Kamis, 16 Juli 2009

Kamus Bahasa “Gak-Guk”

“I am sorry. May I use your printer? Uridu an printout my file” (Maaf, bolehkah saya menggunakan printer kamu? Saya ingin…..)
“Yes. Tafadol.” (Ya, silakan).
“As al. Ustadz, are you know where is my mirsamah?” (Tanya. Ustad, apakah kamu tahu di mana penggaris saya?”
“La a’rif.” (Tidak tahu).

Siapa yang pernah mendengar percakapan semacam ini? Atau barangkali baru pernah membacanya?

Ini adalah percakapan yang terjadi antara saya dengan teman seprofesi. Orang yang belum tahu, mungkin akan memicingkan sebelah matanya terlebih dahulu atau mengerutkan dahi. Atau bertanya-tanya dalam hati, “orang ini ngomong apa?” Karena ini bahasa asing.

Bukan, ini sebenarnya bukan bahasa asing. Bahasa ini sudah sering kita jumpai. Bahsa Arab dan Inggris. Hanya saja penggunannya dicampur-campur. Kok bisa? Bisa saja. Kenyataannya di masyarakat ada.

Jangan bingung. Ini adalah perckapan bahasa inggris yang disisipi bahasa arab. Percakapan macam ini, terjadi antara guru-guru di salah satu sekolah dasar terbesar di Banyumas. Tepatnya di SD Al-Irsyad Al-Islamiyyah Purwokerto I.

Percakapan macam ini berlaku kepada semua staff pengajar mulai dari pukul 06.45 wib sampai jam sekolah selesai, 14.30 wib. Pemberlakuan ini terkait dengan peraturan dari sekolah yang mewajibkan bagi guru-gurunya untuk menggunakan dwilingual, bahasa inggris dan bahasa arab. Sebab bahasa Indonesia atau bahasa Jawa dianggap not allowed.

Pemberlakuan penggunaan dwilingual tersebut tentunya bukan karena sebab. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia.Sebab sekolah dapat bermutu tentunya karena sumber daya manusianya juga bermutu. Salah satunya penguasaan bahasa asing.

Terlebih, apabila sekolah tersebut sudah memiliki nama sebagai sekolah standar internasional. Tentunya harus selalu didukung dengan segala sesuatu yang serba bermutu. Selain SDM, juga kurikulum, proses pembelajaran, fasilitas sekolah, administrasi, dan lain-lainnya.

Dipandang sekilas, sungguh luar biasa sekolah ini! Namun, jika ditengok lebih jauh (baca; grammer) sungguh kacau. Sepanjang sepengetahuan saya, belum pernah saya menemui bahasa macam ini.

Satu lagi, berhubung sebagian besar guru masih sedikit yang mampu menggunakan secara aktif dua bahasa ini, maka kerap terjadi “gak-guk” antar pengguna.

Maka jangan heran jika sering dijumpai guru bercakap-cakap dengan megeluarkan kata “eeee…, apa yah” yang diulang berkali-kali sambil megang kepala atau menggerak-gerakkan tangan. Tanda ia sedang berpikir dan berusaha keras untuk mengungkapkan kata yang ia tidak mampu diucapkan dengan bahasa asing.

Beruntung masih ada toleransi penggunaan bahasa Jawa atau Indonesia untuk menerjemah kata yang tidak dipahami. Sehingga “gak-guk” tidak perlu terjadi terlalu lama.

Apapun bentuknya, ini adalah sebuah model baru yang unik. So, perlu dijaga agar tidak hilang. Mungkin sekolah perlu membuatkan kamus bahasa unik. Kalau saya boleh usul, saya akan mengusulkan, “Kamus Bahasa Gak-Guk”.

Tidak ada komentar: