Senin, 06 Juli 2009

Mengajar Tak Sekadar Teori

Oleh: Rosyidah Purwo

Menjadi guru adalah cita-citaku sejak SMA. Maka ketika saya diterima sebagai tenaga pengajar di sebuah sekolah dasar di Purwokerto, saya senang luar biasa.

Dengan berbekal ijazah SI pendidikan Sosiologi Antropologi, saya mendaftarkan diri sebagai tenaga pengajar di sana.

Apabila dilihat, sebenarnya tidak nyambung sama sekali antara back ground pendidikan dengan pekerjaan. Mengingat Sosiologi dan Antropologi adalah ilmu yang dipakai di sekolah-sekolah menengah atas. Namun saya tetap saja percaya diri. Mengapa? Sebab ada embel-embel pendidikannya, jadi setidak-tidaknya pekerjaan saya tidak melenceng terlalu jauh.

Hari pertama mengajar, saya begitu percaya diri. Yah, memang harus ada rasa percaya diri, kalau tidak bagaimana dapat menghadapi anak-anak.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu!”
Saya begitu lantang menyampaikan salam. Tujuannya adalah agar semua anak dapat mendengar.

Namun apa yang terjadi? Anak-anak tidak menjawab salam saya. Bahkan terkesan ogah-ogahan menerima saya di dalam kelas. Saya mengulang salam sekali lagi. Anak-anak masih ogah-ogahan menjawabnya.

Seorang guru senior masuk ke dalam kelas.. Dengan sedikit kata-kata darinya, anak-anak langsung diam dan tenang. Gaya bahasanya, mimic mukanya, gerakannya, sungguh luar biasa. Seperti satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Luwes dan bersahaja.

Guru senior itu kemudian pergi meninggalkan kelas. Kemudian kelas saya pegang. Apa yang terjadi? Anak-anak kembali rebut.

Dari sini aku berpikir,”mengajar bukan hanya sekadar teori, namun butuh ketrampilan dan pelatihan.”

Jadi latar pendidikan apapun, untuk menghadapi sebuah kelas yang besar dibutuhkan sebiah ketrampilan. Pengkondisisan anak, penguasaan materi, dan ketrampilan.

Jangan bangga menjadi seorang guru, jika hanya teori yang dimiliki.

Tidak ada komentar: