Selasa, 08 Juni 2010

Ibu Gendut dan Seekor Kambing Jantan

Oleh: Rosyidah Purwo*)
Memang yang namanya kreatif itu tidak ada batasannya. Apapun itu, jika dilihat mampu mendatangkan uang, pasti akan dibuat sebuah kreatifitas (model baru) yang orang lain belum pernah merasakannya. Model baru jadi, masyarakat mau mengkonsumsi(pakai/beli), uang-pun datang.

Yah, barangkali adanya jaman yang semakin edan ini memang mengharuskan orang untuk selalu berpikir kreatif dan mandiri. Sebab jika tidak, hanya akan menjadi tontotan dan bahan tertawaan. Bahkan bahan ejekan dan gunjingan.

Ada sebuah cerita menarik tentang “kreatif” ini. Suatu sore menjelang malam. Karena ada hal yang harus saya penuhi, saya bergegas menuju minimarket Alfa Mart. Dengan gaya berjalan seperti biasa, tergesa dan cepat, saya meyusuri komplek jalan Masjid, di Alun-alun.

Alfa Mart sudah di depan mata. Sebelum masuk ke dalam, saya tebarkan pandangan di sepanjang Alun-alun Purwokerto. What?! Begitu batinku. Antara heran, kaget, kagum, nek, dan…bingung campur aduk jadi satu. Aku melihat sebuah pemandangan yang unik.

Terlihat seekor kambing bertanduk indah, dituntun oleh seorang bapak-bapak setengah tua. Wajahnya terlihat lelah dan letih. Jenggot hitam pendeknya terlihat kotor dan semrawut. Ah, pemandangan yang tidak perlu dilihat!

Seekor kambing menarik sebuah kendaraan mirip dengan delman hanya bentuknya lebih kecil dan lebih pendek. Terlihat di dalamnya ada seorang ibu yang tengah asyik menikmati tubuhnya ditarik oleh seekor kambing jantan kecil dan renta. Sambil kepalanya manggut-manggut mengikuti irama musik yang berdendang. Idih, ini orang. Gak punya otak apa, ya? Batinku saat itu, sebab merasa kasihan melihat kambing renta menarik seorang ibu muda yang aduhai gendutnya.

Sebab rasa penasaran yang tinggi, saya memerhatikan dengan seksama perihal delman yang tidak mirip delman. Dari roda sampai kusirnya, bahkan sampai kambing dan jenggot kambingnya.

Aku sempat geleng-geleng kepala melihatnya. Di depan bagian bawah terdapat tulisan “DELDOMB”. Aku tidak tahu apa artinya. Aku hanya menerka-nerka saja, Delman Domba kali ya, begitu kataku lirih pada diri sendiri.

Ada-ada saja orang jaman sekarang…ingin mendapat uang segalanya dilakukan. Ya…kreatif si kreatif…tapi yang manusiawi dong. Masa kambing dijadikan kendaraan. Kasihan kambingnya. Kalau yang naik anak kecil ya, lumrah. La ini ibu-ibu gendut. Aduh, si ibu ini tidak punya perasaan kali, ya?!

Pojok Sekolah, Purwokerto City
09 Juni 2010, 11.22wib.

Senin, 07 Juni 2010

Romantisme yang Menyiksa

Oleh: Rosyidah Purwo*)
Di mana-mana tidak ada yang namanya romantisme menyiksa. Yang ada, romantisme adalah hal yang menyenangkan dan mengasyikan. Itu si kata di buku-buku novel yang pernah saya baca. Terus menurut beberapa teman juga demikian.

Temanku yang pernah mengalami romantisme dengan mantan pacarnya alias suami tercintanya, juga pernah bercerita kepada saya tentang hal itu. Romantisme itu hasilnya ya...menyenangkan. Begitu katanya. Tapi...ternyata ada lhoh romantisme yang menyakitakan. Tidak percaya? Simak cerita berikut ini.

Suatu siang di sudut kota Purwokerto. Kost-kostanku yang begitu sejuk dan damai kedatangan seorang tamu jauh. Ia adalah seorang laki-laki yang baru-baru ini melepas status kelajangannya. Alias baru saja melangsungkan pernikahan. Laki-laki ini ceritanya hendak ngapelin si istri yang kebetulan tinggal bareng satu atap dengan saya.

Sebuah kejadian unik terjadi. Dengan langkah bergegas aku pulang menuju kost. Dengan harapan segera dapat melepas penat yang telah mendera seharian. Terlebih panas matahari siang itu terasa sangat menyengat. Pintu rumah aku buka. Terlihat ibu kost sedang asyik ngobrol dengan laki-laki ini.

“Oh, Pak Slamet. Kapan datang?” kataku saat aku sudah mulai mengingat wajah laki-laki yang sedang duduk di kursi ruang makan milik ibu kost ku. Sambil melebarkan senyum, sekadar untuk beramah tamah dengan tamu. “Monggo...” begitu kataku saat aku hendak masuk ke dalam kamar.

Aku masuk kamar istirahatku yang super nyaman dan supeeeerrrr....sejuk. Segera aku buka jilbab besar dan panjang. Hmh...wuuus....udara sejuk langsung masuk ke pori-pori kulit. Udara sejuk aku nikmati betul-betul saiang itu. Sebentar aku rebahan di atas kasur mini empukku. Sambil memeluk bantal guling kesayangan.

Untuk menambah rileks, aku putar music instrumental Romeo and Juliet Love Theme. Music mengalun begitu indah dan syahdu. Angin semilir masuk melalui jendela kamar. Ah....benar-benar istirahat siang yang sangat menyenangkan.Tiga puluh menit aku menikmati istirahat siang. Nyamaaaaaan...! Mataku hampir terpejam saking nyamannya.

Krek! Terdengar pintu dibuka. Aku sangat paham ini adalah suara pintu kamar teman sebelah kamarku. Sayup-sayup terdengar sebuah suara laki-laki.

#*&^%$%$)(*&^&%^%*&^%$@#!!#$%&@^&@.!*&%^$$() &*&^%^$%%)@&@%hg@$^%)&^%#%#!!$%$^#$#(*&%*^$$% #@#!#@!@$%^%)(*&&^%^&#$%*^^%^%$$##@#&*^$%^#^$@$%#

#*&^%$%$)(*&^&%^%*&^%$@#!!#$%&@^&@.!*&%^$$() &*&^%^$%%)@&@%hg@$^%)&^%#%#!!$%$^#$#(*&%*^$$% #@#!#@!@$%^%)(*&&^%^&#$%*^^%^%$$##@#&*^$%^#^$@$%# Toeng! Toeng! Toeng!

Entahlah suara-suara apa yang terdengar. Pokoknya munculnya begitu dalam tulisan saya. Sepertinya kepalaku menjadi pusing mendnegarnya. Sabar...sabar...sabar...kamu harus memahami, Say, begitu batinku sambil menyapa diriku dengan sebutan Sayang.

Yah, namanya pengantin baru, di mana-mana selalu menebar romantisme dan kemesraan, serta kebahagiaan. Percaya tidak percaya, harus percaya! Terlebih pengantin baru yang satu ini adalah satu pasangan pengantin baru yang unik.

Si Istri adalah orang yang unik. Dalam pandangan saya, ia adalah gadis lugu nan lucu. Ini menurut pendapat saya. Tapi pendapat saya ini juga ada kuat-kuatnya sedikit lhoh. Sebab si empunya juga mengakui. Malah lebih parah lagi, ia menyebut dirinya aneh.

Kebetulan kamar ku dan kamar teman hanya bersekat triplek tipis yang dicat warna putih. Jika orang tidak jeli melihatnya, pasti akan mengira sekat itu adalah sebuah tembok tebal. Yah, si Tukang cat dan tukang membuat sekat sangat trampil mengelabuhi mata orang. Sehingga tripleks tipis mampu disulap menjadi tembok yang tebal.

Dengan kondisi seperti ini, sudah barang tentu setiap sedikit saja suara yang muncul dari kamar sebelah pasti akan terdengar dengan jelas, bahkan suara kecoa yang sedang asyik E-ok pun, dapat terdengar dengan jelas. Maka tentang teman saya itu, jangan ditanya dech!

Aduuuuuh, kalau begini se romantisme bukanya indah, tapi menyiksaaaaaaa!
Behind of Purwokerto Central Jail
Juni, 2010
20.27

Minggu, 06 Juni 2010

Pak Pos dan Piagam Penghargaan

Oleh: Rosyidah Purwo
Berawal dari melihat iklan di media on line yang saya buka melalui goole, saya mengikuti lomba penulisan buku pengayaan untuk SD, SMP, dan SMA yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Nasional RI, di Jakarta. Berhubung saya saat itu adalah sebagai guru SD, maka saya mengajukan lomba untuk kategori SD. Naskah itu adalah naskah puisi yang sempat saya tulis dalam kurun waktu 6 tahun.

Karena merasa karya itu adalah karya yang biasa saja, maka saya tidak pernah memiliki harapan untuk menjadi pemenang. Rupa-rupanya harapan itu dikabulkan. Saya tidak menjadi pemenang, terbukti saat satu tahun setelah pelaksanaan lomba, nama saya tidak tercantum dalam situs yang mengumumkan mengenai pemenang lomba. Tenaaang…tenaaang…rileeeks…rileeeks…no problem!

Februari 2010, saya menemukan satu bendel kertas di atas meja belajar adik saya. Isinya sangat mengejutkan! Adalah, sebuah piagam penghargaan atas kompetisi lomba menulis, dan tiga lembar kertas HVS warna putih berisi tulisan kecil-kecil.

Aku tersenyum saat melihat piagam tersebut. Bukan senyum sedih, tapi senyum bahagia, seeeeebahagia bahagianya. Mengapa? Karena ternyata masih ada kebaikan hati dalam lembaga pendidikan negeriku tercinta, Indonesia raya. Diknas masih sempat mengirimkan piagam penghargaan lhoh.

Lalu saya bertanya pada orang rumah mengenai perihal kertas tersebut. Ceritanya, beberapa minggu lalu, seorang tukang pos ke rumah orang tua saya mengantarkan surat dari Dinas Pendidikan Nasional RI.

Ada cerita menarik dan unik dari peristiwa ini. Menurut cerita dari bu Le’, yang kebetulan sedang bertandang ke rumah, beberapa tetangga merasa penasaran dengan apa yang dibawa oleh pak Pos. Sebab jarang sekali ada tukang Pos yang bertandang ke desa saya.

Karena rumah saya saat itu kebetulan sedang kosong, maka tukang Pos meletakan surat melaui jendela kayu yang berlobang. Dari kejadian ini beberapa tetangga bertanya-tanya mengenai perihal tukang Pos.

Untuk membuka amplop itu ternyata harus menunggu kepulangan saya. Sebab sesuai alamat yang tertera, surat tersebut diajukan kepada saya. Ternyata penantian orang-orang rumah harus pupus harapan. Saya yang ditunggu-tunggu masih disibukkan dengan rutinitas sekolah, maka dengan santai dan enkanya, saya tidak pernah menanyakan kabar di rumah. Bahkan dalam kurun waktu satu bulan tidak pulang ke rumah.

Setelah melalui masa penantian yang cukup lama, tiga hari, konon menurut ceritanya, bu Le’ku membuka amplop besar warna coklat bertuliskan “Dinas Pendidikan Nasional Republik Indonesia”. Rupa-rupanya tetangga saya ini tidak mau ketinggalan informasi perihal amplop coklat dan Tukang Pos, maka setelah bu Le’ku membukanya, tetangga-tetangga ini menanyakannya. Bergerombol dan berdesak tentunya, sambil mulutnya menerka dan menebak-nebak isinya.

Dag, dig, dug, der! Itulah yang dirasakan bu Le’ku saat itu. Saat membuka isinya ternyata, Duar! Kabar yang biasa-biasa saja, bagi saya.

Isi surat itu adalah:
1.Pemberitahuan mengenai kritik dan saran atas karya puisi saya
2.Mengenai berita/iklan dari DIKNAS tentang lomba Penulisan Buku Pengayaan tahun depan.
3.Mengenai ucapan terimakasih DINAS PENDIDIKAN atas keikutsertaan saya sebagai salah satu peserta.

Hal istimewa yang sempat membuat saya tersenyum lebar dari cerita ini adalah, Piagam Penghargaan dari Dinas Pendidikan. Meskipun di sana tidak terdapat tulisan “Pemenang/Juara” saya sudah cukup bangga. Mengapa? sebab piagam ini sempat membuat spot jantung tetangga-tetangga sebelah. He he he. Dasar anak usil!

Pungkuran Street
060610,1652

Tenggorokan yang Mriyayi

Oleh: Rosyidah Purwo
@#$%^!@#$%^&^*, itulah ekspresi saya saat pertama kali mendengar sebuah obrolan antar ibu-ibu muda di sela-sela waktu mereka. Begini ceritanya. Seorang ibu sedang berkomentar tentang makanan yang menjadi menu sarapan pagi mereka saat itu.

Karena terburu-buru berangkat menunaikan tugas mulianya sebagai ibu guru, ibu-ibu muda ini tidak sempat sarapan. Sebagai pengganti sarapan pagi, mereka membeli beberapa jajan anak ala kadarnya yang kebetulan pagi itu sudah tersedia di kantin sekolah.

Demi mengganjal perut yang belum terisi apa-apa, ibu-ibu ini membeli jajan Dadar Gulung. Itu lhoh jajan pasar yeng bahan dasar terigu dan telor (sebagai pembungkus) dan isi dalemnya adalah parutan kelapa yang dicampur gula jawa terus dimasak. Wah, mak nyos dech rasanya! Belum pernah mencoba? Harus nyoba. Bakal nyesel dunia akherat! Hi hi hi.

Terus, karena perut belum kenyang dengan sebutir, upst sebutir, sepotong dadar gulung maksudnya, yang berukuran dua ibu jari orang gendut dewasa, maka si ibu-ibu ini menambahkan isi perutnya dengan mengambil beberapa jajan anak.

Rupa-rupanya jajan anak yang disediakan oleh si Mbak-mbak kantin memang membikin tangan ibu-ibu muda ini “gatal” untuk mengambil. Jadi, si Ibu-ibu ini dengan serta merta mengambil saja jajan-janan yang tersedia. Tidak terlalu banyak tentunya.
Mereka tetap ingat statusnya yang sudah bukan anak-anak lagi kok.

Eit, ada jenis jajanan baru rupanya. Seperti umumnya orang kebanyakan, apalagi ini adalah Ibu-ibu yang memiliki rasa penasaran tinggi dengan jenis makanan, maka dicobalah jenis jananan baru ini. Dilah...“Pang-Pang”.

Tahu bukan? Itu lhoh, snack yang memiliki warna kuning, bentuknya kecil dan imut, tengahnya berlobang, dan pinggirnya berlekuk-lekuk hampir seperti bintang. Terus keras dan...aromanya gurih dan sedaaaaaap. Rasanya.....hmm....pedes, asin, gurih, dan...lezaaaaat...begitulah kira-kira.

Sebagai kawan setempat duduk, aku ikut-ikutan mencoba. Dahsyat! Luar biasa! Dalam hitungan detik, satu bungkus jajanan anak itu ludes habis. He he he, bukan masalah lahap, tapi isinya itu yang super sedikit.

Dengan harga lima ratus rupiah, dapat mengambil satu bungkus “Pang-Pang”. Dijamin dapat dihitung isinya. Tidak percaya? Hitung saja kalau ada kesempatan beli, pasti pinter dech. Dibuka bungkusnya, dituang...,di mana aja kek, yang penting bisa untuk ngitung, lalu hitunglah. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas, enam belas, tujuh belas, delapan belas…dua puluh satu! Hi hi hi, isinya 21 biji.

Nah, sekarang kembali lagi pada masalah si Ibu-ibu yang sedang sarapan jajan di kantin. Setelah mencoba jajanan ini, salah seorang Ibu berkomentar saat seorang temannya yang sesama ibu tadi berkata, “aduh, rasanya ditenggorokan itu...” sambil menunjukkan ekspresi seorang yang kurang cocok dengan rasa makanan di tenggorokan.

Lalu cletekukan ini ditimpali oleh temannya sesama ibu yang sama-sama mencicipi jajan yang sama, “hѐ hѐ hѐ,” tertawanya kalem aja ya...sebab memang begitulah ekspresi tertawa ala Ibu yang satu ini. “Tenggorokan priyayi,” sambil melebarkan senyum 2cm x 2cm-nya.

“Hah, tenggorokan priyayi?” timpalku yang setengah kaget dan heran mendengar istilah baru.

“Iya, tidak terbiasa dengan rasa seperti ini.” Ia berseloroh. Mau tahu maksud “rasa seperti ini” ya...itu tadi yang saya tulis diatas. Asin, pedes, gurih, renyah, dan...rasa penyedapnya banyak deh. Begitulah kira-kira. “Angger nyong tah apa-apa mlebu,” tambahnya dengan logat khas Banyumasnya.

Hm, hm, hm, ternyata mpriyayi tidak hanya pada cara ngomong, bagian dalam organ tubuh-pun ternyata dapat jatah julukan priyayi juga. Weleh, weleh, weleh.

Lha, kalau orang-orang bangsa seperti saya ini, apanya yang dapat jatah julukan “Priyayi” ya? Nunggu disunting bangsa priyayi barangkali ya...he he he.

Wisma Pereng
Beside of Central Jail Purwokerto City
Jumat, 040610, 21.06

Pak Polisi yang Berwajah Damai dan Mesra

Oleh: Rosyidah Purwo
Minggu pagi, 06 Juni 2010, 08.00 wib. Seperti biasa saya melakukan rutinitas. Jalan-jalan di Alun-alun Purwokerto, sampai mentok di komplek PKL Jl. Ragasemangsang, Purwokerto. Namun kali ini saya agak kesiangan.

Pukul 06.00 wib biasanya saya sudah siap dengan pakaian rapi untuk hunting makanan pagi plus supplement otak, harian Suara Merdeka Minggu. Namun karena baju-baju bersih saya sudah meminta untuk segera disetrika, maka pagi ini aku harus menyelesaikannya. Terpaksa jalan-jalan ditunda 2 jam lamanya.

Dengan langkah bergegas seperti hendak mencari barang yang hilang, aku menelusuri sepanjang Jalan Masjid, Alun-alun.

Pagi itu. Sepanjang jalan Masjid dan Jalan Pungkuran, terlihat penuh oleh parkiran mobil dan sepeda motor. Beberapa tukang parkir terlihat siap siaga berjaga di sana. Beberapa polisi dan Brimob juga terlihat siap siaga mengamankan di sana. Rupa-rupanya Alun-alun Purwokerto sedang ada event. Salah satu ORMAS, Muhammadiyyah kabupaten Banyumas sedang mengadakan tabligh akbar.

Dalam perjalanan, aku berpapasan dengan sepasang suami istri yang sedang asyik ngobrol. Terlihat begitu mesra dan romantis.

“Berapa harganya?” tanya si Bapak yang mengenakan seragam polisi, pagi itu.
“Mahal bangeeet…” kata si Ibu berkerudung ungu, tulus dan lembut sambil memegang sebuah bros cantik ala Rabbani.

Ia duduk di tepi jalan sambil memegangi kepalanya. Pusing barangkali, begitu pikirku sesaat waktu itu. Sementara si Bapak yang mengenakan seragam polisi duduk di atas sepeda motornya dengan posisi kaki terselempang ke samping. Ia menatap ke arah Ibu dengan tatapan sayang dan penuh cinta.

Aku tersenyum. Ahhh….ternyata ada kedamaian di wajah pak polisi, mesra lagi, batinku saat itu.

Pungkuran Street
060710,09.55wib.

Jumat, 04 Juni 2010

Orang Pinter Dari Jakarta; Sebuah Diary


Oleh: Rosyidah Purwo


Sebuah Profil

Namaku Narsiti. Saat ini aku aktif mengajar di salah satu sekolah dasar swasta terbesar di Banyumas. Kegiatan keseharianku selain mengajar juga memberi les anak-anak, dan suka iseng menulis.

Aku memiliki hobi membaca. Hobi ini dimiliki sejak mulai duduk di kelas satu Aliyah. Buku yang berjudul, “Siksa dan Nikmat Kubur” adalah buku yang membangkitkan semangat bacaku, dan sejak saat itu aku mulai kecanduan membaca.

Selain membaca aku juga menyukai dunia tulis menulis. Kegiatan ini dimulai sejak duduk di bangku kelas tiga Aliyah. Dalam dunia tulis menulis, aku lebih suka menggunakan nama pena Rosyidah Purwo. Aku mulai menggunakan nama pena sejak membaca majalah Annida. Di majalah ini, aku menemukan sebuah nama yang sering muncul, Helvy Tiana Rosa. Namanya sering muncul di rubrik fiksi.

“Hipnotis” Akira: Mualim wa Tashiwa
Awalnya aku menganggap tulisan-tulisan Helvy Tiana Rosa adalah tulisan biasa saja. Sebab, saat itu aku lebih melirik pada cerpen-cerpen di majalah sastra Horison, dan cerpen minggu di harian Suara Merdeka.

Aku mulai “melek” dengan tulisannya, sejak aku membaca novelnya berjudul “Akira: muslim wa tashiwa”. Saat itu aku sudah duduk di bangku kuliah semester satu. Aku meminjam buku ini dari teman kuliah.

Awalnya aku hanya iseng membacanya. Ternyata, setelah menyelam lebih dalam, aku seperti terhipnotis denga ceritanya.

Membaca novel tersebut, aku seperti dibawa dalam sebuah perjalan yang maha dahsyat. Aku mampu berimajinasi dan membayangkan bagaimana perjuangan seorang muslim Jepang yang masuk islam. Betapa sulitnya kehidupan seorang mualaf di sana.

Emosiku sempat diaduk-aduk oleh novel ini. Bahkan aku sempat meneteskan air mata saking terharunya. Sejak saat itu, aku mulai tertarik dengan tulisan-tulisannya. Bahkan mulai menjadi penggemar.

Jika ada uang saku lebih, aku akan mencari novel karya Helvy Tiana Rosa. Meskipun setiap bulan sudah pasti berlangganan majalah Annida.

Sayangnya, tragedi menyedihkan itu telah menghilangkan hampir separo buku koleksiku. Karena kurang hati-hati menjaganya, buku-buku tersebut hampir habis dimakan ngengat. Termasuk tanda tangan Helvi Tiana Rosa yang sempat aku minta saat berkunjung ke Purwokerto.

Kenangan Anak Ingusan
Saat duduk di bangku Aliyah aku sudah pernah melihat sosok Helvy Tiana Rosa, bahkan sempat meminta tanda-tangan, dan sempat pula ber-cipika-cipiki. Aku sangat bangga saat itu.

Sebagai anak yang masih ingusan, aku merasa sah-sah saja memiliki perasaan semacam itu. Aku berpikir, “ih, aku dapat tanda tangan, berjabat tangan, dan cipika-cipiki dengan orang pinter dari Jakarta. Keren!” Aku tidak berpikir siapa dirinya, dan apa yang menjadi penyebab Ia datang ke Purwokerto. Aku hanya berpikir, “ini orang penting dan pinter dari jauh”.

Saat itu aku belum mengenal banyak tentangnya meskipun aku sudah sering membaca tulisan-tulisannya. Aku tidak pernah menganggap karya-karyanya bagus.

Aturannya, seseorang yang bangga dan senang memiliki tanda-tangan orang lain, atau pernah berjabat tangan dengannya, jika seseorang itu mengetahui siapa dan bagaimana pemilik tanda-tangan tersebut. Namun tidak bagiku, sekadar mendengar cerita dari teman, tanpa mengetahui dengan jelas siapa, Helvy Tiana Rosa, aku sudah bangga setengah mati.

Kejadian memiliki tanda tangan dan cipika-cipiki ini aku ceritakan kepada teman-teman di sekolahku. Saking bangganya, hampir-hampir masalah ini selalu dibahas di sekolah. Sampai-sampai temanku protes, karena bosan mendengar ceritaku.

Rendah Hati dan Merakyat

Aku masih ingat sekali kenangan tanda tangan itu. Saat menghadiri acara kegiatan kampus Unsoed (Universitas Jendral Soedirman), mbak Helvy, begitu aku dan teman-teman menyapanya, mampir di masjid Nurul Ulum milik kampus ini.

Aku dan teman-teman duduk bersamanya. Kami duduk lesehan di serambi masjid. Mbak Helvy dikelilingi oleh kami. Posisi duduk kami membentuk setengah lingkaran. Ia berbicara sedikit tentang dunia menulis, dan tentang dunia acting. Ia memeragakan bagaimana cara mengambil suara perut dan dan suara hidung. Ia menjelaskan apa bedanya antara suara perut dan suara hidung.

Dengan pola pikir anak SMA yang masih polos dan lugu melihat “Orang Pinter Dari Jakarta” mau duduk lesehan bersama anak-anak SMA dan mahasiswa, aku terkagum-kagum, heran, dan sempat kaget.

Mbak Helvy, duduk di lantai Masjid. Tepatnya di sebelah utara, bagian tempat sholat putri. Aku berpikir, “kok orang sehebat dia mau si duduk dan bersenda gurau bersama kami yang notabene masih ingusan. Di lantai lagi.”

Saat itu yang aku pahami bahwa, setiap orang hebat dan terkenal, harus ditempatkan di tempat yang sangat privasi. Agak jauh dari khalayak, ekslusif, dan lux. Ternyata “Orang Pinter dari Jakarta” tidak seperti itu. Itulah mengapa sampai sekarang aku masih teringat kejadian itu. Helvi Tiana Rosa orang yang rendah hati dan merakyat. Begitulah aku mengenal sosok Helvy Tiana Rosa.

Catatan Kecil: Hemh....sabar dulu yach, gak masuk juara lagi dech. Mbak Helvy, kasih masukan dan saran yach...