Kamis, 29 Januari 2009

Kritik itu Perlu

Oleh: Rosyidah Purwo

Suatu ketika, saya diminta untuk membuka blog milik kawan kerja. Setelah membukanya….aduuuuuh bagaimana ya? Menurut saya bolgnya itu masih kacau banget!

Meskipun begitu, aku saya penasaran juga. Mengobati rasa penasaran, saya menelusuri isinya. Buseeeet! Tulisanya, masih kacau. Bukan isinya yang kacau, tapi setingannya.

Setingan kacau, kaya’nya tidak jadi masalah, yang penting isinya, bo, “mak nyos!”. Nah, tulisan kawan kerja saya ini, bisa dibilang “mak nyos!”

Nah, karena isinya ini, membuat saya jadi ingin berlama-lama di depan computer. Apa coba? Wah, pokoknya sebuah tulisan yang sempat membuat hati dan kepalaku jadi “cekit-cekittttt! Cekit-cekiiiit!

Memang isinya sederhana. Sekadar mengomentari rekan-rekan kerja barunya yang menurutnya masih kurang professional. Termasuk saya, barangkali. He, he, he.

Sedikit saya kutipkan isi tulisannya:
“…..Bagiamana sikap guru baru tersebut, apa yang akan ia kerjakan. Guru itu mengambil penggaris dan memukulkannya keras keras ke papan tulis sehingga suaranya melebihi suara murid yang sedang dihadapinya. Apakah demikian yang dibenarkan dalam mendidik dan mengajar murid ? apakah memang ini salah satu dari masalah yang sering timbul menghantui guru baru? jelas saat itu ia (guru) sedang berhadapan dengan murid kelas 4 SD).

Cara cara kuno kadang juga masih jitu untuk mengatasinya semisal perilaku guru diatas, tapi jika pada pertengahan kegiatan belajar mengajar timbul kegaduhan lagi akankah cara itu masih bisa diterapkan. Karena keseringan dengan memukulkan penggaris keras keras pada papan tulis, akan makin tidak jera murid mentaati gurunya denga berhenti dari kegaduhan. Karena hal tersebut sudah terbias didengar oleh telinga mereka. Malah kadang sebaliknya akan makin bertambath ramai karena beberapa murid meniru memukulkan penggaris pada masing masing mejanya untuk ikut berperan mengatasi kegaduhan…..”

Wah, benar-benar ngena’ banget! Sejak membaca tulisan itu, saya jadi berpikir, “ada benarnya juga memang”. Nah sedikit demi sedikit saya mulai merubah gaya mengajar saya. Sebab sedikit banyak saya termasuk guru baru yang demikian.

So, kawan, kritik itu perlu.

Selasa, 27 Januari 2009

Cerita Dari Jakarta

Menggagas Bank Pangan sebagai Upaya Perlindungan Sosial bagi Kaum Miskin
Oleh: Siti Nuryati*

Berbicara tentang perlindungan sosial bagi kaum miskin, beragam program pernah digulirkan pemerintah. Salah satunya adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai tameng perlindungan terhadap dampak negatif kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Namun jika kita coba evaluasi, kebijakan BLT ternyata menyimpan lubang-lubang persoalan. BLT bisa dikatakan sebagai kebijakan yang ”sekadar numpang lewat”. Teorinya, subsidi langsung yang dikucurkan pemerintah adalah suntikan energi baru atau penyangga agar penduduk miskin tidak jatuh ke jurang ”di bawah garis kemiskinan”. Namun kenyataan di lapangan ternyata bergeser dari teori yang ada. Hal ini tampak pada masyarakat yang tak hanya miskin, namun jauh-jauh hari mereka juga telah terjerat utang yang kronis.

BLT yang diharapkan dapat menjaga daya tahan masyarakat miskin, tak sedikit dari mereka yang ketika menerima BLT, menjadikan BLT sebagai dana untuk mencicil hutang. Jika demikian, bukan daya tahan si keluarga miskin yang hendak dijaga, melainkan ”kesempatan” bagi para rentenir untuk memaksa si miskin membayar hutang pada dirinya dari dana BLT tersebut. Akhirnya si miskin pun tetap menderita dalam kemiskinannya.

Studi dampak BLT bagi kesejahteraan keluarga yang pernah dilakukan Puspitawati, H dkk (Tim Peneliti dari Fakultas Ekologi Manusia IPB) pasca kenaikan BBM di Bogor Jawa Barat mengungkap pembelanjaan BLT oleh rumah tangga miskin sebagai berikut: pengeluaran untuk pangan (50,1%); bayar hutang (9,8%); pakaian (7,6%); kesehatan (7,4%); pendidikan (6,6%); modal (4,2%); transport (2,6%); zakat (2,2%); menabung (2,1%); listrik (1,5%); perumahan (1,4%); memberi ke anak (0,9%); memberi ke saudara (0,7%); rokok (0,5%); dan lain-lain (2,4%). Uang BLT yang diterima rata-rata habis dalam tempo 11 hari. Proporsi tertinggi responden (38,1%) dalam menghabiskan uang BLT adalah antara 2-7 hari. Bahkan yang habis dalam satu hari mencapai 28%.

Penelitian Khomsan dkk di desa-desa di Bogor (2008) menunjukkan rata-rata pengeluaran rumah tangga mencapai Rp 456.000. Persentase pengeluaran pangan dan non pangan hampir sebanding atau fifty-fifty dengan beberapa rincian sebagai berikut: rokok (7%), pendidikan (8%), kesehatan (12%), bahan bakar/penerangan (7%), lauk pauk (10%), dan beras (7%).

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2003-2005 menunjukkan konsumsi rumah tangga miskin untuk tembakau 12,43%. Anggaran belanja tembakau ini 15 kali lipat dibandingkan belanja daging (0,85%), 5 kali lipat belanja susu dan telur (2,34%), 8 kali lipat belanja pendidikan (1,47%) dan 6 kali lipat belanja kesehatan (1,99%).

Dari berbagai studi di atas menunjukkan bahwa, alokasi belanja keluarga miskin untuk pangan hampir sama besar dengan alokasi belanja untuk rokok. Di beberapa rumah tangga miskin malah ditemui belanja rokok lebih besar dari belanja pangan. Hal ini menjadi salah satu koreksi terhadap program-program pengaman sosial yang diberikan dalam bentuk uang tunai semacam BLT ini. Akan menjadi sulit untuk mengontrol apakah bantuan uang tunai yang diberikan, oleh keluarga miskin betul-betul dialokasikan untuk kebutuhan-kebutuhan vital seperti pangan ataukah tidak.

Kebijakan pemberian BLT memang tak bisa dikatakan tak membawa manfaat apapun. Dalam situasi daya beli masyarakat terperosok begitu dalam, maka bagi keluarga-keluarga ”super miskin”, kehadiran BLT akan sangat membantu mereka dalam mempertahankan hidup. Dalam situasi seperti ini, keluarga ”super miskin” memang membutuhkan ”ikan”, tak sekedar kail. Namun agar kebijakan tersebut tetap memberikan manfaat yang optimal bagi keluarga miskin maka bentuk dan cara pemberiannya pun harus tepat.

Bank Pangan: Sebuah Alternatif
Di beberapa negara maju, salah satu program perlindungan sosial bagi kaum miskin yang cukup terkenal adalah apa yang disebut sebagai “Bank Pangan” (food bank). Bank pangan di negara-negara maju tersebut merupakan tempat di mana makanan ditawarkan kepada badan-badan nirlaba untuk dibagikan kepada orang tidak mampu secara cuma-cuma, biasanya dengan syarat kerja sukarela. Seperti di Belanda, keluarga miskin mendapat bantuan paket makanan dari apa yang dinamakan voedselbank.

Di Amerika Serikat (AS), krisis keuangan global telah menebar pemandangan di beberapa negara bagian dimana ada banyak organisasi nirlaba atau non-profit yang mengumpulkan donasi dan sudah mampu membangun Bank Pangan sendiri. Foodbank berasal dari kumpulan donasi yang didapat dari acara-acara amal, gereja, organisasi non-profit lainnya, maupun perusahaan ataupun perorangan. Pengurus foodbank mengelola hasil donasi tersebut dalam bentuk makanan, entah itu bahan pangan ataupun makanan kalengan dan disimpan dalam suatu gudang besar. Jika ada pihak yang membutuhkan pangan secara gratis karena masalah ekonomi ataupun masalah berat lainnya, pihak tersebut dapat menghubungi gereja atau badan-badan bantuan lainnya untuk mendapatkan pangan.

Dengan cara menunjukan dokumen tanda penduduk yang dalam bentuk Green Card dan nomor bantuan sosial (Social Security Number) ataupun surat keterangan pernah bekerja di perusahaan tertentu yang kemudian melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), seseorang bisa masuk dalam program penyelamatan sesama. Mereka akan mendapatkan bantuan suplai makanan setiap hari yang dibagikan setiap minggu sekali.

Mereka juga akan ikut dalam program-program kebersamaan seperti contoh konkritnya makan bersama pada hari Thanks Giving (salah satu perayaan nasional di negara AS dan Australia) tanpa perlu membayar sama sekali. Jadi meskipun seseorang menganggur, kebutuhan makanannya akan tetap tercukupi dengan layak. Hal yang sama juga ada di Hongkong, sebagai salah satu kota dengan biaya hidup tertinggi di Asia. Disana pun ada foodbank yang mekanismenya mirip dengan foodbank di AS.

Bank Pangan: Cocok Untuk Indonesia ?
Terhadap gagasan bank pangan ini di Indonesia , ternyata tak sedikit kalangan yang merasa pesimis. Hal itu mengingat jumlah orang miskin di Indonesia yang terbilang cukup besar, puluhan juta jiwa. Hal lainnya adalah hampir tak mungkinnya toko atau distributor yang berbaik hati memberikan produknya yang tidak terjual secara cuma-cuma ke sebuah yayasan setiap minggu. Kekhawatiran pun muncul, jika Bank Pangan ini berdiri di Indonesia, maka pemerintah akan menjadi malas untuk mencari jalan keluar.

Merespon kekhawatiran tersebut, kita bisa menawarkan sebuah keyakinan bahwa meski memang betul persoalan kemiskinan adalah masalah yang harus diselesaikan terutama oleh pemerintah, namun tak juga menutup peluang bagi munculnya peran dan partisipasi masyarakat sebagai sesama insan untuk menghidupkan budaya saling peduli, budaya saling menolong. Apalagi, untuk mendapat akses ke Bank Pangan, seseorang diminta untuk menjadi sukarelawan dalam membantu berbagai kegiatan, termasuk kegiatan sosial.

Adanya suasana kondusif untuk saling peduli serta adanya edukasi ke rumah tangga-rumah tangga untuk menyumbangkan kelebihan makanan yang dimilikinya pada hari tertentu adalah bagian dari upaya untuk membuat Bank Pangan ini mungkin hidup dan tumbuh di Indonesia.

Selain itu, pemerintah masih bisa menyusun regulasi yang menghimbau (bahkan jika mungkin mewajibkan/mandatory) kepada industri, supermarket, restoran dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya untuk menyumbangkan produknya yang tak terjual (namun masih layak konsumsi) demi menghidupkan Bank-Bank Pangan yang ada, sehingga golongan miskin di wilayah tersebut aka banyak tertolong. Pemerintah juga bisa mendorong tumbuhnya lembaga-lembaga nirlaba untuk mengurusi Bank Pangan, atau bisa juga lembaga/organ pemerintah sendiri yang akan diberikan tanggung jawab untuk mengelola Bank Pangan tersebut.

Mengapa Bank Pangan Menjadi Pilihan?
Diakui banyak jalan untuk mengentaskan masyarakat dari jurang kemiskinan. Ketika Bank Pangan dijadikan sebagai salah satu pilihan, disamping pilihan-pilihan lain, tentu harus mengantongi argumentasi kuat.

Belajar dari pengalaman kebijakan BLT, yang berdasarkan studi ternyata banyak dibelanjakan untuk keperluan-keperluan lain yang bukan dalam rangka mempertahankan daya hidup orang miskin seperti untuk rokok, membayar hutang, membeli perabot rumah, dan lain-lain, maka kehadiran Bank Pangan merupakan bentuk perlindungan sosial yang langsung dapat diakses demi kelangsungan hidup seseorang.

Tak ada yang menolak bahwa pangan adalah urusan yang sifatnya mendesak, terkait dengan hidup matinya seseorang. Pangan yang bergizi sangat dibutuhkan seseorang untuk tetap hidup dengan sehat dan aktif. Dua hal ini jelas akan berpengaruh pada produktivitas seseorang. Sehingga upaya perlindungan sosial melalui Bank Pangan akan secara langsung berdampak bagi si miskin dalam mempertahankan kehidupannya yang sehat, aktif dan produktif.

Bank Pangan Terintegrasi
Dalam konteks pemenuhan pangan bagi kelompok miskin, terutama ketika disandingkan dengan fakta maraknya kasus gizi buruk yang menimpa balita miskin di tanah air, maka keberadaan Bank Pangan sesungguhnya sangat tepat disandingkan dengan konsep Dapur Gizi seperti yang ditemukan di banyak negara maju.

Di dalam Dapur Gizi, ibu-ibu balita akan belajar bagaimana mulai menyusun menu, menyiapkan masakan, cara memasak yang benar, menyuapi, cuci tangan sebelum dan sesudah makan memakai sabun, gosok gigi, juga pesan-pesan kesehatan lainnya. Bahan makanan yang dimasak merupakan kontribusi atau “urunan” masing-masing ibu atau bisa juga merupakan hasil donasi, baik dari individu maupun donasi industri, supermarket ataupun restoran. Di Dapur Gizi, menu dirancang dengan bervariasi, kemudian secara bersama-sama, ibu-ibu ini mempraktikkan cara memasak yang benar dengan pendampingan kader.

Keluarga yang terlibat dalam dapur Gizi, nantinya harus mempraktikkan pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperolehnya di dapur mereka masing-masing di rumah untuk mencukupi kebutuhan gizi sehari-hari anggota keluarganya, terutama balitanya. Dapur Gizi ini juga untuk mengantisipasi munculnya masalah gizi buruk yang bukan disebabkan oleh kekurangan pangan, melainkan oleh pola makan, pola asuh, pola pelayanan kesehatan, serta pola kesehatan pribadi dan lingkungan.

Lebih dari itu, Dapur Gizi pun memberikan manfaat dalam memperbaiki interaksi sosial anak. Interaksi sosial yang terbangun karena anak dalam satu kawasan (Rukun Warga/RW) misalnya berkumpul dan berinteraksi dalam satu momen yakni Dapur Gizi, maka hal ini akan memberi dampak pada perkembangan mental si anak. Anak-anak bisa menjadi lebih aktif dan mampu berinteraksi dengan anak-anak lainnya. Di dalam Dapur Gizi juga dimungkinkan disusun berbagai program bersama seperti “kebun keluarga/home gardening”, pengembangan lahan pertanian, dan industri rumah tangga untuk membantu memenuhi kebutuhan pangan dan meningkatkan pendapatan keluarga.

Dapur Gizi juga bisa menjadi ajang untuk menebar kepedulian dengan sesama. Orang-orang yang memiliki kelebihan harta dapat memberikan sumbangan bahan-bahan makanan yang bergizi untuk diolah di Dapur Gizi dan manfaatnya bisa dirasakan seluruh peserta Dapur Gizi yang rata-rata berasal dari golongan ekonomi lemah. Kita yakin bahwa adanya kepedulian dapat membantu mengatasi masalah rawan pangan di masyarakat. *

* Mahasiswi Pascasarjana Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB.

Cerita Singkat Artikel Ini
Membaca artikel ini, saya teringat kenangan di Jakarta, pada Kamis, 08 Januari 2009. Adalah acara penyerahan hadiah menulis artikel oleh bapak MENKOKESRA, Aburizal Bakrie.
Meskipun meraih juara harapan dua, tidak menghalangiku untuk menikmati kegembiraan yang ada. Aku sungguh gembira. Bagaimana tidak?


Awalnya hanya iseng-iseng saja ikut-ikutan, eh ternyata aku masuk sebagai juara. Bukan itu saja, aku bertemu dengan pak Aburizal Bakrie. Bagi sebagian orang mungkin hal ini adalah biasa-biasa saja, namun bagi saya tidak. Masalahnya, pertemuan ini berada di moment yang penting bagi saya. Penyerahan hadiah.

Artikel ini saya minta langsung dari si empunya, Mbak Siti Nuryati. Tidak usah saya sebutkan identitasnya. Baca saja dalam *.

Merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya. Saya dapat berkenalan degan orang pinter. Sayang sekali saya tidak sempat berkenalan dengan pemenang utamanya. Siapa dia? Adalah pak Joko Syaiban.

Melihatnya, tidak akan pernah ada yang menyangka kalau dalam sosok dirinya ada jiwa brilliant seorang penulis.

Penampilannya sungguh biasa-biasa saja. Bahkan sangaaaaat biasa. Karena inilah aku menjadi terkagum-kagum padanya. Dia seorang penulis buku, Men!

Aku berharap, suatu saat dapat dipertemuka kembali dengan mereka berdua. Dan saya dapat berkenalan langsung dengan pak Joko Syaiban. O ya, dia dari Solo, Jawa Tengah.