Minggu, 04 Desember 2011

Dubur adalah Silit

Oleh: Rosyidah Purwo*)

Di suatu sore dengan hujan rintik-rintik. Adik perempuan saya baru saja pulang dari menjenguk saudara yang konon ceritanya menderita sakit usus buntu. Karena harus dioperasi, maka saudara saya ini harus menginap di rumah sakit selama kurang lebih satu minggu lamanya.

Di sore hari dengan hujan rintik-rintik itu, saya dan suami sedang  asyik menikmati teh manis hangat dan mendoan (makanan khas Banyumas) buatan saya. Memang, sore hari dengan hujan rintik-rintik lebih cocok jika dibuat untuk ngemil, apalagi di daerah pegunungan yang cukup dingin seperti tempat saya tinggal sekarang, teh hangat dan mendoan sepertinya adalah menu yang pas buat menemani duduk santai.

Dalam acara santai dan menyenangkan itu adik saya yang sedang asyik melakukan kegiatan rutinnya, menyetrika baju, tiba-tiba terkikik sendirian. Saya dan suami yang tengah asyik menikmati cemilan dan nonton TV kaget. Lalu saya bertanya, “ada apa, Dik?” tanya saya sedikit heran dan penasaran.

“Itu, Teh (sapaan Adik saya kepada saya), saya dapat cerita lucu banget” katanya sambil setengah tertawa, sambil mata dan tangannya sibuk menata baju-baju, “tadi siang saya menjenguk Wa (sapaan kepada Bu Dhe dan Pak Dhe di daerah Banyumas), “terus di sebelah kamar Wa, ada pasien nenek-nenek yang sudah agak tua”.  Begitu ceritanya sambil terus asyik menyetrika dan menata baju-baju.

Menurut cerita adik saya, nenek-nenek ini sudah kurang pendengarannya. Pada saat jam diperiksa dokter, nenek ini diminta memasukan satu tablet kapsul ke dalam dubur. Karena entah sakit apa sehingga ia diminta untuk memasukkan obat melalui dubur. Bukan melalui mulut.

Seperti diketahui oleh kebanyakan orang, semua obat berbentuk tablet, pasti dimasukan melalui mulut. Namun karena sakit yang diderita oleh si nenek tua ini agak berbeda dari sakit-sakit yang biasa diderita oleh orang-orang yang memasukan obat tabletnya melalui mulut, maka nenek ini diminta memasukannya melalui dubur.

“Bu, nanti obat ini dimasukkan ke dubur ya...” kata dokter memberi saran pada pasien nenek tersebut, “setengah jam lagi saya kesini lagi” kata dokter. Setelah memberikan obat itu, dokter pergi meninggalkannya dan berpindah pada pasien lain.

30 menit berlalu. Dalam kurun waktu tersebut nenek-nenek ini dilanda bingung yang luar biasa. “Eh, kae mau doktere ngomong dubur maksude apa ya? (tadi pak Dokter ngomong dubur maksudnya apa? Tanya nenek tua pada teman di sebelahnya. Kebetulan teman yang ditanya juga sama-sama seorang nenek tua yang sepertinya kurang berpengalaman. Terbukti dengan jawabanya yang luar biasa polos dan lugu. “Oh, kae mau maksude bubur. Obate kon de maem nganggo bubur” (maksudnya bubur. Obatnya diminum pakai bubur).

Si nenek yang menerima obat tablet kapsul makin bingung karena di bangsalnya tidak ada bubur dan menu makan siangnya juga bukan bubur melainkan nasi lembek dengan sayur bening dan tahu yang dikukus serta telur rebus. “La, deneng aku ora dewei bubur? (mengapa saya tidak dikasih bubur?), imbuhnya bingung.
Ya aja dinum disit mbok salah. Apa mengko bar dzuhur ndean? (jangan diminum dulu, barangkali salah. Mungkin diminta diminum setelah dzuhur). Timpal pasien lain yang tak lain juga seorang nenek-nenek.  Setelah itu tiga nenek-nenek itu sepakat membiarkan obat tergeletak dipiring obat milik nenek tua.

30 menit berlalu. Dokter  memeriksa pasien nenek-nenek tersebut. Betapa kaget dan gemasnya si dokter melihat obat masih tergeletak utuh di meja. “Mengapa obatnya masih utuh?” tanya dokter sedikit gemas. “Ngapunten pak Dokter, wau niku maksude napa? Dubur niku napa?” (maaf, pak Dokter, dubur itu artinya apa?) tanya pasien polos.

Tentu saja dokter itu menjadi tertawa melihat kepolosan si pasien. Sambil menghela nafas dalam, dokter menjawab, “dubur niku silit. Obate lebokna silit, Bu...” (dubur itu silit.  Obatnya dimasukan ke silit, Bu). Silit adalah bahasa ngoko daerah Banyumas untuk mengistilahkan dubur. Begitulah obrolan kami di sore hari dengan hujan rintik-rintik itu.

*)Rosyidah Purwo. Nama pena dari Narsiti, sekarang menjadi staff pengajar di SD Al Irsayd Al Islamiyyah 01 Purwokerto. 

Minggu, 10 Juli 2011

Duri Mawar dan Teguran

Oleh: Rosyidah Purwo*)
Pagi yang masih buta. Udara terasa begitu dingin dan menusuk. Dengan sepeda motor saya dibonceng pulang ke kost. Meskipun sudah mengenakan jaket tebal, satung tangan, dan masker, tetap saja udara masih terasa dingin. Dalam 25 menit, saya menempuh perjalanan dari rumah menuju kost.

Jam di HP saya (maklum, jam tangan cantik saya hilang, dan belum memiliki kesempatan untuk membeli, maka saya mengandalkan HP untuk melihat perjalanan waktu) menunjukkan pukul 05.54 wib. Jalanan masih sangat sepi, namun beberapa anak berseragam sekolah sudah terlihat di kanan-kiri jalanan. Menunggu angkot atau jemputan.

Di pinttu gerbang kost, satu hal yang sudah pasti saya cek lebih dulu adalah melihat gembok di pintu gerbang. Memastikan pintunya dikunci atau tidak. Karena pemilik pintu gerbang ini sedikit aneh. Ia tidak selalu mengunci pintu gerbanganya. Jadi kadang-kadang dikunci, kadang-kadang tidak.

Dan pagi itu, pintu gerbang dalam keadaan TERKUNCI! Ah, tentu saja bukan keberuntungan bagi saya. Sebab dengan begitu berarti saya harus repot dulu menghubungi ibu kost melalui telepon. Celakanya, pagi itu saya membawa HP yang tidak tertulis nomor telepon kost saya. Lebih parahnya lagi, pulsa di HP saya tinggal Rp 50,00!

Jam di HP menunjukkan pukul 06.00 wib. Sebab takut terlambat peri ke sekolah, saya mencoba mengucapkan salam dengan setengah berteriak. Tujuannya adalah agar si empunya pintu gerbang bisa mendengar suara saya . Ternyata usaha saya gagal dan sia-sia. Si empunya pintu gerbang tak kunjung muncul. Kecewa tentu saja. Sedikit umpatan muncul di hati saya (saya memiliki alasan mengapa saya sedikit mengumpat, suatu hari saya pernah meminta kunci serep agar tidak merepotkan ibu kost, namun permintaan saya ditolak. Berarti jika ada problem seperti ini, bukan kesalahan saya).

Mungkin Tuhan masih sayang dengan saya. Entah mendapat sinyal dari mana, ibu kost keluar dari rumahnya. “Sudah dibuka belum?” tanyanya. Dengan melambaikan tangan saya menjawabnya.
Segera Ia masuk kembali ke dalam. Dan keluar lagi dengan tangan kosong. Karena ternyata kunci gerbang dipegang oleh cucu tercintanya yang akhir-akhir ini suka sekali pulang di atas jam 9 malam. Lalu ia berjalan pelan menuju ke rumah pak RT yang tidak lain adalah adik dari suaminya. Kebetulan rumah pak RT ini bersebelahan dengan rumah bu kos saya.

Dengan menggunakan lonceng yang tombolnya adalah tali panjang yang harus ditarik saat membunyikannya, ia mengetuk pintu rumah pak RT. Beberapa saat ia menunggu. Tak ada orang keluar. Lalu ia masuk lagi. Saya merasa kasihan sebenarnya. Barangkali ia menghubungi rumah pak RT melalui pesawat telepon. Dalam beberapa menit, seorang gadis kecil keluar dengan membawa kunci.
“Mbak, lewat gerbang sebelah,” kata ibu kos saya. Saya menyetujuinya dengan segera berjalan ke sana. Gerbang sebelah ini adalah gerbang yang jarang sekali saya lewati. Sebab saya merasa lebih jauh jika harus melewatinya. Dalam keadaan yang sedikit dongkol saya masuk. “Ah, ribet sekali!” begitu saya berkata pada diri sendiri dengan sedikit ketus.
Dengan bercepat-cepat saya mengenakan seragam mengajar hari Senin. Dalam waktu 10 menit saya selesai berias diri. Waktu di jam dinding kamar menunjukkan pukul 06.25 wib. Masih ada waktu 15 menit untuk menuju ke sekolah (jam masuk bagi guru di sekolah saya adalah pukul 06.45 wib), namun saya berangkat lebih awal karena ini adalah ahri pertama masuk sekolah.
Di halaman kost, tepatnya di depan warung soto milik bu Harni (warung yang berdiri sejak Ramadhan tahun lalu namun tidak pernah ramai oleh pengunjung) saya berjalan cepat-cepat dengan lambaian tangan yang panjang.
Srek! Tak sengaja duri pohon mawar (yang tumbuh rimbun di sana) menancap di jari telunjuk tangan kiri saya. Rasanya, luar biasa sakit! Darah segar berwarna merah mengalir. Sepanjang jalan menuju sekolah saya mengaduh kesakitan.

Ini adalah teguran bagi saya. Mungkin Tuhan sedang berkata, “jangan emosi, dan jangan tergesa-gesa!”

*)Rosyidah Purwo. Staff Pengajar di RSDBI Al Irsyad Al Islamiyyah 01 Purwokerto.

Segalanya Bergantung Pada Diri Sendiri

Oleh: Rosyidah Purwo*)

Suatu pagi yang cerah. Seorang kawan bercerita kepada saya tentang anak-anak didiknya yang konon ceritanya, anak-anak di sekolahnya sangat susah diatur. Saking susahnya, sampai-sampai kepala sekolahnya menangis. Saya terdiam mendengar ceritanya.

“Masa sampai sebegitunya?” tanya saya sedikit guyonan.
“Benar sekali. Saya yang merasakan sendiri,” katanya menggebu-gebu. Saya tersenyum.
“Saya senang sekali melihat anak-anak di sini. Enak diatur,” katanya (sepertinya si terkagum-kagum).

Sebagai guru dari anak-anak yang konon mudah diatur, tentu saja saya cukup bangga. Meskipun dalam hati berkata (masa se? Apa tidak salah penilaiannya?). Sepertinya tak ada salahnya juga, apabila rasa bangga itu muncul. Bukankah benar atau tidaknya, baik atau buruknya sesuatu adalah orang lain yang menilai? Mudah-mudahan apa yang dikatakan kawan saya ini tidak dibuat-buat.

“Jangan begitu. Jenengan berlebih-lebihan menilainya. Mungkin ini hari pertama, jadi belum ketahuan aslinya,” kata saya menanggapi.

“Oh tidak. Ini benar, Bu. Saya kalau mengajar di sana mbok, sampai membawa gitik,” katanya masih menggebu-gebu. Ingin tertawa rasanya saya melihat ekspresi wajahnya. (Syukur Alhamdulillah kalau betul demikian, batin saya barkata).

Kaitannya dengan kasusnya kawan saya ini adalah pengalaman saat 11 tahun silam. Saat saya masih menuntut ilmu di bangku SMA.

Masih terekam dengan baik di memori ingatan saya. Saat itu, saya nyambi belajar agama di sebuah pesantren di wilayah Purwokerto. Di pesantren itu saya termasuk salah satu murid yang paling tidak bias membaca Al Quran. Di antara teman-teman di sana, saya adalah murid paling tidak bias. Bagaimana tidak, teman-teman saya yang masih duduk di bangku SD sudah mencapai hafalan surat Yasin, sementara saya masih hafalan surat Al Fatehah.

Tentu saja ini adalah kasus berat bagi guru saya di sana. Barangkali saja guru saya juga bosen minta ampun setiap kali mengajar saya. Namun, sungguh luar biasa sekali guru saya itu. Tidak pernah saya mendengar kata-kata negative keluar dari mulutnya. Hanya dzikir dan istighfar yang kerap kali Ia lontarkan. Sampai akhirnya saya menyelesaikan hafalan juz 30 dalam waktu satu tahun, guru saya tidak pernah sedikitpun mencaci, membenci, bahkan, mengumpat.

Bahkan guru-guru di pesantren saya 11 tahun silam itu, tidak pernah mengeluarkan kata-kata “anak nakal, anak tidak bias diatur, dll”. Tentu saja ini tergantung pada diri sendiri. Nah tentang kasus tentang kawan saya itu, mungkin saja kawan saya masih menganggap anak-anaknya susah diatur, susah diarahkan, dll. So, segalanya tergantung pada diri sendiri. Bagaimana?

*)Rosyidah Purwo. Staff Pengajar di RSDBI Al Irsyad Al Islamiyyah 01 Purwokerto.

Rabu, 29 Juni 2011

Sakit; Ujian atau Adzab Tuhan?



Oleh: Rosyidah Purwo*)

Ayat-ayat suci itu dilantunkan setiap habis maghrib dan selesai sholat subuh. Satu ayat tak pernah alpa ia hafalkan setiap pagi menjelang berangkat ke tempat kerja. Setiap harinya ia bacakan ayat-ayat suci Tuhan tak pernah telat dari satu juz.

Dari pukul 07.00-14.30 ia bagikan ilmu yang dimiliki bersama anak-anak kecil yang lucu dan imut. Di sore dan malam harinya, ia manfaatkan waktu luangnya untuk mendampingi anak-anak slow learn sebanyak 14 anak ditemani dengan dua kawan karib yang mendapat tugas dari sekolah di mana mereka mengajar. 

Suatu malam, datang seorang bapak setengah tua. Malam itu ia sedang duduk santai bersama nenek tua di rumah kostnya. Bapak itu datang dengan mengenakan setelan batik dan celana panjang hitam serta kopyah beludru warna hitam. Duduk santai mereka di teras rumah kost. Hujan turun rintik-rintik. Rumah kost yang luas dan tua terkesan lebih serem dari biasanya.

Cas cis cus, bapak setengah tua ini berkata dengan penuh semangat dan hati-hati sekali. Dengan keramah tamahan yang tidak dibuat-buat, bapak setengah tua ini mampu meluluhkan hatinya yang angkuh setinggi gunung dan sekeras es. 

“Hmm…saya tidak tahu, Le’. Saya masih bimbang dan bingung. Saya perlu konsultasi dulu” jawabnya setelah mengetahui dengan jelas maksud dan tujuan kedatangan bapak setengah tua itu.

Malam itu, adalah 25 Februari 2011. Setelah itu ia menderita sakit yang berkepanjangan dan berujung pada typhus yang sempat membuat ia terbaring di rumah selama 10 hari.

Kata-kata dari bapak setengah tua itu telah membuat dirinya jatuh sakit dan tak berdaya. Sakit yang membuat dirinya tak bisa maksimal berbagi ilmu bersama dengan anak-anak kecil yang lucu dan imut di sekolahnya.

Suatu hari di sebuah pengajian. Seorang guru ngaji berkata, “sakit adalah adzab dari Tuhan!” kata-katanya begitu tajam dan menusuk. Salah seorang kawan sesama peserta pengajian terkejut-kejut dengan kata-kata guru ngaji itu. Kebetulan kawan ini sesama penderita sakit. Satu orang kawan juga sama-sama senasib sepenanggungan, ia sakit batuk sudah lama tak kunjung sembuh.

Sedikit informasi ia peroleh dari seorang kawan lama, bahwa istri guru ngaji ini perrnah sakit selama tiga bulan sampai tulang-belulangnya bermunculan di sana-sini akibat typhus yang menggerogoti tubuhnya. Wah, istrinya guru ngaji ini berarti kena adzab juga! batinya berkata.

Guru ngajinya pernah berkata bahwa orang sakit harus bersabar karena sedang diberi ujian dari Tuhan. Sakit adalah penghapus dosa dan kesalahan. Orang-orang yang beriman pasti akan diberi sakit oleh Tuhan. Fir’aun bukan orang beriman, maka sepanjang hidupnya tidak pernah sakit.

Nah, bagaimana? Sakit itu adzab atau ujian? Tergantung bagaimana latar belakang orang yang menderita sakit. Jika ia adalah seorang yang baik dan taat pada tuhannya, apakah sakit itu adalah adzab? Jika ia adalah orang yang tidak pernah taat pada Tuhannya, apakah sakit itu adzab atau ujian?

*)Rosyidah Purwo. Nama staff pengajar di RSDBI Al Irsyad Al Islamiyyah 01 Purwokerto

Senin, 27 Juni 2011

Tulus Menerima atau Berharap untuk Diberi?


Oleh: Rosyidah Purwo*)

Suatu pagi yang cerah. Saya tergopoh pergi ke sekolah dengan menenteng tas cangklek biru laut pemberian mama lima tahun lalu. Meskipun sudah cukup lama, tas itu masih terlihat baru. Karena jarang sekali digunakan. Menurut saya tas tersebut kurang simple dikenakan. Teralu besar untuk ukuran tubuh saya yang cukup kecil. Tas itu sengaja dibeli oleh mama karena saya sedang mengerjakan skripasi. Biar tidak ribet menenteng skripsi, kata Mama.

Sampai di gerbang sekolah, seorang kawan menyapa sambil melontarkan pertanyaan, “tasnya bagus. Dari siapa?” Tentu saja saya berbahagia sekali mendapat sambutan hangat seprti itu. Apalagi sampai pada barang yang saya kenakan. Hanya saja ada sedikit rasa aneh dari pertanyaan “dari siapa”. Menurut saya, dari siapa tas yang saya pakai adalah urusan pribadi yang tidak perlu ditanyakan oleh orang lain. Kecuali jika memang saya menghendaki untuk memberi tahu.

Wajar memang jika pertanyaan semacam itu muncul, sebab di sekolah tempat saya mengajar, seorang guru diberi hadiah oleh wali murid sudah menjadi hal biasa dan lumrah. Terlebih jika musim kelulusan dan kenaikan kelas tiba, bisa jadi seorang guru mendapat lebih dari sepuluh macam hadiah.

Barangkali saja kawan saya memiliki anggapan bahwa tas saya yang terlihat bagus di matanya adalah pemberian juga. Ada betulnya memang kalau ada anggapan semacam itu, karena memang tas cangklek warna biru milik saya itu adalah hasil pemberian, bukan hasil saya beli dari uang sendiri. Hasil pemberian mama saya tercinta yang sangat perhatian dan lucu.

Bukanlah sebuah kesalahan menerima hadiah. Sebab, menolak pemberian juga tidak dibenarkan. Namun, jika menerima pemberian sudah berubah menjadi ‘budaya menerima’, dan berujung pada ‘harapan untuk diberi’ ini yang perlu diwaspadai.

Rosulullah SAW tidak pernah melarang untuk menerima pemberian. Bahkan rosul juga pernah menerima pemberian sebidang kebun kurma dari Abu Thalhah Al-Anshari seorang hartawan dikalangan Anshar. Pemberian itu diterima oleh Rasulullah SAW dengan baik dan memuji keikhlasannya


Dalam Q.S. Ali Imran: 92 Allah berfirman:

لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ وَمَاتُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللهَ بِه عَلِيْمٌ

(Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya).

Jadi, tidak ada salahnya menerima pemberian dari teman, sebab rosul tidak melarang. Namun perlu berhati-hati, jangan sampai penerimaan itu berubah menjadi harapan untuk diberi. Bukankah tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah?

Allohu Akbar itu Jahat, Subhanallah itu Nyumpahin


Oleh: Rosyidah Purwo*)

Suatu hari di siang yang cukup panas. Sepulang dari berbagi ilmu dengan anak-anak, perasaan lelah sungguh terasa sekali. Segera saya pulang ke rumah kost. Ingin cepat-cepat berjumpa dengan bantal dan kasur agak empuk yang sudah satu tahun tak kunjung dijemur.

Saya rebahan di atas kasur agak empuk tanpa berganti pakaian terlebih dahulu. Lalu saya melakukan registrasi layanan obrol siang yang diberikan oleh Indosat kepada pelanggan GSM Mentari dengan tujuan supaya biaya telepon tidak terlalu mahal. Dengan membayar Rp 1000,00 saya dapat ngobrol selama 60 menit.

Hari itu ‘penyakit’ (kangen) saya sedang kambuh. Seperti biasa, jika sudah begitu, pasti saya akan menelpon mama lamaaa sekali. Maklum, saya dan mama terpisah dalam jarak yang cukup jauh. Jadi, sebagai obat pelepas rindu ya dengan telpon-teleponan itu.

Siang itu, saya melakukan regsitrasi ke operator 303 lalu saya kirim pesan seperti ini: SIANG. Dengan segera operator membalas SMS saya. Ah, bahagia rasanya. Saya langusung menyambar pesawat telepon dan ngobrol asyik bareng mama.

Setelah bertegur sapa, mama akan menanyakan kabar pekerjaan, kabar kesehatan, kabar jodoh saya (yang -mudah-mudahan- sebentar lagi datang), kabar cucu (khayalan) yang entah dari mana mama selalu bertanya seperti itu (he he he, mungkin saya dianggap sudah cukup umur dan sangat-sangat pantas untuk menimang anak), Mama akan mencari topik pembicaraan yang selalu saja menarik. Topik pembicaraan siang itu ada cerita tentang bosnya yang unik dan lucu.

“Saya punya cerita”, begitu mama memulai pembicaraan inti.

“Apa itu?” tanya saya.

“Kamu jangan tertawa ya…” kata Mama.

“Mudah-mudahan”, jawab saya.

Siang itu mama memulai pembicaraan tentang bosnya yang memiliki kesalahpahaman tentang sebuah kalimat. Kesalahpahaman yang sempat membuat mama harus ‘bekerja’ lebih ekstra.

Begini ceritanya, suatu hari mama dan bosnya mama menonton televis bersama-sama di ruang keluarga rumah milik bosnya mama. Ruang keluarga yang cukup sederhana untuk ukuran rumah yang sangat mewah di bilangan Pulau Matahari, Jakarta. Yah, saya bisa mengatakannya karena saya pernah berkunjung ke sana.

Di ruang keluarga itu, mama dan bos sama-sama menonton televisi. Mama memilih sebuah canal televise yang menyiarkan berita. Isi beritanya saat itu adalah tentang sebuah kerusuhan (dilihat dari kacamata orang kebanyakan) yang dilakukan oleh salah satu ormas Islam yang cukup sering disebut-sebut namanya di seluruh media massa yang ada di negeri saya tercinta Indonesia Raya.

Ciri khas unik dari ormas yang satu ini adalah selalu meneriakan kalimat Allahu Akbar! setiap kali hendak melancarkan aksinya. Perlahan namun pasti, karena terlalu sering melihat adegan yang demikian, kalimat dan aksi ini dipelajarai secara baik-baik oleh bosnya mama. Al hasil, diperoleh sebuah kesimpulan bahwa Allahu Akbar adalah sebuah kalimat yang ditujukan untuk sebuah hal yang jahat.

Bosnya mama kebetulan terlahir dari keluarga yang berbeda agama dengan mama. Ditambah dengan latar kehidupannya yang unik. Sejak kecil hidup di Amerika Serikat sampai selesai kuliah. Setelah menikah baru pindah ke Indonesia. Praktis, ia tidak memahami kultur yang ada di Indonesia.

“Sus,” begitu ia manyapa mama saya. Sus berarti suster. Yah, mama saya

adalah seorang suster . Sejak bergabung dengan sebuah lembaga pendidikan (kalau mama menyebutnya yayasan) perawatan anak, atau orang lebih sering menyebut suster, mama beralih profesi, dari ibu rumah tangga menjadi seorang suster.

Tugas seorang suster adalah khusus mengasuh anak mulai dari urusan A-Z. Menjadi suster bukanlah tugas yang ringan. Suster harus pinter segala-galanya. Pinter bahasa Inggris, pinter menguasai materi pelajaran anak-anak usia sekolah dasar, pinter mengasuh anak, harus mengetahui banyak lagu anak-anak, harus memahami keyakinan si empunya anak, bahkan jika di sekolah tempat anak yang diasuh ada materi asing, seperti bahasa Mandarin, misalnya, seorang suster dituntut untuk bisa. Jika tidak, jangan harap profesi sebagai suster mampu bertahan lama. Bisa-bisa hanya dalam hitungan jam didepak dari tempat kerja, tragisnya dikeluarkan dari yayasan.

Enaknya menjadi seorang suster adalah jika musim liburan anak tiba. Biasanya akan diajak menikmati liburan sekolah bersama ke mana pun sesuai keinginan si empunya anak alias bos. Pernah mama diajak pergi ke Amerika Serikat selama satu minggu. Pernah juga ke Hongkong, Singapore, Malaysia, Bali, Lombok, dan beberapa loka wisata di tanah air, mama pernah mengunjunginya. Bahkan ke Bali sudah bukan hal yang aneh lagi. Hampir setiap liburan mama ikut serta ke sana. Lumayan bukan? Itung-itung numpang liburan gratis J.

Enaknya lagi adalah jika sudah menjadi senior. Seorang suster tidak melulu mengurusi anak-anak, terkadang diikutsertakan dalam urusan bisnis si bos. Misalnya mengatur jadwal bos, mengatur kenaikan gaji karyawan, menentukan THR, menentukan menu makan sehari-hari si bos.

Jika sudah seperti ini, uang akan mengalir dengan mudah. Terlebih jika sudah menjadi suster kepercayaan bos, jangan khawatir kekurangan uang. Segalanya akan dipenuhi dan diperhatikan oleh bos. Mulai dari pakaian, uang jajan, uanga makan, uang untuk anak sendiri (jika seorang suster memiliki anak). Terlebih jika bosnya adalah orang baik hati, seorang suster bisa seperti ketiban rejeki untung beliung (hadiah Britama kali ya?).

Obrolan itu berlanjut seperti ini:

“Kemarin Mama dibilangin jahat?” kata Mama setengah tertawa.

“Kenapa?!” tanya saya terkejut, khawatir Mama jahat betulan.

“Mama kan bilang Allahu Akbar saat bos menjerit-jerit karena digigit semut. Lalu bos bilang, kok jahat, begitu, Ti…” katanya setengah tertawa. Saya ikut-ikutan tertawa.

“Terus, subhanallah itu katanya nyumpahin” kata Mama masih sambil tertawa.

“Lho kok bisa?” tanya saya.

“mama tidak tahu. Kan kemarin Mama bilang subhanallah saat bos dapat hadiah. Eh, bos marah-marah katanya Mama nyumpahin” kata mama sambil terkekeh-kekeh.

Beruntung salah pengertian itu tidak berlangsung lama sebab mama saya segera menjelaskan dengan baik sekali akan makna dua kata tersebut. Kata mama, Allahu Akbar adalah lafal sebuah doa agar Tuhan selalu memberi perlindungan. Subhanallah adalah memuji kepada Tuhan agar selalu diberi kebaikan.

“Bos, maksudnya adalah mereka berdoa agar Tuhan melindungi. Artinya bukan jahat. Yah, seperti bos berdoa pada Tuhan agar diberi perlindungan…bos pernah kan mau jahil sama suami atau anak, atau sama saya, terus berdoa dulu sama Tuhan?”

Begitu mama mengakhiri pembicaraan siang itu. Kami tertawa bersama-sama.

*) Rosyidah Purwo. Staf pengajar di RSDBI Al Irsyad Al Islamiyyah 01 Purwokerto.

Jumat, 29 April 2011

Just 5 Second


Oleh: Rosyidah Purwo*)

Apa yang dicari dalam kehidupan ini? Mari kita berpikir sejenak. Sambil berpikir, mari baca list berikut ini:

- Mencari kekayaan yang banyak

- Mencari calon suami/istri yang tampan/cantik

- Mencari calon menantu/mertua yang kaya

- Memiliki title yang sebanyak-banyaknya

- Sekolah yang setinggi-tingginya

- Memiliki mobil banyak

- Memiliki rumah yang indah dan mewah

- Hidup sederhana tapi bahagia

- Hidup kaya tapi menderita

- Hidup kaya tapi bahagia

Setelah membacanya, silakan pilih sesukanya. Boleh memilih yang mana saja tak ada paksaan tak ada ajakan. Siapapun berhak memilih yang manapun sesuai dengan tujuan dan keinginan hidupnya. Ya, sebab hidup itu adalah pilihan, kata kawan saya, pada dua tahun yang lalu. Dan, setiap pilihan pastilah memiliki resiko yang menunggu di depan. Resiko ini sudah wajib untuk ditanggung dan tentu saja dirasakan dan dinikmati.

Adalah cerita dari seorang kawan. Ia pernah bercerita kepada saya bahwa ia memiliki keinginan menjadi seorang editor di sebuah Koran terbesar di Indonesia. Karena keinginannya itu, kawan saya belajar apapun tanpa kenal lelah. Tentu saja belajaranya adalah segala hal ihwal yang terkait dengan edit mengedit. Memebaca, hunting berita, menulis, rapat redaksi, membeli Koran, dll. Setiap kantor (besar atau kecil) yang bergerak dibidang tulis menulis ia datangi. Meskipun sekadar diminta memindah menuliskan tulisan anak-anak ke dalam layar komputer tanpa diberi imbalan uang, ia lakukan.

Setiap tempat yang memiliki ‘harta karun’ ia datangi. TPA, kehidupan anak-anak jalanan, mbok-mbok bakul di pasar, pejabat di lingkungan kampus, dll. Tak kenal lelah, teriknya matahari tak ia hiraukan, bahkan di bawah guyuran hujan, ia lakukan.

Akibat kerja kerasanya ini, suatu hari ia diterima di sebuah kantor Koran harian terbesar di Jawa Tengah. Ia diterima di editor bagian iklan. Lumayan, untuk sebuah langkah awal. Lalu ia belajar lebih keras lagi sebab merasa belum tercapai cita-citanya. Suatu hari saya mendengar kabar burung-nya, bahwa ia sudah di Jakarta bekerja pada sebuah Koran harian yang saya belum tahu ceritanya hingga sekarang.

Sebuah cerita lagi datang dari kawan saya. Ia seorang karyawan di salah satu bank di Jakarta. Orangnya sangat baik, cukup cantik, dan otaknya sangat brilliant, pendidikannya tinggi, uangnya cukup banyak untuk ukuran seorang gadis single. Karena hal ini, ia membuat target yang cukup besar tentang pendamping hidupnya.

“Saya menginginkan seorang laki-laki yang baik, pendidikannya baik, pekerjaannya juga baik. Setidaknya seperti saya, lah” begitu ia bercerita. Pada masa menjelang tuanya, Tuhan tak kunjung mendatangkan seorang laki-laki sesuai dengan pilihannya.

Setiap orang berhak memiliki keinginan dan cita-cita serta target hidup sebanyak-banyaknya. Namun, saat Tuhan tidak hendak mendengar dan melihat akan apa yang dimimpikan, tentu saja tidak boleh protes.

Konsekuensinya adalah menerima apa adanya pemberian Tuhan. Atau silakan mengelak pemberian-Nya, namun harus siap sedia dengan resiko hidup- yang- barangkali lebih menyakitkan.

Adalah saya pada tiga tahun yang lalu. Dengan segala rencana dan target yang telah dibuat dengan sebaik-baiknya, dalam masa tiga tahun setelah saya diterima bekerja sebagai staff pengajar di sebuah sekolah dasar, berubah total hanya dalam waktu lima menit.

Suatu malam, tepatnya Kamis, 24 Februari 2011. Seorang laki-laki setengah tua mendatangi tempat kost saya. Ia adalah paman saya. Persisnya adalah adik dari bapak. Ia mengenakan pakaian batik warna orange, celana panjang hitam, dan kopyah beludru warna hitam.

Saya dan paman duduk santai di teras rumah ibu kost. Hujan gerimis turun rintik-rintik.

Setelah bertegur sapa dan berbasa-basi sedikit, paman memulai mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya.

“Nak,” begitu ia menyapa saya, “Paman, datang kesini karena ada hal penting dan mendesak untuk saya utarakan”. Lalu ia menjelaskan sedemikan rupa sehingga mau tidak mau saya harus bisa memberi keputusan.

“Tapi saya tidak bisa menjawab sekarang. Saya ada orang tua. Saya harus berdiskusi dulu” begitu saya memberi jawaban atas kata-kata paman.

“Tidak masalah. Tidak harus tergesa-gesa, tidak harus dalam waktu dekat” begitu jawaban paman.

“Kalau, Paman, sendiri setuju atau tidak ?” tanya saya.

“Saya setuju sekali” jawabnya mantap.

Satu malam itu saya tidak bisa tidur. Saya menelpon mama, saya berdiskusi dengannya, panjang lebar dan lama. Ternyata jauh hari, satu tahun yang lalu, mama sudah menginginkan laki-laki itu untuk menjadi pendamping hidupku. Maka pada hari itu, Sabtu 6 Maret 2011, pukul 20.00 wib, sebuah cincin pertunangan telah melingkar di jari manis saya. Hanya lima detik saja proses memakainya. Lima detik itu, cincin cantik sudah terpasang di jari manis saya.

Begitulah, jika Tuhan sudah berkata ‘Kun’, hanya dalam satu kejap mata, mimpi hidup yang sudah disusun matang-matang sejak puluhan tahun silam, bisa berubah secara total! Bisa jadi lebih buruk, bisa jadi lebih baik, atau bisa-biasa saja.

Malam itu adalah malam terakhir saya berhenti berpikir yang 'aneh-aneh' tentang seorang laki-laki calon pendamping hidup. Dengan sebuah cincin yang melingkar di jari manis saya, maka sudah tidak boleh lagi bagi saya untuk menerima laki-laki lain yang barangkali suatu saat akan datang dengan kriteria yang saya inginkan.

Just 5 Second!

*)Rosyidah Purwo. Staf pengajar di RSDBI Al Irsyad Al Islamiyyah 01 Purwokerto.