitas gosok gigi dan cuci mukanya di atas wastafel karena memang tidak ada.

Saat sedang khusyu’ dan asyiknya menyabun muka, tiba-tiba matanya kemasukan sesuatu yang membuat perih dan pedas. Ia memejamkan mata sekuat-kuatnya sambil tangannya mencari-cari gayung yang ia letakkan saat sebelum mandi.

Meskipun dalam keadaan gelap gulita karena mata terpejam, perempuan ini dengan sangat cekatan mengambil gayung mandinya. Nah, di sini ni untungnya...karena sudah terbiasa meletakan gayung dalam posisi yang sudah saya ceritakan tadi, maka perempuan tidak perlu terlalu panic dan bingung mencari-cari gayungnya. Justru sambil berdendang ria dan senyum selebar-lebarnya, perempuan ini mencari-cari gayungnya yang sudah sangat diketahui keberadaan dan posisinya.

Mau tahu keuntungannya apa? Coba bayangkan, apabila perempuan ini meletakkan gayung dengans embarangan, bisa jadi air satu bak mandi besar kotor semua gara-gara terkena sabun cuci muka yang menempel di tangannya. Apajadinya bila sudah demikian? Gagal mandi deh. Terus...jadi boros deh. Airnya dibuang sayang tanpa dimanfaatkan.
Nah lo, sudah tahu bukan apa keuntungannya memiliki kebiasaan?

Wisma Pereng
Beside of Purwokerto Central Jail
050610, 06.40wib

Oleh-Oleh dari Yogyakarta “Drs. Sidik Jatmika, Tertawa, dan Air Mata”

Oleh: Rosyidah Purwo

Perjalanan Purwokerto-Yogyakarta memang cukup melelahkan. Apalagi jika kendaraan yang ditumpangi kurang nyaman. So pasti, lelah itu bakalan nempel terus sampai tempat tujuan.

Namun lelah itu bisa terobati dengan suguhan pemandangan Yogyakarta yang eksotis dan nyentrik. Meskipun di bebarapa sudut jalan utama masih terlihat kesemrawutan dan bau pesing masih menghiasi sepanjang Jalan Malioboro-Taman Pintar.

Hari itu, Minggu, 08 Agustus 2010. Jam menunjukkan pukul 05.30wib. Sebanyak 10 bus pariwisata telah berjejer rapi di sepanjang jalan Gatot Soebroto, Purwokerto. Terlihat hiruk-pikuk peserta tour Jogjakarta-Purwokerto.

Bus melaju perlahan. Segera, dinginnya AC menembus sampai ke pori-pori kulit. Bersama teman satu kursi, saya ngobrol ngalor-ngidul. Sekadar bersenda gurau dan beramah-tamah.

Saya melontarkan sebuah pertanyaan, “apa hebatnya Taman Pintar?” lalu disusul dengan pertanyaan berikutnya, “bisa hanya dalam hitungan bulan, objek wisata ini cepat terdengar gaungnya sampai luar kota.

Berawal dari pertanyaan itu, kami ngobrol ngalor ngidul seputar Taman Pintar dan Jogjakarta. Bahkan sampai hal sepele yang sepertinya tidak perlu untuk dibicarakan. Yaitu mengenai sebuah tulisan milik seorang mantan pelawak yang konon sekarang mengaku dirinya sudah taubatan nashuha dari profesi nge-lawaknya.

“Saya penasaran dengan tempat-tempat pipis strategis mbok-mbok bakul yang diceritakan itu, lhoh. Di mana ya?” saya melontarkan kalimat itu kepada teman saya . Sepertinya teman saya kurang respek dengan pertanyaan itu. Maka jurus “caper” saya keluarkan. Saya tertawa terbahak dengan buku di tangan. Berhasil! Yes, yes, yes! Begitu batin saya sambil nyengir kuda. Teman saya me-respek "aksi" saya.

“Ada apa, Mbak?” tanya teman di sebelah saya, sambil tersenyum penasaran. “Nggak ada apa-apa. Ini ceritanya lucu sekali.” Sambil memasang ekspresi muka tak butuh dengan teman di sebelah saya. Lalu saya tertawa lagi. “Ih, Mbak. Lucu ya…?” saya mengangguk sambil matanya lurus ke buku yang sebenarnya tidak saya baca. “Pinjem dong…” katanya.

Yes, yes, yes! Berhasil, berhasil, berhasil, batin saya girang. Ehem, ehem, saya mengambil suara. Mulailah saya bercerita tentang buku yang saya baca enam bulan silam. “Waaah, bagus banget. Pinjam bukunya dong!” segera saja saya berikan buku itu.

Saya perhatikan mimik muka teman sebelah saya. Ah…tak jauh beda dengan saya, batin saya. Setiap kali senyumnya mengembang, bahkan tak jarang ia mengeluarkan suara cekikikan, alias tertawa kecil-kecil dengan tulus dan ikhlas dan lepas.

“Nanti kita nyari tempatnya ya?” kata saya. “Tempat apa?” tanyanya. “Tempat pipis mbok-mbok bakul,” jawab saya. Saya perhatikan ekspresinya, ternyata teman saya tersenyum. Berarti sudah membaca bagian “si Mbok-Mbok Bakul yang Pipis Sembarangan”.

Pukul 13.45wib, bus kami sampai di objek wisata Taman Pintar. Percaya tidak percaya, hidung saya mendengus sepanjang perjalanan menuju taman pintar, sebab jalanan yang berbau sesuai dengan yang diceritakan di buku itu adalah, sepanjang jalan menuju taman pintar. Andaikan ada kamera pengintai, barangkali saya seperti orang sinthing yang kurang kerjaan, tapi melakukan itu sungguh mengasyikan. Membuat awet muda. Ini bukan karena pengaruh bau pesing air kencing yang sudah mengering sebab terkena sengatan mpanasnya matahari, namun geli dengan apa yang saya lakukan dan heran dengan si pengarang buku.

Drs. Sidik Jatmika, M.Si. Itulah sebuah nama yang tulisannya membuat saya tertawa terpingkal-pingkal saat pertama kali membacanya, dan terpingkal-pingkal ke dua kali saat membaca bersama teman satu bangku di bus pariwisata Queen yang bernomor urut 4.

Buku ini pula yang memberiku segudang pengetahuan remeh namun bermanfaat besar sekali. “Urip Mung Mampir Ngguyu” itulah judul bukunya, menulis ini saya jadi ingin berpendapat, menurut saya buku ini wajib di baca oleh setiap orang yang hendak berkunjung ke Jokjakarta! Jika tidak, cilaka 12! Penasaran? Baca saja sendiri bukunya dech!

Tentang pertanyaan saya yang diajukan ke teman mengenai Taman Pintar terjawab sudah saat saya menginjakkan kaki di sana. Sebuah suguhan ilmu pengetahuan modern, tradisional, kimia, fisika, bahasa, biologi, dll, disajikan dalam bentuk yang luar biasa hebat! Fantastis!

Menghilangkan rasa penasaran, saya mencoba beberapa peraga ilmu pengetahuan yang disajikan di sana. Salah satunya mengenai enegri listrik dan cahaya. Saat tengah asyik mencoba-coba, seorang teman mendekat. Ia memberikan uang sejumlah 300 ribu rupiah. Sebagai uang arisan yang tertunda pembayarannya. “Bener ya, Mbak?” saya menganggukan kepala dan menerimanya dengan senang hati tanpa beban perasaan apapun. Sebab tak terlintas sedikitpun pikiran aneh-aneh. Saya berpikir praktis saja. Dengan begini, saya tidak perlu mencari-carinya lagi saat di sekolah. Sebab saya yang akan kelelahan sendiri, naik turun tangga, mencari ke sana kemari. Mengirim SMS atau mencegatnya saat di jalan. Begitu pikir saya waktu itu.

2 jam, Taman Pintar habis diaduk-aduk, diputar-putar dari satu sudut ke sudut lain, dari satu sisi ke sisi lain, dari satu tempat ke tempat lain. Merasa sudah cukup, saya dan teman keluar melewati Gedung Kotak. Mencari jalan keluar cukup sulit rupanya, muter sana, muter sini, akhirnya ketemu setelah beberapa kali nyasar.

Saya dan teman bertemu teman tengah duduk-duduk di tamannya Taman Pintar, saya dan teman ikut gabung bersama mereka. menyempatkan diri berfoto ria dengan mengambil sejuta gaya meskipun hanya kena gambarnya lima buah saja.

Dari Taman Pintar, saya dan teman menuju pasar Bring Harjo. Kami melihat-lihat aneka macam batik yang cantik nan indah. Dari berbagai macam jenis dan ukuran, model dan warnanya sungguh indah. Hampir setipa kiso kami hampiri meskipun sekadar melihat-lihat. Setelah merasa cukup, saya akhirnya mengambil dua potong celana panjang batik dan satu daster lengan pendek. Pesanan adik tercinta dan mama tercinta. Sementara untuk saya sendiri, tak ada satu pun barang yang dibeli.

Merasa lelah dan lapar, saya dan teman mampir ke warung baso di salah satu sudut Jalan Malioboro. Rupa-rupanya kegiatan memilih, menawar, melihat, memegang, mencium, telah menguras banyak energy dan pikiran. Untuk mengganjal perut, saya dan teman membeli satu mangkok baso rasa aneh. Meskipun begitu tetap saja nikmat sebab perut terasa sangat lapar.

Perut kenyang, Jajan, dan Belanja sudah dapat, sepertinya istirahat cocok sekali. Kami memutuskan untuk beristirahat di masjid Agung Yogyakarta. Di pintu gerbang masjid, saya berpapasan dengan teman yang memberi uang arisan dengan dua anaknya. Satu digendong, sementara yang satunya dituntun. Di tangan mereka tak terlihat barang belanjaan.

Deg!
Ya, Alloh! Mungkinkah mereka tidak membeli satu barang pun? Itu pikir saya. Saya tidak berani menatap mereka. Saya mengajak cepat-cepat teman untuk bersegera menuju masjid. Saya duduk di salah satu sudut masjid. Pikiranku melayang pada teman di pintu gerbang. Sedikit sesal menggelayut di benak saya. Mengapa tak terpikirkan sama sekali olehku akan hal ini? Air mataku menitik.

Purwokerto, 09 Agustus 2010
(00.50wib)