Selasa, 15 Desember 2009

Lapang Dada itu ‘Enak’, Lho…

By: Rosyidah Purwo

Tulus adalah segala-galanya untuk hidup. Jangan penah sekalipun kamu mengharapkan balasan dari orang lain atas kebaikan yang pernah kamu lakukan. Atas tawa, canda, dan gurauan yang pernah kamu lakukan untuk orang lain.

Jangan pernah menganggap sedikitpun, bahwa, tawa, canda, yang kamu lakukan tidak memberikan kebahagiaan untuk orang lain.

Sering kali kita dihadapkan pada permasalahan aka sebuah tanya pada sebuah hal. “Mengapa aku diperlakukan sepereti ini, padahal aku sudah cukup baik sama dia?”, “Mengapa sikapnya seperti itu, padahal aku sudah baik sama dia? Apa yang salah pada diri saya?”

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu, kerap kali membuat pikiran dan hati terasa terbebani. Padahal belum tentu orang lain seperti apa yang kita pikirkan. Kakau toh pada kenyatannya betul, bahwa apa yang dilakukan orang lain sama seperti apa yang kita pikirkan, tidak perlu bersusah hati.

Berlapang dada, hadapi kenyataan. Sengaja saya tidak menampilkan tips, tersenyum, sebab belum tentu orang yang berlapang dada dapat melakukan senyum dengan mudah. Kadang ada orang yang benar-benar hatinya tulus, namun untuk tersenyum sungguh sangat sulit.

Saya bekerja pada sebuah lembaga pendidikan yang cukup terkenal di wilayahnya. Lembaga ini mengembangkan diri dalam bidang pendidikan. Dalam proses pengembangannya, lembaga ini terbilang berkembang sangat pesat.
Tentunya perkembangan ini, menuntut sebuah kinerja professional pada seluruh karyawan dan tenaga pendidiknya. Eenergik, cerdas, mandiri, tekun, dan sebagainya adalah hal wajib yang harus dikantongi oleh seluruh karyawan dan tenaga pendidik. Tak lain dan tak bukan, tuntutan semacam ini menciptakan sebuah lingungan kerja yan. serius. Hal semacam ini rawan sekali mendatangkan konflik. Konflik batin, social, dan sejenisnya.

Sebagai individu yang homo homini lupus, yang mana tidak dapat terlepas dari interaksi dengan orang lain, sedikit banyak, pasti pernah mengalaminya. Merasa sudah berbuat baik, sudah bekerja secara benar dan sesuai prosedur, sudah ramah-tamah, sopan, jujur, masih ada saja yang protes atau tidak suka dengan kinerja yang telah dilakukan.

Tidak menajdi masalah, sebab sepertinya ini sudah menajdi hukum alam. Yang dipermasalahkan di sini adalah, bagaimana cara dapat menyikapinya.
Pernah suatu ketika, saat saya masih sebagai tenaga pendidik baru, yang masih membawa idealism kemahasiswaan saya, dapat dipastikan hampir setiap hari, senyum dan tawa tidak pernah ‘mampir’ di wajah saya. Sebab apa yang ada di dalam lingkungan tempat kerja saya masih banyak yang tidak sesuai dengan apa yang ada di alam pikiran saya. Andaikan saya adalah selembar kertas, saya adalah kertas yang ditekuk-tekuk dengan bentuk lipatan yang tak jelas.

Bagaimana tidak, berada dalam sebuah lingkungan kerja dengan jam kerja sangat tinggi, berinteraksi dengan beratus anak dan berpuluh rekan sejawat, menghadapi system kerja yang unik, serius, dan professional. Beragam masalah kerap kali muncul.
Maka tak heran jika stress dan pusing kerap kali mampir di kepala saya. Sungguh tidak enak sama sekali. Hidup setiap hari berteman dengan stress dan pusing. Masalah sedikit, stress, ada perubahan sikap pada teman, pusing. Lalu aku berpikir, jika begini terus, kapan aku menikmati hidup?

Sedikit demi sedikit saya berusaha untuk menepis semua pikiran-pikran negative yang kerap kali mampir di kepala saya. Lalu, aku berusaha untuk menikmati apapun yang terjadi di lingkungan kerja saya. Sulit memang. Sebab harus merubah pola pikir, cara bersikap, berkomunikasi, dan yang paling utama adalah, bagaimana memiliki hati lapang.

Saya tidak tahu, apakah sekarang saya sudah berhasil menaklukan si ‘rasa gengsi’ yang kerap kali membuat kepala serasa ckot-ckoooot, ckot-ckoooot. Jelasnya, sekarang saya sudah merasa lebih enak dan nyaman dengan sikap saya yang lebih banyak tersenyum, menyatu dengan lingkungan, berkomunikasi, tidak sensitive, dan yang jelas adalah lapang dada.

Sering-seringlah melontarkan gurauan, canda, senyum, bahkan kalau perlu tawa. Ini akan membuat sehat pikiran, hati, dan jasmani.
Mau? Lakukan saja!

Kamis, 12 November 2009


Resensi Buku
Judul Asli : Rumis’s Daughter
Judul Terjemahan : Kimya sang Putri Rumi
Penulis : Muriel Maufroy
Penerbit : Mizan
Tebal Buku : 272 halaman
Cetakan Pertama : April 2005

Kimya; Sebuah Fiksi Sejarah
Oleh: Rosyidah Purwo
Sering kita jumpai berbagai buku bacaan sejarah. Di toko-toko buku juga sering kali kita melihat bermacam buku bacaan sejarah dipajang.

Bacaan sejarah, selama yang kita kenal adalah bacaan membosankan yang membutuhkan banyak energi u ntuk berpikir pada setiap kalimat yang dibaca. Meskipun pada dasarnya isi di dalamnya berbobot, namun karena cara penyampaian penulis yang cenderung naratif, membuat otak cepat jenuh dan lelah.

Namun berbeda ketika sebuah bacaan sejarah disajikan dalam bentuk fiksi. Novel, misalnya. Gaya penulisan semacam ini akan memberi kelebihan tersendiri. Seberat apapun sebuah sejarah dipaparkan, tetap saja enak untuk dibaca. Meskipun di dalamnya dipaparkan beberapa macam kejadian, beberapa tokoh sejarah, pembaca tetap saja ingin mengikuti sampai sejauh mana sejarah itu selesai.

Barangkali karena gaya penuturannya yang lebih ringan, dan cenderung lebih bisa dirasakan langsung oleh pembaca, sebab, barangkali karena cara penuturannya yang melihat dari sudut pandang si pelaku sejarah yang dimainkan dalam tokoh utama.
Terlebih bacaan fiksi lebih banyak digemari oleh semua kalangan. Maka bukan bukan hal aneh jika sekarang banyak penulis yang menayjikan bacaan sejarah dalam bentuk fiksi.

Seperti yang dilakukan oleh Muriel Maufroy. Dalam bukunya yang berjudul Kimya sang Putri Rumi, Maufroy menuliskan mengenai kehidupan Jalaludin Rumi dan hal ihwal yang terkait dengan kehidupannya. Di dalamnya adalah sahabat-sahabatnya, keluarga, dan kisah hidupnya.

Buku ini menceritakan menceritakan tentang kehidupan Jalaludin Rumi. Salah seorang yang diakui sebagai tokoh spiritual yang memengaruhi banyak orang dengan ajaran-ajarannya tentang cinta illahi dan perdamaian.

Rumi dikisahkan hidup dengan seorang anak angkatnya bernama Kimya. Diceritakan pula bagaimana Rumi menjalani kehidupannya sebagai seorang suami, teman, ayah, dan sekaligus ulama bagi masyarakatnya. Diceritakan pula bagaimana Rumi kemudian berubah menajdi seorang yang gemar akan musik. Bagaimana Rumi kemudian dicap sebagai orang yang sudah gila dan sesat.

Ditelisik secara detail, buku ini pada dasarnya merupakan bacaan sejarah, namun karena gaya penulisannya dibuat fiksi, dan gaya bahasanya yang ringan, membuat buku ini lebih mudah dan enak untuk dibaca. Meskipun ini adalah cerita sejarah (sebuah kehidupan seorang tokoh).

Dengan gaya bahasa fiksinya, pembaca secara tidak sadar diajak untuk menghafal beberapa nama-nama tokoh yang ada dalam kehidupan Rumi. Muriel Maufroy berusaha menyajikan sejarah kepada pembaca dengan sudut pandang dan gaya penulisan berbeda. Penasaran dengan bukunya? Selamat membaca.

Rabu, 21 Oktober 2009


RESENSI BUKU

Judul Buku : Guru Dalam Tinta Emas
Editor : Y. Suhartono
Penerbit : KOMPAS
Tebal Buku : xi + 275 halaman
Cetakan I : Juni 2005

Kita bisa membaca dan menulis, guru yang mengajarkan. Kita dapat menduduki jabatan tertentu, guru jugalah yang mengantarkannya. Kita bisa berkreasi dan berwirausaha, ya tetap guru juga yang berandil besar.

Tanpa guru, kita tidak akan seperti sekarang ini. Maka, pantaslah jika kita memberikan penghargaan tinggi kepada beliau. Penghargaan tersbut dapat kita ungkapkan antara lain dengan menerapkan, mengembangkan, dan mewariskan ajaran-ajarannya lewat keteladanan hidup kita sehari-hari. Agar kita memiliki greget untuk mewujudkannya, maka seyogyanya kita berusaha mengenal bagaimana guru itu.

Guru. Sering kita mendengar kata tersebut. Guru sering diartikan sebagai sosok yang bisa digugu dan ditiru (dipercaya dan diikuti). Ada juga yang menyebutkan guru itu adalah glugu turu, yang dimaksud adalah guru sebagai jembatan bagi siapa saja yang akan menuju “pintu masa depan/kesuksesan”.

Guru, bagi beberapa kelompok masyarakat yang masih memiliki kebudayaan yang bersahaja menganggap bahwa sosok guru adalah sosok yang harus dihormati, dengan memberikan panggilan Mas Guru. Kata “Mas” adalah kepanjangan dari ”Nimas”, merupakan sebutan untuk orang yang sangat dihormati. Hal alin yang kerap kita dengar tentang guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

Memang hal yan sangat pantas apabila julukan seperti itu melekat pada mereka. Namun hanya pantas bagi mereka yang benar-benar menjadi pendidik sejati. Mereka yang mengajar tidak sekadar menjalankan tugas dan kewajiban. Namun, mereka yang benar-benar melaksanakan tanggung jawab dengan sepenuh hati.

Pernahkah mendengar nama Hajjah Sabariah? Atau Butet Manurung? Atau Nurlaila? Mereka dalah sekian contoh pendidik sejati. Seorang guru sejati.

Hajjah Sabariah, seorang guru dan pendidik yang di usia senjanya justru lebih memilih untuk membagikan pengetahuannya pada anak-anak rimba raya di pedalaman Papua sana. Siapa yang mau berbuat demikian kecuali mereka yang mempunyai hati emas dan tekad sekuat baja.

Dengan bekal pengetahuannya, hasil sekolah do Normaal School Amsterdam, dengan menguasai tiga bahasa (Indonesia, Jepang, dan Inggris). Di mana banyak orang yang berkejar-kejaran memeroleh gelar dan jabatan dengan pengetahuan yang mereka punyai, justru Hajjah Sabariah tidak demikian adanya. Dengan kehidupan yang sederhana, dan pas-pasan, dengan lingkungan hidup yang jauh dari keramaian, dan dengan anak-anak yang benar-benar masih terbelakang, ia denga tabah dan sabar membagikan ilmunya kepada mereka.

Ada juga kisah Butet Manurung (Saur Marlina Manurung). Siapa yang tidak mengenal akan dirinya. Seorang perempuan muda yang rela mengabdikan diri di rimba raya Riau sana. Pendidikan yang ia peroleh dari almamaternya (UNPAD), ia gunakan dengan sebaik-baiknya. Ia sebarkan ilmunya pada anak-anak rimba raya Riau sana.

Siapa yang mau hidup denga orang-orang yang tinggal di daerah yangsangat terpencil dan tertutup serta jauh dari keramaian. Sebab ia tinggal di tengah hutan. Saat-saat di mana orang-orang yang seusia dengannya sedang mencari kesenangan hidup dengan menghabiskan waktunya di maal-maal, justru ia lebih memilih mengabdikan hidupnya ada anak-anak rimba.

Semuanya dikarenakan mereka betul-betul berhati emas. Mereka ingin menjadi pendidik sejati. Mereka ingin semua orang dapat merasakan adanya pendidikan..

Guru engkaulah pahlawanku. Engkaulah pahlawan sejatiku. Guru engkaulah penyelamat bangsaku. Betulkah?

Buku Guru Dalam Tinta Emas, yang merupakan kumpulan dari tulisan wartawan harian KOMPAS, akan menjawab semuanya. Dengan bahasanya yang sederhana dan ringan, membuat buku ini mudah sekali untuk dipahami dan dibaca.

Bagi para guru yang sedang mencari kebenaran sejati, atau ingin menjadi pendidik sejati, bacalah buku ini.

Membaca buku ini akan memberi inspirasi dan informasi yang banyak pada kita. Membuat mata dan hati benar-benar terbuka. Ternyata di dunia sana yang kita tidak tahu sama sekali tempatnya, masih ada kebodohan dan keterbelakangan.

*) Resensi ini pernah dimuat di KOMPAS MAHASISWA, edisi 77 Mei 2006

Selasa, 20 Oktober 2009


RESENSI BUKU

Judul Buku : Misteri 7 Bayi yang Dapat Berbicara (Mengeja Tanda Demi TandaKekuasaan Allah di alam Semesta)
Penulis : Dr. Musthofa Murad
Penerbit : Mirqat Publishing
Cetakan Pertama : Oktober 2008
Tebal Buku : XXIX + 108 halmaan

Bayi-Bayi “Ajaib” Ciptaan Tuhan
By: Rosyidah Purwo

Betapa Tuhan telah menciptakan alam ini dengan segenap perhitungan. Asetiap apa yang diciptakannya tidak pernah luput dari apa yang namanya “sisi manfaat dan pelajaran”. Segala sesuatunya telah diperhitungkan secara cermat dan detail.

Bukan sebuah keniscayaan jika suatu saat, barangkali seseorang, ketika sedang berjalan tiba-tiba melihat atau mendengar sepucuk daun dapat berbicara. Meskipun kelihatannya mustahil menurut daya pikir kita.Bagi akal manusia, hal ini mungkin dianggap sebagai hal yang mustahil. Namun tidak bagi Tuhan.

Hukum kelaziman mewartakan, setiap manusia terlahir dari buah cinta orang tua mereka yaitu ayah dan ibu. Dari pertemuan seperma dan telur (melalui proses pembuahan) terbentuklah segumpal daging (baca; janin), yang kemudian setelah lahir orang menyebutnya sebagai manusia.

Namun, realita kehidupan mewartakan, Tuhan juga menciptakan manusia tanpa ayah dan ibu, dialah nabi Adam. Tuhan juga menciptakan manusia tanpa ibu, dialah Hawa, Tuhan juga menciptakan manusia tanpa ayah, dialah nabi Isa.

Realita penciptaan tersebut, untuk menunjukkan tanda kuasa Tuhan di alam semesta ini agar setiap makhluk memahami bahwa Tuhan maha kuasa atas segala sesuatu. Jika Tuhan mampu menciptakan, hal yang demikian, maka bukan tidak mungkin lagi Tuhan akan menciptakan hal-hal “aneh” yang menurut daya pikir manusia adalah mustahil.

Dr. Musthafa Murad menuliskan dalam bukunya yang berjudul “Misteri 7 Bayi yang Berbicara (Mengeja Tanda Demi Tanda Kekuasaan Tuhan di Alam semesta), menuliskan tentang kisah 7 bayi yang mamapu berbicara.

Dalam buku ini dituliskan mengenai sejarah tujuh bayi tersebut. Disertai dengan dialog-dialog dan dalil-dalil untuk menguatkan adanya sejarah tersebut. Dr. Musthafa Murad mencoba menguak sisi lain kuasa Tuhan dari sudut mana kebanyakan orang masih sedikit yang mengetahuinya.

Dengan gaya bahasanya, dan penyertaan dalil-dalil serta penajaman kata-katanya dapat menambah keyakinan kita terhadap keberadaan Tuhan, yang maha kuasa atas segala sesuatu.

Rabu, 14 Oktober 2009

“Kantong Doraemon” di Fiqih Sunnah


By: Rosyidah Purwo
Resensi Buku
Judul Asli : Fiqhussunnah
Judul Terjemahan : Fikih Sunnah
Penulis : Sayyid Sabiq
Penerbit : Pena Pundi Aksara
Cetakan Pertama : Februari 2008
Tebal Buku : Jilid I : xxiii + 591 hal
Jilid II : xxi + 554 hal
Jilid III : xxiii + 470 hal
Jilid IV : xxix + 431 hal


Ilmu fikih bagi sebagian besar orang, dianggap sebagai seuatu yang rumit, dan sulit dipahami. Mengingat hukum-hukum dan permasalahnnya yang ada di dalamnya terlalu kompleks.

Hampir seluruhan permasalahan yang ada di masyarakat, dapat dipastikan selalu ada hukum dan dalil-dalil yang mengaturnya. Maka tidak heran jika sebagian besar orang merasa berat untuk belajar fikih, mengingat kompleks dan peliknya permasalahan yang muncul di masyarakat. Sudah barang tentu aturannya pun semakin kompleks.

Terlalau kompleksnya permasalahan yang diatur di dalam fikih, menyebabkan banyak sekali buku-buku bacaan fikih yang beredar di masyarakat. Baik yang berbahasa arab/asing, maupun bahasa Indonesia.

Hal ini tidak menutup kemungkinan menjadi sesuatu yang menyulitkan bagi sebagian besar orang untuk mencari buku rujukan/pedoman yang terkait dengan fikih. Terlebih banyaknya buku-buku rujukan fikih yang condong pada satu madzhab tertentu, yang terkadang menyoroti masalah hanya dengan satu sudut pandang. Ini membuat banyak orang terkadang juga harus berpikir lebih keras untuk memahami apa yang dimaksud dalam teks. Terlebih jika aturan itu jauh dari realita budaya masyarakat setempat..

Sebagai contoh misalnya batasan aurat perempuan. Dalam madzhab Syafiiyyah, batasan aurat adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Jika aturan menutup aurat semacam ini diterapkan pada masyarakat Indonesia yang ada di pedesaan, yang mana kebanyakan mata pencaharian mereka sebagai petani atau buruh sawah, tentunya kurang cocok. Bahkan bisa jadi menyulitkan gerak mereka.

Rasa-rasanya permasalahan semacam ini tidak perlu menjadi hal yang memusingkan. Sebab, Sayyid Sabiq, dalam bukunya, Fiqih Sunnah, telah menjelaskan secara rinci, detail, dan praktis mengenai permasalahan-permasalahan fiqih.

Berbagai permasalahn fiqih dikupas tuntas dari berbagai perspektif dengan landasan yang detail berlandasan pada Al quran, As Sunnah, dan ijma’ ulama.
Semua pembahasan di dalam buku ini dihadirkan dengan sajian ekslusif, lengkap, sistematis, dan mudah dipahami.

Sayyid Sabiq yang tidak berfanatisme pada satu madzhab, memberi kemudahan dan kepraktisan dalam penjelasan seputar fiqih.

Buku ini memiliki judul asli Fiqhussunnah, penerbit Darul Fath, Kairo. Diterbitkan menjadii empat jilid di penerbit Pena, Indonesia.

Jilid pertama memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah. Seperti, pemaparan hal-hal terperinci mengenai bersuci dan tata caranya, jenis-jenis sholat, tata cara shalat dalam kondisi-kondisi tertentu, puasa zakat, dan hal-hal menganai ibadah lainnya.

Dalam jilid dua merupakan pemaparan lanjutan jilid satu yaitu mengenai ibadah haji, safar, ibadah ketika sakit, serta pengurusan jenazah. Dilanjutkan dengan penjelasan rinci mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan seperti ijab Kabul, syarat pernikahan, syarat wali, hak antara suami dan istri, walimah, khotbah dan doa pernikahan, berhias, poligami, pihak-pihak yang haram menjalin hubungan pernikahan, kawin kontrak, dan sebagainya.

Dilanjutkan dengan jilid tiga memaparkan mengenai perceraian, hak asuh anak, hukum mengnai khamar, zina murtad, , ,mengenai perampokan dan pencurian, diat, jihad, jizyah, atau pajak, harta rampasan perang, serta perlindungan keamanan bagi non muslim.

Terakhir adalah jilid empat. Memaparkan mengenai muamalah antar sesama manusia, seperti hubungan jual beli, utang-piutang, riba, penyembelihan, kurban, akikah, penjaminan, pengadilan, pakaian, wakaf, hibah, pernafkahan, hingga wasiat dan pewarisan.

Ibarat kantong Doraemon, buku ini akan menjawab semua permasalahan fiqih dengan rinci, mudah, dan praktis.

Selamat menikmati karya fenomenal ini. Edisi lengkapnya yang diterbitkan dengan cover dan kertas dengan kualitas baik, membuat harga buku ini sedikit mahal. Namun tidak menjadi masalah. Sebab buku ini buku bacaan berkualitas yang harus anda miliki.

Kesetaraan Gender Ada di Kuda Kepang


Artikel: Rosyidah Purwo*
Pembicaraan mengenai kesetaraan gender sudah lama sekali didengungkan. Dipastikan, hampir di setiap lini kehidupan, ada. Bahkan permasalahn ini sudah bukan merupakan ha lasing lagi di telinga masyarakat Indonesia.

Dari bidang pendidikan, ekonomi, pekerjaan, bahkan sampai pekerjaan rumah tangga pun tak lepas dari pembicaraan ini. Kesetaraan gender bahkan sudah merambah lebih luas lagi, tidak melulu dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, namun dalam masalah tradisi dan kebudayaan pun ada.

Kuda kepang, atau kata lainnya adalah kuda lumping, pada mulanya merupakan kesenian tradisional yang hanya dimainkan oleh laki-laki saja. Namun, seiring dengan berkembangnya, kuda kepang mulai mengalami perubahan. Perempuan yang pada awalnya tidak pernah menyentuh kesenian ini, sekarang mulai dilibatkan.

Penampilan Kuda Kepang “Langgeng Budoyo”, contohnya. Dua orang perempuan ikut berpartisipasi dalam pertunjukannya. Sepanjang pertunjukkan, dua perempuan ini menari kuda kepang dengan begitu lihainya. Tak tampak kecanggungan sedikitpun selama dalam pertunjukkan.

Sejak dua bulan, terhitung sampai Juni 2009, kelompok kuda kepang asal Walik, Purbalingga, ini mengambil perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam setiap pertunjukannya.

Meskipun tujuan semula adalah hanya untuk fariasi agar penonton lebih tertarik menyaksikan setiap pertunjukkan yang dipentaskan, namun tak dapat dipungkiri, bahwa kesetaraan gender ternyata sudah merambah dalam bidang kesenian tradisional. Kuda kepang, khususnya.

Kamis, 13 Agustus 2009

Motivasi Hidup Ala Life Must Go On!


RESENSI BUKU
Judul Buku : Life Must Go On, Seni Membangun Optimisme dan Menghilangkan Keresahan Hati
Penulis : M. Rusli Amin, MA
Penerbit : Zahira Press
Cetakan Pertama : Maret 2008
Tebal Buku : 160 halaman

Motivasi adalah sesuatu yang sangat berharga dalam hidup ini. Bila motivasi hilang dari dalam diri, maka sama saja ia adalah jiwa yang telah mati. Bagaimana tidak? Karena hilangnya motivasi akan menyebabkan seseorang tidak lagi mempunyai gairah dan asa dalam menjalani kehidupan ini. Lalu apakah yang lebih berbahaya dari hilangnya motivasi dalam hidup ini?

Karena itulah, siapapun kita, kita membuthkan motivasi dari orang-orang yang ada di sekitar kita. Entah itu dari keluarga, guru, dan para sesepuh, atau bahkan dari para tetangga terdekat kita. Bahkan motivasi yang kita butuhkan itu bisa saja bersumber dari kejadian-kejadian di sekitar kita, atau dari buku-buku yang kita baca.

M. Rusli Amin, dalam bukunya berjudul Life Must Go On! Menuliskan motivasi hidup untuk kita. Di dalamnya dibicarakan bagaimana manusia meraih kebahagiaan, kesuksesan. Dibicarakan juga bagaimana manusia menyikapi kondisi hidup yang buruk, begaimana kita harus selalu berpositif thinkkink.

Buku ini menyajikan banyak motivasi-motivasi hidup brilian yang dikemukakan oleh orang-orang tersukses dalam bidangnya. Lengkap dengan ilustrasi-ilustrasi yang menggelitik hati. Membaca buku ini optimisme dalam diri. Sekaligus menghalau segala keresahan yang sedang melanda hati.

Bahasanya yang tidak terkesan menggurui, membuat kita merasa enak membaca buku ini. Penasaran dengan buku ini?

Rabu, 05 Agustus 2009

Menulis itu…MUDAH, Kawan!!!*

Banyak orang yang bingung ketika hendak memulai membuat sebuah tulisan. Bahkan ketika tangan sudah siap untuk memencet tuts keyboard, pikiran masih kosong. Tidak tahu harus menulis apa dan bagaimana.

Jika dalam durasi 10 menit ide tak kunjung ada, akan terlontar kata “sulit banget!” atau “bingung deh!” atau “mau nulis apaan niiiih!” atau “aahhhhhh!”

Bermula dari Ide
Ide merupakan modal tak terbatas. Namun, biasanya tak banyak orang percaya. Orang lebih percaya, modal adalah materi atau financial yang tersedia dan dimiliki. Bahkan nyaris semua orang percaya, modal adalah uang. Padahal, orang yang memiliki kekayaan sejati adalah orang yang memiliki ide. Sebaliknya, orang yang tak punya ide berarti termasuk dalam kelompok garis kemiskinan (KGK).

Oleh karena itu, seorang penulis harus memiliki ide dan mampu mengkongritisasi atau mewujudkan ide itu. Degan ide yang jelas, seorang penulis akan menghasikan tulisan yang jelas pula. Lain bila seorang yang menulis bingung karena tak memiliki ide, tulisannya pun akan membingungkan. Bahkan tak akan menghasikan tulisan satu kata pun.

Bagaimana Memeroleh Ide?
Harus cerdas, jenius, atau pinteeeer banget?
Jawabannya: TIDAK.

Terkadang, seorang yang biasa-biasa saja bisa memiliki ide brilliant. Selama ia mampu mengembangkan idenya, ia bisa menjadi penulis.

JK. Rowlling, adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Dia bukan orang yang jenius-jenius amat. Siapa yang menyangka ia dapat menulis sebuah karya yang spektakuler?
Idenya sungguh biasa-biasa saja. Namun ia mampu mengubahnya menjadi sebuah mahakarya yang luar biasa!!!

Ahmad Thohari, seorang penulis novel spektakuler “Ronggeng Dukuh Paruk” bukan orang yang pintar-pintar amat, namun ia mampu menciptakan sebuah maha karya agung yang luar biasa dahsyat!

Ide selalu muncul di dalam pikiran semua orang sesuai dengan lingkungan hidupnya. Lingkungan akan selalu memberikan rangsangan terhadap timbulnya ide.

Lantas, bagaimana agar dapat memeroleh ide dengan mudah?
Jawabnya: Jadilah Orang yang PEKA dan SENSITIF.

J.K Rowling dan Ahmad Thohari adalah orang biasa saja, namun ia memiliki sens of fiction. Mereka memiliki kepekaan yang luar biasa dengan lingkungkan di mana mereka tinggal. Juga sensitive terhadap kejadian dan apa yang ada di sekitar ia tinggal.

“Makanan Pokok Saya adalah Membaca”
Katakan itu.
Seorang juru masak professional, tidak akan pernah bisa menciptakan sebuah masakan yang enak, tanpa terlebih dahulu merasakan lalu bertanya bagaimana cara membuatnya.

Sudah melakukannya pun, belum tentu dapat menghasilkan masakan yang enak. Ia masih harus lagi, makan lagi (resep sana-sini), baca resep sana-sini, begitu seterusnya sampai ia mampu memeroleh sebuah karya cipta (masakan) yang spektakuler.

Begitupun bagi penulis. Ingin menjadi penulis, tidak boleh puas dan merasa sudah cukup hanya dengan membaca sebuah buku. Ingin menjadi penulis professional, bacalah sebanyak-banyaknya buku bacaan. Apa saja, kapan, dan di mana saja.

Buku itu ibarat saplement bagi para penulis.

“Ayo Mencoba Terus…”
Ibarat sebuah pisau, jika tidak dipakai dan tidak diasah terus tentu ia akan menjadi tumpul. Begitupun dengan seorang penulis, jika ide seguadang banyaknya, tanpa pernah diujicobakan untuk dituangkan dalam bentuk tulisan, maka ide itu hanya akan hilang. Terbuang sia-sia.

Jika ingin ide yang segudang itu berubah menjadi karya yang luar biasa, maka satu pesan dari saya, “Mencoba yuk” selanjutnya adalah “nyoba lagi yuk”, terus “ayooo teruslah mencobaaaaa!” Ingat kawan, ide itu mahal harganya. Jadi, jangan sampai hilang ya.

Jadikan mencoba (berlatih) sebagai bagian dari kebiasaan hidup. Maka, sudah pasti menulis itu akan menjadi MUDAH, Kawan!!!

Mengapa Enggak untuk Menjadi Penulis
Bagi seorang penulis, tulisan adalah komoditas bacaan bagi pembaca, yang berarti penulis berusaha memproduksi tulisan dan pembaca sebagai konsumennya.

Bukankah sekarang ini para pembaca tak segan-segan mengeluarkan uang untuk buku berisi tulisan yang menyenangkan saat dibaca? Jadi, mengapa enggak untuk menjadi seorang penulis?

Jangan pernah putus asa, jika sekali tulisan, dikatakan buruk, ditolak, dan di”maki-maki” editor. Sampai akhirnya mampu menciptakan sebuah karya yang baik. Tak ada seseorang yang bangkit (sukses) sebelum terpuruk.

Selamat mencoba menjadi penulis, ya.
Yang pasti, jangan sampai menjadi kelompok KGK! Menderitaaaaa lahir, batin!
Ingat, menulis dapat menambah uang saku lhoh!

*Disampaikan dalam Grand Opening Perpustakaan Al-Amin, 28 Maret2009.

Kamis, 16 Juli 2009

Tahu Kalisari

Sabtu, 4 April 2009. Anak-anak kelas IV SD Al Irsyad Al-Islamiyyah I Purwokerto, mengadakan kunjungan ke pabrik tahu Kalisari, Cilongok.

Disertai dengan 8 guru pendamping, sejumlah 151 anak, melakukan out door study. Out door study kali ini mengusung tema “Cintai Produk dalam Negeri”.

Dengan menggunakan 24 mobil milik orang tua wali murid, rombongan berangkat pukul 07.30 wib. Selama kurang lebih 30 menit, rombongan tiba di lokasi.

Desa Kecil yang Produktif
Kalisari adalah desa kecil, bagian dari wilayah Banyumas. Letaknya tidak begitu jauh dengan objek wisata Curug Cipendok. Bagi yang sudah pernah berkunjung ke objek wisata Jurug Cipendok, tentunya akan melewati desa ini.

Meskipun dibilang kecil, desa ini terbilang produktif. Sebanyak 460 kelompok produsen tahu, berdiri di wilayah ini. Jumlah yang bisa dibilang cukup besar.

Bisa dibilang, industri tahu adalah nafas kehidupan wilayah ini. Sebab hampir sebagian warganya berkecimpung dalam kegiatan ini.

Tahu sudah mampu memberi penghidupan layak bagi beberapa warga di daerah ini. Adalah bapak Taruno. Salah satu produsen tahu di daerah ini yang sejak 1987 menggeluti profesi sebagai produsen tahu.

Dengan usahanya, ia sudah mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang perguruan tinggi. Bahkan sudah mampu membeli mobil sendiri.

Tetap Semangat!
Meskipun di pabrik tahu udara terasa panas, tidak membuat anak-anak enggan untuk melakukan kegiatan ini.

Disebabkan rasa penasaran dan tuntutan tugas, mereka bersemangat mengamati proses pembuatan tahu dari awal sampai akhir.

Kami Cinta Produk Dalam Negeri
Dengan peluh bercucuran dan wajah merah merona, anak-anak melakukan kegiatan dengan penuh antusias.

Kurang lebih dua setengah jam anak-anak melakukan pengamatan, wawancara, dan mengerjakan tugas.

Setelah kegiatan selesai, acara dilanjutkan dengan ajang belanja dan menyantap tahu bersama. Siapa yang menyangka anak-anak begitu antusias membeli dan memakan produk dalam negeri ini? Yah, sebab kami mencintai produk dalam negeri.

Kamus Bahasa “Gak-Guk”

“I am sorry. May I use your printer? Uridu an printout my file” (Maaf, bolehkah saya menggunakan printer kamu? Saya ingin…..)
“Yes. Tafadol.” (Ya, silakan).
“As al. Ustadz, are you know where is my mirsamah?” (Tanya. Ustad, apakah kamu tahu di mana penggaris saya?”
“La a’rif.” (Tidak tahu).

Siapa yang pernah mendengar percakapan semacam ini? Atau barangkali baru pernah membacanya?

Ini adalah percakapan yang terjadi antara saya dengan teman seprofesi. Orang yang belum tahu, mungkin akan memicingkan sebelah matanya terlebih dahulu atau mengerutkan dahi. Atau bertanya-tanya dalam hati, “orang ini ngomong apa?” Karena ini bahasa asing.

Bukan, ini sebenarnya bukan bahasa asing. Bahasa ini sudah sering kita jumpai. Bahsa Arab dan Inggris. Hanya saja penggunannya dicampur-campur. Kok bisa? Bisa saja. Kenyataannya di masyarakat ada.

Jangan bingung. Ini adalah perckapan bahasa inggris yang disisipi bahasa arab. Percakapan macam ini, terjadi antara guru-guru di salah satu sekolah dasar terbesar di Banyumas. Tepatnya di SD Al-Irsyad Al-Islamiyyah Purwokerto I.

Percakapan macam ini berlaku kepada semua staff pengajar mulai dari pukul 06.45 wib sampai jam sekolah selesai, 14.30 wib. Pemberlakuan ini terkait dengan peraturan dari sekolah yang mewajibkan bagi guru-gurunya untuk menggunakan dwilingual, bahasa inggris dan bahasa arab. Sebab bahasa Indonesia atau bahasa Jawa dianggap not allowed.

Pemberlakuan penggunaan dwilingual tersebut tentunya bukan karena sebab. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia.Sebab sekolah dapat bermutu tentunya karena sumber daya manusianya juga bermutu. Salah satunya penguasaan bahasa asing.

Terlebih, apabila sekolah tersebut sudah memiliki nama sebagai sekolah standar internasional. Tentunya harus selalu didukung dengan segala sesuatu yang serba bermutu. Selain SDM, juga kurikulum, proses pembelajaran, fasilitas sekolah, administrasi, dan lain-lainnya.

Dipandang sekilas, sungguh luar biasa sekolah ini! Namun, jika ditengok lebih jauh (baca; grammer) sungguh kacau. Sepanjang sepengetahuan saya, belum pernah saya menemui bahasa macam ini.

Satu lagi, berhubung sebagian besar guru masih sedikit yang mampu menggunakan secara aktif dua bahasa ini, maka kerap terjadi “gak-guk” antar pengguna.

Maka jangan heran jika sering dijumpai guru bercakap-cakap dengan megeluarkan kata “eeee…, apa yah” yang diulang berkali-kali sambil megang kepala atau menggerak-gerakkan tangan. Tanda ia sedang berpikir dan berusaha keras untuk mengungkapkan kata yang ia tidak mampu diucapkan dengan bahasa asing.

Beruntung masih ada toleransi penggunaan bahasa Jawa atau Indonesia untuk menerjemah kata yang tidak dipahami. Sehingga “gak-guk” tidak perlu terjadi terlalu lama.

Apapun bentuknya, ini adalah sebuah model baru yang unik. So, perlu dijaga agar tidak hilang. Mungkin sekolah perlu membuatkan kamus bahasa unik. Kalau saya boleh usul, saya akan mengusulkan, “Kamus Bahasa Gak-Guk”.

Menjaga Tradisi Tidak Sekadar Biaya

Membaca artikel Chuby Tamansari berjudul “Karena Bangga juga Butuh Biaya” yang dimuat pada Radar Banyumas, edisi Minggu Wage, 27 Januari 2008, saya jadi teringat dengan artikel saya yang pernah dimuat di Suara Merdeka, edisi Senin, 07 Mei 2007, berjudul “Jankkis”. Kebetulan temanya sama, yiatu mengenai kebudayaan atau tradisi.

Dalam artikel tersebut, saya menulis mengenai musik tradisional “Jankkis”. Yaitu musik tradisional kentongan yang diciptakakan oleh sekolmpok anak muda dari Jalan Kissaran di salah satu wilayah di Banyumas.

Dari sebuah artikel yang saya unduh dari internet, munculnya musik ini berawal dari sebuah kebiasaan anak-anak muda bermain gitar sambil kongkow-kongkow tanpa ada tujuan yang jelas. Melihat hal demikian, seorang bapak yang merasa kasihan dengan mereka, mencetuskan ide untuk membuat paguyuban seni musik yang mana anggotanya adalah dari anak-anak muda tersebut.

Berawal dari modal yang sangat sederhana, maka berdirilah paguyban seni musik kentongan Jankkis. Seni musik ini dinamakan Jankiss, diambil dari nama jalan di mana anak-anak muda tersebut suka kongkow-kongkow. Yaitu Jalan Kissaran, yang kemudian disingkat menjadi Jankiss.

Perlahan-lahan, bulan demi bulan, paguyuban seni musik ini mulai unjuk gigi. Barangkali karena orang yang melihat merasa nyaman dan senang dengan musik ini, maka beberapa kali paguyuban seni musik ini dimintai untuk tampil dalam rangka meramaikan acara-acara resepsi.

Paguyuban seni musik ini juga berulang kali menjuarai berbagai macam lomba musik tradisional yang pernah diadakan di Banyumas. Bahkan dalam sebuah artikel disebutkan, paguyuban seni musik ini pernah diundang untuk meramaikan acara di beberapa hotel di Banyumas.
Paguyuban seni musik tradisional Jankiss boleh dikatakan sudah mulai mendapatkan tempat di sebagian hati masyarakat, khususnya Banyumas. Maka jangan sampai kesenian ini nantinya hilang sia-sia begitu saja. Maka perlu adanya pewarisan atau regenerasi.

Chuby mengatakan, bangga (baca=menjaga) membutuhkan biaya. Namun pendapat saya mengatakan, selain biaya, untuk melestarikan budaya termasuk paguyuban seni musik Jankiss, juga dibutuhkan adanya proses pewarisan kepada generasi yang akan datang.

Meskipun biaya ada, namun tidak ada proses regenerasi/pewarisan pada generasi selanjutnya, niscaya sebuah tradisi atau budaya dapat eksis keberadaannya. Lihatlah seperti tradisi Doger, Angguk, permainan anak Nini Thowok, sampai sekarang sudah tidak ada bekasnya.

Jika saya bertanya pada anak-anak di sekitar rumah saya, mereka hampir tidak mengenal istilah tersebut. Padahal dulunya Doger, Angguk, dan permainan anak Ninik Thowok pernah menjadi hal yang faforit di hati masyarakat.
Saya sendiri juga mengalaminya. Jika saya ditanya bagaimana bentuk dan cara memainkannya, pasti saya tidak tahu. Salah satu sebabnya karena saya tidak pernah dikenalkan oleh orang tua atau orang-orang sebelum saya.

Maka saya sependapat dengan seorang Antropolog Indonesia, Koentjaraningrat, yang mengatakan bahwa, kebudayaan itu perlu adanya sistem pewarisan. Jadi, satu hal yang menjadi penyebab hilangnya tradisi ini karena tidak adanya proses pewarisan budaya dari generasi sebelumnya ke generasi yang berikutnya.

Memang tidak dapat disalahkan, adanya globalisasi dan modernisasi, membuat masyarakat—Indonesia—lebih cenderung untuk lebih melirik pada budaya asing yang dianggap lebih “nendang” di kalangan generasi muda. Sedang sesuatu yang berbau masa alau dianggap kuno.

Padahal ketiga macam tradisi ini, jika diuri-uri keberadaannya bisa menjadi sesuatu yang sangat berharga. Dan dapat menjadi “harta karun” yang tiada duanya. Jika dijual sebagai aset wisata, bukan tidak mungkin banyak orang yang “meliriknya”.

Terutama di mancanegara yang sangat mengagumi kebudayaan Indonesia yang mereka katakan sebagai sesuatu yang unik dan “wah”.

Siapa sih orangnya yang mau kehilangan produk atau hasil karya sendiri? Tidak ada, kecuali orang-orang bodoh yang tidak dapat menghargai hasil karya sendiri. Atau barangkali masyarakat kita semakin bodoh?

So, bukan hanya biaya yang dapat melanggengkan sebuah tradisi atau budaya. Namun, perlu adanya sebuah pewarisan budaya.

Kentongan, Kreatifitas Baru Mencari Rejeki

Kretivitas muncul manakala kesulitan menghadang. Minimnya jumlah lapangan kerja, menimbulkan banyaknya pengagguran.

Ironisnya, jumlah pengangguran yang ada, tidak hanya dari kalangan orang-orang usia senja, namun dari usia muda juga tak kalah banyaknya.

Sebagai daerah agraris, Banyumas memiliki banyak sekali pengangguran. Dikatakan oleh bupati Banyumas, bahwa jumlah pengangguran di Banyumas sudah mencapai 400 ribu jiwa.

Tentunya dengan jumlah pengangguran sebanyak ini, dapat menimbulkan dampak buruk bagi pemkab Banyumas. Bisa jadi angka kemiskinan dan kriminalitas meningkat. Sebab ini selalu berbanding lurus dengan jumlah pengangguran.

Melalui kreatifitas sekelompok pemuda di Banyumas, musik kentongan, dapat menjadi alternatif pengurangan angka pengangguran.

Musik Unik yang Menjadi Teman Ronda
Kesenian musik kentongan merupakan musik khas masyarakat Banyumas, Jawa Tengah. Musik ini dimainkan oleh 10 hingga 20 orang, dengan dipimpin seorang atau dua orang mayoret. Biasanya pertunjukkan musik ini dilakukan di tempat-tempat wisata, festival daerah Banyumasan dan juga pada acara-acara daerah.

Awal terbentuknya musik kentongan ini pada mulanya adalah dari ide beberapa orang yang menjaga malam (ronda) di suatu daerah Banyumas. Mereka biasanya membawa alat dari bambu untuk dibunyikan sebagai tanda penjagaan dan juga menunjukkan waktu.

Dalam pergelaran musik kentongan, biasanya disertakan alat yang menyerupai gitar. Namun suaranya bukan dihasilkan dari petikan senar, namun dari bambu yang digesek. Juga ditambah dengan angklung, samba, dan bas yang terbuat dari drum plastik yang dilapisi karet ban mobil.

Kemudian alat ini dibunyikan beraturan sehingga menimbulkan suara yang merdu, lalu mereka memainkan kentongan ini meniru lagu-lagu daerah Banyumasan dan juga musik lagu jaman sekarang.

Pada dasarnya ini untuk menghilangkan kejenuhan saat ronda, kemudian berkembang menjadi alat musik khas Banyumas. Kesenian kentongan ini dapat mengiringi semua jenis lagu, namun lebih pas lagi bila mengiringi lagu-lagu daerah atau lagu yang religius.


Musik Serba Guna
Musik kentongan tergolong musik yang sangat unik, sebab musik ini dapat digunakan dalam acara resmi maupun non resmi. Tak kalah hebatnya dengan musik-musik pop modern.

Kesenian ini dapat disewa, apabila menginginkannya. Misalkan pada acara pernikahan, khitanan, atau hanya ingin sekadar tahu saja. Kesenian ini cukup terkenal juga di wilayang Jawa Tengah, terbukti setiap festival kesenian kentongan di Banyumas pesertanya bukan hanya dari daerah Banyumas saja tetapi ada juga dari luar Banyumas.

Dalam sosialisasi pemilihan Gubernur Jawa Tengah, di kabupaten Banyumas diselenggarakan dengan menampilkan kesenian kentongan dengan berkeliling pasar dan pusat-pusat keramaian.

Dalam kesempatan lain, musik kentongan juga pernah menyambut atlet Banyumas dalam Porda Jateng 2005, yang keluar sebagai juara umum.

Tampil Nyrntrik
Saat tampil di depan public, dalam acara perlombaan atau pertunjukkan, grup kentongan ini akan tampil dengan nyentrik dengan dandanan dan pakaian seragam yang nentrik pula.

Ratusan kelompok kentongan telah ada di Banyumas. Dalam sebuah artikel on line disebutkan terdapat 300 kelompok musik kentongan.

Sarana Mengais Rejeki
Kentongan sudah bisa dijadikan sebagai saran mengais rejeki yang dikelola dengan kegiatan ngamen.

Pengamen bukan peminta-minta. Mereka adalah penjual suara, sama halnya dengan artis atau grup band yang menjual suaranya. Bedanya, pengamen tempatnya di pinggiran jalan, di bus-bus, di terminal, dan tempat-tempat keraiaman.

Grup band memiliki tempat khusus, di panggung-panggung hiburan, di karaoke, dan tempat-temapat yang lebih layak lainnya. Mereka sama-sama mendapat uang setelah “aksi” nyanyinya selesai.

Grup Mahatidana Budaya, salah satu dari sekian banyak brup kentongan yang sudah mampu menikmati hasil dari trampilan yang mereka miliki.

Dari hasil ngamen, mereka mamapu membuka berbagai unit usaha, yang terkadang tidak beralian dengan seni kentongan. Ini adalah asset besar bagi pemerintah Banyumas. Setidaknya mereka dapat meringankan beban pemkab Banumas dalam penyediaan lapangan kerja.
Jika dilakukan dengan serius, bukan tak mungkin lagi grup musik ini dapat membuka lapangan kerja. Membuka bengkel pelatihan untuk masyarakat di luar Banyumas yang berminat belajar musik kentongan.

Seperti yang dilakukan oleh grup musik kentongan Mahatidana. Dari keseriusan yang mereka lakukan, mereka mampu mengumpulkan uang lebih dari 20 juta rupiah.

Dari hasil tersebut, mereka sudah memiliki unit usaha seperti keterampilan menjahit, pembuatan paving blok. Dari berbagai hasil unit usaha ini, kelompok ini dapat mengaryakan anggotanya yang semula menganggur.

Jika main di dalam kota, sekali main mereka mamapu memeroleh pemasukan minimal 1.5 juta rupiah. Di wilayah pinggiran Banyumas sekitar 2.5 juta rupiah, sedangkan di luar Banyumas sampai 3 juta rupiah.

Bagi masyarakat yang menghendaki hiburan menarik tapi dananya sedikit, dapat juga menyaksiskan perunjukkan musik ini. Sebab dengan hanya memberi seribu rupiah, dapat menikmati musik ini selama kurang lebih 15 menit.

Tentunya, jika pertunjukkan musik ini eksis dan makin berkembang, pedagang bambu akan mengalami permintaan tinggi. Dengan begitu, masyarakat akan meproduksi bamboo yang cukup guna memenuhi kebutuhan pasar. Maka terbukalah sebuah peluang usaha baru yang tentunta mamapu menyerap tenaga kerja baru.

Segala sesuatau yang ada di masyarakat sifatnya tidak pernah langgeng. Tentunya keberadaan music ini suatu saat akan mengalami kemunduran. Mengingat music ini bukan jenis music pop modern yang banyak disukai oleh kalangan anak muda sekarang.

Barangkali musik ini dapat dijadikan dalam satu paket wisata BATURADEN apabila menghendaki keberadaannya tetap eksis, seperti halnya kuda lumping, dan lengger yang sampai sekarang masih tetap ekis di Banyumas meskipun usianya sudah sangat tua.

Alternatifnya lainnya adalah, pengelola harus pintar-pintar memberikan sentuhan lebih pada jenis musik ini agar masyarakat tetap melirik pada musik ini. Misalnya dengan memasukkan alat musik modern ke dalamnya namun tidak mnghilangkan jenis musik aslinya.

Untuk menghindari adanya hal demikain, barangkali pemerintah ahrus memberikan perhatian khusus terhadap keberadaan musik ini. Jangan sampai, karena kurang perhatian, kemudian musik ini hilang di tengah masyarakat.

Tembang Jawa ada di PAUD

Lha kae pak guru…
Rawuh ngasta buku
Karo mesem ngguyu, tanda tresna karo aku.
Pak guru sing gagah
Mulang bocah-bocah
Sing sregep sekolah tahun ngarep mesti munggah

Bait tulisan di atas bukanlah lagu macapat, bukan pangkur, bukan pula dandang gula. Tembang di atas adalah sebuah lagu anak daerah. Pada tahun 80-an, lagu ini masih kerap didendangkan di sekolah-sekolah dasar, di daerah Banyumas, terutama sekolah dasar yang ada dipedesaan. Lagu-lagu ini diajarkan saat anak-anak masih berada di lefel satu sampai tiga.

Syairnya sangat sederhana, namun bila dicermati, lagu ini mengandung nasihat yang luar biasa. Bertutur menenai nasehat orang tua kepada anaknya bahwa siapa yang rajin belajar pasti dapat naik kelas.

Sebagai individu yang pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar selama enam tahun, saya mendapatkan materi lagu ini di kelas tiga. Di usianya yang sudah renta, guru saya mengajarkan dengan baik. Berkali-kali guru saya menyanyikannya, sampai akhirnya saya dan teman-teman dapat menghafal.

Setiap hari Sabtu, lagu ini dinyanyikan bersama-sama di kelas. Saat saya mengalami kesulitan menghafal, saya meminta kepada orang tua untuk mengajarkannya. Dengan bimbingan tambahan ini, dalam waktu dua hari, saya sudah mampu menghafalnya.

Dalam sebuah pembelajaran home schooling bahasa Inggris di rumah prestasi “Rumah Keong”, yang terletak di salah satu daerah di Banyumas, lagu ini digubah menjadi lagu berbahasa inggris dengan syairnya menunjukkan anggota tubuh. Tujuannya adalah agar anak-anak peserta home schooling lebih mudah menghafal anggota badan, tanpa harus dipusingkan dengan hafalan teks biasa.

Hasilnya memang luar biasa. Dengan cepat anak-anak mampu menghafal bagian tubuh yang jarang diucapkan. Seperti, siku, kening, pusar, tenggorokan, tengkuk, kuku, jari tengah, telunjuk, ibu jari, jari manis, jari kelingking, pantat, paha dan lain-lain.
Terlepas dari masalah materi menggubah lagu. Saat anak-anak ditanya, "pernah mendengar lagu ini ?" (sambil saya menyebutkan judul lagu serta lirik lagunya), serentak anak-anak menjawab, “tidak”. Tidak ada satu pun yang menjawab pernah.
Sungguh memprihatinkan! Jika anak-anak sekarang tidak mengetahui lagu-lagu tradisional masa lalu, bisa dipastikan, lambat laun lagu-lagu tradisional akan menghilang dari masyarakat. Tak ubahnya seperti dolanan anak yang semakin ditinggalkan oleh masyarakat.

Memang tidak bisa disalahkan, arus globalisasi menuntut semua orang harus berubah secara cepat, bergerak cepat, dan berpikir cepat, praktis, dan solutif. Jika tidak, maka akan tertinggal bahkan bisa jadi tidak diterima dalam kelompok masyarakat.
Barangkali hal inilah yang membentuk watak manusia sekarang semakin meninggalkan hal-hal yang dianggap kurang ngetrend, atau dengan kata lain, kuno. Sebab ada anggapan, yang kuno tidak memberi solusi, lamban, dan terkesan bertele-tele. Salah satunya adalah lagu-lagu tradisional daerah. Meskipun dalam lagu-lagu daerah terkandung nilai-nilai pendidikan.

Terkait dengan masalah PAUD yang akhir-akhir ini sedang marak dibicarakan, sepertinya tidak ada salahnya apabila kurikulum PAUD, di dalamnya disispkan materi lagu-lagu anak daerah. Meskipun dalam kurikulumnya, barang kali tidak ada materi lagu daerah, tidak ada salahnya apabila dari pihak pengajar sekali waktu menyisipkan lagu-lagu daerah.

Tujuannya, selain mengenalkan lebih dini nilai-nilai luhur tradisional, juga dapat menjadi antisipasi dini menghilangnya lagu tradisional (baca; tembang jawa) di masyarakat.

Permasalahnnya, mampukah PAUD melakukan yang demikian? Mengingat belum tentu semua pengajar di PAUD menguasai lagu-lagu tradisional. Bukan berarti mengabaikan kemampuan mereka, akan tetapi apakah mereka memiliki pengetahuan cukup terkait dengan materi budaya lokal seperti lagu-lagu daerah?

Ini menjadi PR bersama. Diharapkan tenaga pengajar PAUD di luar TPA/Q, memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya nilai-nilai budaya masa lalu, sehingga dengan senang hati mengajarkan dan mengenalkannya.

Senin, 06 Juli 2009

Mengajar Tak Sekadar Teori

Oleh: Rosyidah Purwo

Menjadi guru adalah cita-citaku sejak SMA. Maka ketika saya diterima sebagai tenaga pengajar di sebuah sekolah dasar di Purwokerto, saya senang luar biasa.

Dengan berbekal ijazah SI pendidikan Sosiologi Antropologi, saya mendaftarkan diri sebagai tenaga pengajar di sana.

Apabila dilihat, sebenarnya tidak nyambung sama sekali antara back ground pendidikan dengan pekerjaan. Mengingat Sosiologi dan Antropologi adalah ilmu yang dipakai di sekolah-sekolah menengah atas. Namun saya tetap saja percaya diri. Mengapa? Sebab ada embel-embel pendidikannya, jadi setidak-tidaknya pekerjaan saya tidak melenceng terlalu jauh.

Hari pertama mengajar, saya begitu percaya diri. Yah, memang harus ada rasa percaya diri, kalau tidak bagaimana dapat menghadapi anak-anak.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu!”
Saya begitu lantang menyampaikan salam. Tujuannya adalah agar semua anak dapat mendengar.

Namun apa yang terjadi? Anak-anak tidak menjawab salam saya. Bahkan terkesan ogah-ogahan menerima saya di dalam kelas. Saya mengulang salam sekali lagi. Anak-anak masih ogah-ogahan menjawabnya.

Seorang guru senior masuk ke dalam kelas.. Dengan sedikit kata-kata darinya, anak-anak langsung diam dan tenang. Gaya bahasanya, mimic mukanya, gerakannya, sungguh luar biasa. Seperti satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Luwes dan bersahaja.

Guru senior itu kemudian pergi meninggalkan kelas. Kemudian kelas saya pegang. Apa yang terjadi? Anak-anak kembali rebut.

Dari sini aku berpikir,”mengajar bukan hanya sekadar teori, namun butuh ketrampilan dan pelatihan.”

Jadi latar pendidikan apapun, untuk menghadapi sebuah kelas yang besar dibutuhkan sebiah ketrampilan. Pengkondisisan anak, penguasaan materi, dan ketrampilan.

Jangan bangga menjadi seorang guru, jika hanya teori yang dimiliki.

Kamis, 29 Januari 2009

Kritik itu Perlu

Oleh: Rosyidah Purwo

Suatu ketika, saya diminta untuk membuka blog milik kawan kerja. Setelah membukanya….aduuuuuh bagaimana ya? Menurut saya bolgnya itu masih kacau banget!

Meskipun begitu, aku saya penasaran juga. Mengobati rasa penasaran, saya menelusuri isinya. Buseeeet! Tulisanya, masih kacau. Bukan isinya yang kacau, tapi setingannya.

Setingan kacau, kaya’nya tidak jadi masalah, yang penting isinya, bo, “mak nyos!”. Nah, tulisan kawan kerja saya ini, bisa dibilang “mak nyos!”

Nah, karena isinya ini, membuat saya jadi ingin berlama-lama di depan computer. Apa coba? Wah, pokoknya sebuah tulisan yang sempat membuat hati dan kepalaku jadi “cekit-cekittttt! Cekit-cekiiiit!

Memang isinya sederhana. Sekadar mengomentari rekan-rekan kerja barunya yang menurutnya masih kurang professional. Termasuk saya, barangkali. He, he, he.

Sedikit saya kutipkan isi tulisannya:
“…..Bagiamana sikap guru baru tersebut, apa yang akan ia kerjakan. Guru itu mengambil penggaris dan memukulkannya keras keras ke papan tulis sehingga suaranya melebihi suara murid yang sedang dihadapinya. Apakah demikian yang dibenarkan dalam mendidik dan mengajar murid ? apakah memang ini salah satu dari masalah yang sering timbul menghantui guru baru? jelas saat itu ia (guru) sedang berhadapan dengan murid kelas 4 SD).

Cara cara kuno kadang juga masih jitu untuk mengatasinya semisal perilaku guru diatas, tapi jika pada pertengahan kegiatan belajar mengajar timbul kegaduhan lagi akankah cara itu masih bisa diterapkan. Karena keseringan dengan memukulkan penggaris keras keras pada papan tulis, akan makin tidak jera murid mentaati gurunya denga berhenti dari kegaduhan. Karena hal tersebut sudah terbias didengar oleh telinga mereka. Malah kadang sebaliknya akan makin bertambath ramai karena beberapa murid meniru memukulkan penggaris pada masing masing mejanya untuk ikut berperan mengatasi kegaduhan…..”

Wah, benar-benar ngena’ banget! Sejak membaca tulisan itu, saya jadi berpikir, “ada benarnya juga memang”. Nah sedikit demi sedikit saya mulai merubah gaya mengajar saya. Sebab sedikit banyak saya termasuk guru baru yang demikian.

So, kawan, kritik itu perlu.

Selasa, 27 Januari 2009

Cerita Dari Jakarta

Menggagas Bank Pangan sebagai Upaya Perlindungan Sosial bagi Kaum Miskin
Oleh: Siti Nuryati*

Berbicara tentang perlindungan sosial bagi kaum miskin, beragam program pernah digulirkan pemerintah. Salah satunya adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai tameng perlindungan terhadap dampak negatif kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Namun jika kita coba evaluasi, kebijakan BLT ternyata menyimpan lubang-lubang persoalan. BLT bisa dikatakan sebagai kebijakan yang ”sekadar numpang lewat”. Teorinya, subsidi langsung yang dikucurkan pemerintah adalah suntikan energi baru atau penyangga agar penduduk miskin tidak jatuh ke jurang ”di bawah garis kemiskinan”. Namun kenyataan di lapangan ternyata bergeser dari teori yang ada. Hal ini tampak pada masyarakat yang tak hanya miskin, namun jauh-jauh hari mereka juga telah terjerat utang yang kronis.

BLT yang diharapkan dapat menjaga daya tahan masyarakat miskin, tak sedikit dari mereka yang ketika menerima BLT, menjadikan BLT sebagai dana untuk mencicil hutang. Jika demikian, bukan daya tahan si keluarga miskin yang hendak dijaga, melainkan ”kesempatan” bagi para rentenir untuk memaksa si miskin membayar hutang pada dirinya dari dana BLT tersebut. Akhirnya si miskin pun tetap menderita dalam kemiskinannya.

Studi dampak BLT bagi kesejahteraan keluarga yang pernah dilakukan Puspitawati, H dkk (Tim Peneliti dari Fakultas Ekologi Manusia IPB) pasca kenaikan BBM di Bogor Jawa Barat mengungkap pembelanjaan BLT oleh rumah tangga miskin sebagai berikut: pengeluaran untuk pangan (50,1%); bayar hutang (9,8%); pakaian (7,6%); kesehatan (7,4%); pendidikan (6,6%); modal (4,2%); transport (2,6%); zakat (2,2%); menabung (2,1%); listrik (1,5%); perumahan (1,4%); memberi ke anak (0,9%); memberi ke saudara (0,7%); rokok (0,5%); dan lain-lain (2,4%). Uang BLT yang diterima rata-rata habis dalam tempo 11 hari. Proporsi tertinggi responden (38,1%) dalam menghabiskan uang BLT adalah antara 2-7 hari. Bahkan yang habis dalam satu hari mencapai 28%.

Penelitian Khomsan dkk di desa-desa di Bogor (2008) menunjukkan rata-rata pengeluaran rumah tangga mencapai Rp 456.000. Persentase pengeluaran pangan dan non pangan hampir sebanding atau fifty-fifty dengan beberapa rincian sebagai berikut: rokok (7%), pendidikan (8%), kesehatan (12%), bahan bakar/penerangan (7%), lauk pauk (10%), dan beras (7%).

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2003-2005 menunjukkan konsumsi rumah tangga miskin untuk tembakau 12,43%. Anggaran belanja tembakau ini 15 kali lipat dibandingkan belanja daging (0,85%), 5 kali lipat belanja susu dan telur (2,34%), 8 kali lipat belanja pendidikan (1,47%) dan 6 kali lipat belanja kesehatan (1,99%).

Dari berbagai studi di atas menunjukkan bahwa, alokasi belanja keluarga miskin untuk pangan hampir sama besar dengan alokasi belanja untuk rokok. Di beberapa rumah tangga miskin malah ditemui belanja rokok lebih besar dari belanja pangan. Hal ini menjadi salah satu koreksi terhadap program-program pengaman sosial yang diberikan dalam bentuk uang tunai semacam BLT ini. Akan menjadi sulit untuk mengontrol apakah bantuan uang tunai yang diberikan, oleh keluarga miskin betul-betul dialokasikan untuk kebutuhan-kebutuhan vital seperti pangan ataukah tidak.

Kebijakan pemberian BLT memang tak bisa dikatakan tak membawa manfaat apapun. Dalam situasi daya beli masyarakat terperosok begitu dalam, maka bagi keluarga-keluarga ”super miskin”, kehadiran BLT akan sangat membantu mereka dalam mempertahankan hidup. Dalam situasi seperti ini, keluarga ”super miskin” memang membutuhkan ”ikan”, tak sekedar kail. Namun agar kebijakan tersebut tetap memberikan manfaat yang optimal bagi keluarga miskin maka bentuk dan cara pemberiannya pun harus tepat.

Bank Pangan: Sebuah Alternatif
Di beberapa negara maju, salah satu program perlindungan sosial bagi kaum miskin yang cukup terkenal adalah apa yang disebut sebagai “Bank Pangan” (food bank). Bank pangan di negara-negara maju tersebut merupakan tempat di mana makanan ditawarkan kepada badan-badan nirlaba untuk dibagikan kepada orang tidak mampu secara cuma-cuma, biasanya dengan syarat kerja sukarela. Seperti di Belanda, keluarga miskin mendapat bantuan paket makanan dari apa yang dinamakan voedselbank.

Di Amerika Serikat (AS), krisis keuangan global telah menebar pemandangan di beberapa negara bagian dimana ada banyak organisasi nirlaba atau non-profit yang mengumpulkan donasi dan sudah mampu membangun Bank Pangan sendiri. Foodbank berasal dari kumpulan donasi yang didapat dari acara-acara amal, gereja, organisasi non-profit lainnya, maupun perusahaan ataupun perorangan. Pengurus foodbank mengelola hasil donasi tersebut dalam bentuk makanan, entah itu bahan pangan ataupun makanan kalengan dan disimpan dalam suatu gudang besar. Jika ada pihak yang membutuhkan pangan secara gratis karena masalah ekonomi ataupun masalah berat lainnya, pihak tersebut dapat menghubungi gereja atau badan-badan bantuan lainnya untuk mendapatkan pangan.

Dengan cara menunjukan dokumen tanda penduduk yang dalam bentuk Green Card dan nomor bantuan sosial (Social Security Number) ataupun surat keterangan pernah bekerja di perusahaan tertentu yang kemudian melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), seseorang bisa masuk dalam program penyelamatan sesama. Mereka akan mendapatkan bantuan suplai makanan setiap hari yang dibagikan setiap minggu sekali.

Mereka juga akan ikut dalam program-program kebersamaan seperti contoh konkritnya makan bersama pada hari Thanks Giving (salah satu perayaan nasional di negara AS dan Australia) tanpa perlu membayar sama sekali. Jadi meskipun seseorang menganggur, kebutuhan makanannya akan tetap tercukupi dengan layak. Hal yang sama juga ada di Hongkong, sebagai salah satu kota dengan biaya hidup tertinggi di Asia. Disana pun ada foodbank yang mekanismenya mirip dengan foodbank di AS.

Bank Pangan: Cocok Untuk Indonesia ?
Terhadap gagasan bank pangan ini di Indonesia , ternyata tak sedikit kalangan yang merasa pesimis. Hal itu mengingat jumlah orang miskin di Indonesia yang terbilang cukup besar, puluhan juta jiwa. Hal lainnya adalah hampir tak mungkinnya toko atau distributor yang berbaik hati memberikan produknya yang tidak terjual secara cuma-cuma ke sebuah yayasan setiap minggu. Kekhawatiran pun muncul, jika Bank Pangan ini berdiri di Indonesia, maka pemerintah akan menjadi malas untuk mencari jalan keluar.

Merespon kekhawatiran tersebut, kita bisa menawarkan sebuah keyakinan bahwa meski memang betul persoalan kemiskinan adalah masalah yang harus diselesaikan terutama oleh pemerintah, namun tak juga menutup peluang bagi munculnya peran dan partisipasi masyarakat sebagai sesama insan untuk menghidupkan budaya saling peduli, budaya saling menolong. Apalagi, untuk mendapat akses ke Bank Pangan, seseorang diminta untuk menjadi sukarelawan dalam membantu berbagai kegiatan, termasuk kegiatan sosial.

Adanya suasana kondusif untuk saling peduli serta adanya edukasi ke rumah tangga-rumah tangga untuk menyumbangkan kelebihan makanan yang dimilikinya pada hari tertentu adalah bagian dari upaya untuk membuat Bank Pangan ini mungkin hidup dan tumbuh di Indonesia.

Selain itu, pemerintah masih bisa menyusun regulasi yang menghimbau (bahkan jika mungkin mewajibkan/mandatory) kepada industri, supermarket, restoran dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya untuk menyumbangkan produknya yang tak terjual (namun masih layak konsumsi) demi menghidupkan Bank-Bank Pangan yang ada, sehingga golongan miskin di wilayah tersebut aka banyak tertolong. Pemerintah juga bisa mendorong tumbuhnya lembaga-lembaga nirlaba untuk mengurusi Bank Pangan, atau bisa juga lembaga/organ pemerintah sendiri yang akan diberikan tanggung jawab untuk mengelola Bank Pangan tersebut.

Mengapa Bank Pangan Menjadi Pilihan?
Diakui banyak jalan untuk mengentaskan masyarakat dari jurang kemiskinan. Ketika Bank Pangan dijadikan sebagai salah satu pilihan, disamping pilihan-pilihan lain, tentu harus mengantongi argumentasi kuat.

Belajar dari pengalaman kebijakan BLT, yang berdasarkan studi ternyata banyak dibelanjakan untuk keperluan-keperluan lain yang bukan dalam rangka mempertahankan daya hidup orang miskin seperti untuk rokok, membayar hutang, membeli perabot rumah, dan lain-lain, maka kehadiran Bank Pangan merupakan bentuk perlindungan sosial yang langsung dapat diakses demi kelangsungan hidup seseorang.

Tak ada yang menolak bahwa pangan adalah urusan yang sifatnya mendesak, terkait dengan hidup matinya seseorang. Pangan yang bergizi sangat dibutuhkan seseorang untuk tetap hidup dengan sehat dan aktif. Dua hal ini jelas akan berpengaruh pada produktivitas seseorang. Sehingga upaya perlindungan sosial melalui Bank Pangan akan secara langsung berdampak bagi si miskin dalam mempertahankan kehidupannya yang sehat, aktif dan produktif.

Bank Pangan Terintegrasi
Dalam konteks pemenuhan pangan bagi kelompok miskin, terutama ketika disandingkan dengan fakta maraknya kasus gizi buruk yang menimpa balita miskin di tanah air, maka keberadaan Bank Pangan sesungguhnya sangat tepat disandingkan dengan konsep Dapur Gizi seperti yang ditemukan di banyak negara maju.

Di dalam Dapur Gizi, ibu-ibu balita akan belajar bagaimana mulai menyusun menu, menyiapkan masakan, cara memasak yang benar, menyuapi, cuci tangan sebelum dan sesudah makan memakai sabun, gosok gigi, juga pesan-pesan kesehatan lainnya. Bahan makanan yang dimasak merupakan kontribusi atau “urunan” masing-masing ibu atau bisa juga merupakan hasil donasi, baik dari individu maupun donasi industri, supermarket ataupun restoran. Di Dapur Gizi, menu dirancang dengan bervariasi, kemudian secara bersama-sama, ibu-ibu ini mempraktikkan cara memasak yang benar dengan pendampingan kader.

Keluarga yang terlibat dalam dapur Gizi, nantinya harus mempraktikkan pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperolehnya di dapur mereka masing-masing di rumah untuk mencukupi kebutuhan gizi sehari-hari anggota keluarganya, terutama balitanya. Dapur Gizi ini juga untuk mengantisipasi munculnya masalah gizi buruk yang bukan disebabkan oleh kekurangan pangan, melainkan oleh pola makan, pola asuh, pola pelayanan kesehatan, serta pola kesehatan pribadi dan lingkungan.

Lebih dari itu, Dapur Gizi pun memberikan manfaat dalam memperbaiki interaksi sosial anak. Interaksi sosial yang terbangun karena anak dalam satu kawasan (Rukun Warga/RW) misalnya berkumpul dan berinteraksi dalam satu momen yakni Dapur Gizi, maka hal ini akan memberi dampak pada perkembangan mental si anak. Anak-anak bisa menjadi lebih aktif dan mampu berinteraksi dengan anak-anak lainnya. Di dalam Dapur Gizi juga dimungkinkan disusun berbagai program bersama seperti “kebun keluarga/home gardening”, pengembangan lahan pertanian, dan industri rumah tangga untuk membantu memenuhi kebutuhan pangan dan meningkatkan pendapatan keluarga.

Dapur Gizi juga bisa menjadi ajang untuk menebar kepedulian dengan sesama. Orang-orang yang memiliki kelebihan harta dapat memberikan sumbangan bahan-bahan makanan yang bergizi untuk diolah di Dapur Gizi dan manfaatnya bisa dirasakan seluruh peserta Dapur Gizi yang rata-rata berasal dari golongan ekonomi lemah. Kita yakin bahwa adanya kepedulian dapat membantu mengatasi masalah rawan pangan di masyarakat. *

* Mahasiswi Pascasarjana Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB.

Cerita Singkat Artikel Ini
Membaca artikel ini, saya teringat kenangan di Jakarta, pada Kamis, 08 Januari 2009. Adalah acara penyerahan hadiah menulis artikel oleh bapak MENKOKESRA, Aburizal Bakrie.
Meskipun meraih juara harapan dua, tidak menghalangiku untuk menikmati kegembiraan yang ada. Aku sungguh gembira. Bagaimana tidak?


Awalnya hanya iseng-iseng saja ikut-ikutan, eh ternyata aku masuk sebagai juara. Bukan itu saja, aku bertemu dengan pak Aburizal Bakrie. Bagi sebagian orang mungkin hal ini adalah biasa-biasa saja, namun bagi saya tidak. Masalahnya, pertemuan ini berada di moment yang penting bagi saya. Penyerahan hadiah.

Artikel ini saya minta langsung dari si empunya, Mbak Siti Nuryati. Tidak usah saya sebutkan identitasnya. Baca saja dalam *.

Merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya. Saya dapat berkenalan degan orang pinter. Sayang sekali saya tidak sempat berkenalan dengan pemenang utamanya. Siapa dia? Adalah pak Joko Syaiban.

Melihatnya, tidak akan pernah ada yang menyangka kalau dalam sosok dirinya ada jiwa brilliant seorang penulis.

Penampilannya sungguh biasa-biasa saja. Bahkan sangaaaaat biasa. Karena inilah aku menjadi terkagum-kagum padanya. Dia seorang penulis buku, Men!

Aku berharap, suatu saat dapat dipertemuka kembali dengan mereka berdua. Dan saya dapat berkenalan langsung dengan pak Joko Syaiban. O ya, dia dari Solo, Jawa Tengah.