Rabu, 10 Februari 2010

Demam Upin-Ipin dan Rizki Untuk Falah

Artikel: Rosyidah Purwo

Bel tanda pergantian pelajaran berbunyi. Seorang anak berlari dari ruang kelasnya menuju ke ruang kelas sebelah untuk mengikuti pelajaran berikutnya. Tergopoh ia berlari sambil membawa toples kecil. Sebagai seorang guru, saya memerhatikan setiap detail apa yang dibawa, dipakai, dibicarakan, dan dilakukan anak.

Sebab pelajaran kurang tiga menit anak-anak memanfaatkannya untuk bermain stick Upin-Ipin, adalah stick es krim yang kemudian dijadikan mainan ala film kartun anak Upin-Ipin. Beberapa anak sibuk memukul-mukul lantai dengan tujuan menciptakan angin dari pukulan tangan mereka agar stick mau bergerak. Saat anak-anak yang lain sibuk bermain, seorang anak saya lihat sedang asyik melakukan tawar-menawar sambil memegang satu toples kecil berisi potongan “stick Upin-Ipin”.

Seorang Anak yang Cerdas
Saya dekati anak itu. Saya tanya anak itu sambil saya lihat toples yang dipegangnya, “Apa ini, Nak?”
“Jualan, Ust.” Jawabnya.
“Maksudnya?!” Mendengar jawabannya saya terkejut. Sambil menyembunyikan keterkejutan saya, saya memerhatikan isi di dalam toples tersebut. Selain ada potongan stick es krim yang diganti nama menjadi stick Upin-Ipin, ada sekitar dua puluhan potongan kertas kecil berwarna putih bertuliskan “KUPON”.

Saya mengambil satu potong stick Upin-Ipin dan sepotong kertas putih bertuliskan “KUPON. Anak itu menjelaskan kepada saya bahwa dirinya sedang berjualan Stick Upin-Ipin yang tidak lain adalah stick bekas es krim. Kemudian ia memberikan kupon kepada siapa yang membeli lima potong stick. Jika mampu mengumpulkan lima kupon akan diberi hadiah satu potong stick. Cerdas bukan?

Berpikir Kreatif
Kartun anak Upin-Ipin yang tayang di salah satu stasiun televisi kita merupakan salah satu film kartun yang menjadi kegemaran anak. Dalam salah satu episodenya, kartun ini memunculkan sebuah permainan dari stick. Permainan yang dimunculkan di dalam film ini adalah permainan (pukul stick : red). Cara memainkannya adalah dengan meletakkan stick bekas es krim di lantai kemudian lantai dipukul-pukul menggunakan tangan dengan tujuan agar stick dapat bergerak . Stick mana yang posisinya duluan menumpang di atas stick milik teman, berarti dialah si pemenang.

Permainan ini sangatlah sederhana, tidak modern, dan terkesan sedikit tradisional. Sebab di dalamnya tidak mengandung unsur teknologi sama sekali. Namun, permainan ini telah mampu menyedot perhatian sebagian anak-anak. Di sekolah di mana saya mengajar, hampir setiap anak, laki-laki ataupun perempuan, memiliki stick ini untuk dibuat mainan. Jika waktu istirahat tiba, aula, koridor sekolah, lantai kelas dipenuhi oleh anak-anak yang memainkan permainan ini.

Bagi anak-anak yang biasa-biasa saja, munculnya “wabah” permainan stick Upin-Ipin adalah hal lumrah yang sudah seharusnya ada. Namun tidak bagi anak-anak yang memiliki daya pikir kreatif.

Falah, nama anak tersebut, mampu menciptakan “demam stick Upin-Ipin” menjadi ajang menimba rizki. Dengan modal yang tidak seberapa, ia membeli satu bungkus stick es krim kemudian ia potong menjadi dua bagian. Agar terlihat lebih cantik, ia memberi gambar pada dua sisi stick ini. Hasilnya, luar biasa! Stick-stick kecil nana cantik itu terjual laris manis. Terbukti ia mampu mengantongi uang sebesar enam ribu rupiah dalam sehari. Ini tidak mampu dilakukan oleh sembarang orang. Ini hanya akan mampu dilakukan oleh anak-anak yang memiliki daya pikir kreatif.

Anak ini memang benar-benar memiliki daya pikir yang luar biasa kreatif.

Jiwa Enterpreneurship
Barangkali dengan tujuan agar ia tak melulu berkutat dengan satu macam jenis barang saja, ia melakukan kerja sama “penanaman modal” dengan teman sepermainannya. Teman sepermainannya
tak kalah cerdasnya, ia menjual jajan kepada teman-teman sekelasnya. Jika masing-masing mendapat untung, mereka akan membagi rata keuntungan tersebut. Kemudian modal awal dia gunakan untuk membeli barang yang akan dijual.

Jika kita mau berpikir lebih jauh, mungkin akan muncul sebuah pertanyaan, “bagaimana mungkin anak sekecil itu mampu melakukan hal yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang dewasa?” tak lain dan tak bukan jawabannya adalah karena ia anak cerdas dan kreatif.

Daya pikir kreatif, jiwa interpreneurship atau apapun itu yang menyangkut daya imajinatif kreatif anak tidak akan mampu dimiliki oleh seorang anak tanpa melalui proses pendidikan terlebih dahulu. Pendidikan ini adalah meliputi keluarga dan sekolah.

Permasalahannya adalah, sudahkan sekolah-sekolah yang ada sudah mampu memberikan pendidikan yang demikian pada anak-anaknya? Jika boleh menjawab dengan jujur, sudah, namun jumlahnya masih sangat minim.

Ini menjadi PR bersama tentunya. Sebab jika anak tidak dididik sejak dini untuk memiliki daya pikir kreatif, cerdas, dan imajinatif mereka akan tumbuh menjadi seorang anak dewasa yang manja. Jika sudah demikian, akan dikemanakan masa depan mereka? Lebih parah lagi tentunya, akan berdampak pada Negara tercinta Indonesia Raya.

Selasa, 09 Februari 2010

Demi Buku, Handuk pun “Jadi Korban”

By: Rosyidah Purwo

Jika kamu adalah para pembaca aktif, atau pecinta buku, hindarilah hal-hal yang kiranya dapat membahayakan buku-buku kamu. Sebab kamu akan nangis lahir batin. Adalah saya pada pagi ini. Sebab ada tugas yang mendesak untuk membuat teks pidato untuk anak-anak pramuka yang hendak mengikuti LT 2, maka aku bangun pagi-pagi sekali, pukul 02.03 dini hari.

Setelah teks pidato itu jadi, aku kemudian membuka-buka tulisan Om Jay yang sempat saya unduh diinternet pada siang harinya. Tulisan itu adalah mengenai bukunya Om Jay yang memenangkan lomba sayembara Penulisan Buku Pengayaan, yang sempat saya minta melalui blog miliknya.

Saat tengah asyik otak-atik buku Om Jay dengan judul YUK KITA NGE-BLOG! Waktu sudah menunjukkan pukul 04.15 wib. Hari ini sepertinya aku harus mandi besar sebab ada “tamu bulanan” yang sepertinya sudah tidak “nongol lagi”. Lalu aku beranjak untuk meninggalkan “istana kecilku” alias kamar tidur miniku yang aku sewa setiap bulannya dengan harga 150 ribu rupiah, untuk menyalakan mesin pompa air.

Sebelum sempat aku keluar dari “istana kecil”, aku kemudian menghampiri meja belajarku yang praktis hampir tidak pernah aku gunakan untuk menulis atau membaca sebab isinya full of book. Hampir tidak tersisa ruang kosong di meja itu untuk membaca atau menulis. Tujuannya aku hendak mengambil sisa air minum yang belum sempat aku habiskan.

Sebelumnya, saat saya belum membuka note book, saya sempat mengambil satu gelas air putih, ini adalah kebiasaan saya setiap baru bangun tidur pasti harus minum satu gelas air putih. Eit, tidak gosok gigi dulu lho. He, he, he.

Deng,deng, deng! Saat hendak mengambilnya, si perut menyenggolnya hingga isinya tumapah ruah membanjiri meja belajarku. Sempat aku terbengong melihat buku-buku kesayangannku kena air, beruntung bengongnya tidak terlalu lama senhingga dengan secepat kilat aku bergerak.Dengan gerakan secepat kilat, tanganku meraih kain lap yang biasa aku letakkan di samping meja note book-ku.

Sebab lap dengan kualitas kain yang buruk, air itu tak kunjung terserap kain. Aku lalu menurunkan buku-bukuku dari meja ke lantai. Setalah merasa buku-buku berada di tempat yang aman, aku segera keluar untuk menyalakan mesin pompa air, kemudian mengambil handuk yang aku jemur di beranda belakang rumah.Entah dapat ide dari mana, handuk yang rencana aku cucui sebab sudah satu minggu dipakai, spontan aku gunakan untuk membersihkan air minum yang sempat membasahi buku-buku tercintaku.

Untuk menghibur diri aku berucap, “ah mungkin meja ini minta “dimandiin” sebab hampir satu tahun tak pernah dibersihkan”. He, he, he.

Demi buku, handuk mandiku-pun jadi korban!