Jumat, 04 Juni 2010

Orang Pinter Dari Jakarta; Sebuah Diary


Oleh: Rosyidah Purwo


Sebuah Profil

Namaku Narsiti. Saat ini aku aktif mengajar di salah satu sekolah dasar swasta terbesar di Banyumas. Kegiatan keseharianku selain mengajar juga memberi les anak-anak, dan suka iseng menulis.

Aku memiliki hobi membaca. Hobi ini dimiliki sejak mulai duduk di kelas satu Aliyah. Buku yang berjudul, “Siksa dan Nikmat Kubur” adalah buku yang membangkitkan semangat bacaku, dan sejak saat itu aku mulai kecanduan membaca.

Selain membaca aku juga menyukai dunia tulis menulis. Kegiatan ini dimulai sejak duduk di bangku kelas tiga Aliyah. Dalam dunia tulis menulis, aku lebih suka menggunakan nama pena Rosyidah Purwo. Aku mulai menggunakan nama pena sejak membaca majalah Annida. Di majalah ini, aku menemukan sebuah nama yang sering muncul, Helvy Tiana Rosa. Namanya sering muncul di rubrik fiksi.

“Hipnotis” Akira: Mualim wa Tashiwa
Awalnya aku menganggap tulisan-tulisan Helvy Tiana Rosa adalah tulisan biasa saja. Sebab, saat itu aku lebih melirik pada cerpen-cerpen di majalah sastra Horison, dan cerpen minggu di harian Suara Merdeka.

Aku mulai “melek” dengan tulisannya, sejak aku membaca novelnya berjudul “Akira: muslim wa tashiwa”. Saat itu aku sudah duduk di bangku kuliah semester satu. Aku meminjam buku ini dari teman kuliah.

Awalnya aku hanya iseng membacanya. Ternyata, setelah menyelam lebih dalam, aku seperti terhipnotis denga ceritanya.

Membaca novel tersebut, aku seperti dibawa dalam sebuah perjalan yang maha dahsyat. Aku mampu berimajinasi dan membayangkan bagaimana perjuangan seorang muslim Jepang yang masuk islam. Betapa sulitnya kehidupan seorang mualaf di sana.

Emosiku sempat diaduk-aduk oleh novel ini. Bahkan aku sempat meneteskan air mata saking terharunya. Sejak saat itu, aku mulai tertarik dengan tulisan-tulisannya. Bahkan mulai menjadi penggemar.

Jika ada uang saku lebih, aku akan mencari novel karya Helvy Tiana Rosa. Meskipun setiap bulan sudah pasti berlangganan majalah Annida.

Sayangnya, tragedi menyedihkan itu telah menghilangkan hampir separo buku koleksiku. Karena kurang hati-hati menjaganya, buku-buku tersebut hampir habis dimakan ngengat. Termasuk tanda tangan Helvi Tiana Rosa yang sempat aku minta saat berkunjung ke Purwokerto.

Kenangan Anak Ingusan
Saat duduk di bangku Aliyah aku sudah pernah melihat sosok Helvy Tiana Rosa, bahkan sempat meminta tanda-tangan, dan sempat pula ber-cipika-cipiki. Aku sangat bangga saat itu.

Sebagai anak yang masih ingusan, aku merasa sah-sah saja memiliki perasaan semacam itu. Aku berpikir, “ih, aku dapat tanda tangan, berjabat tangan, dan cipika-cipiki dengan orang pinter dari Jakarta. Keren!” Aku tidak berpikir siapa dirinya, dan apa yang menjadi penyebab Ia datang ke Purwokerto. Aku hanya berpikir, “ini orang penting dan pinter dari jauh”.

Saat itu aku belum mengenal banyak tentangnya meskipun aku sudah sering membaca tulisan-tulisannya. Aku tidak pernah menganggap karya-karyanya bagus.

Aturannya, seseorang yang bangga dan senang memiliki tanda-tangan orang lain, atau pernah berjabat tangan dengannya, jika seseorang itu mengetahui siapa dan bagaimana pemilik tanda-tangan tersebut. Namun tidak bagiku, sekadar mendengar cerita dari teman, tanpa mengetahui dengan jelas siapa, Helvy Tiana Rosa, aku sudah bangga setengah mati.

Kejadian memiliki tanda tangan dan cipika-cipiki ini aku ceritakan kepada teman-teman di sekolahku. Saking bangganya, hampir-hampir masalah ini selalu dibahas di sekolah. Sampai-sampai temanku protes, karena bosan mendengar ceritaku.

Rendah Hati dan Merakyat

Aku masih ingat sekali kenangan tanda tangan itu. Saat menghadiri acara kegiatan kampus Unsoed (Universitas Jendral Soedirman), mbak Helvy, begitu aku dan teman-teman menyapanya, mampir di masjid Nurul Ulum milik kampus ini.

Aku dan teman-teman duduk bersamanya. Kami duduk lesehan di serambi masjid. Mbak Helvy dikelilingi oleh kami. Posisi duduk kami membentuk setengah lingkaran. Ia berbicara sedikit tentang dunia menulis, dan tentang dunia acting. Ia memeragakan bagaimana cara mengambil suara perut dan dan suara hidung. Ia menjelaskan apa bedanya antara suara perut dan suara hidung.

Dengan pola pikir anak SMA yang masih polos dan lugu melihat “Orang Pinter Dari Jakarta” mau duduk lesehan bersama anak-anak SMA dan mahasiswa, aku terkagum-kagum, heran, dan sempat kaget.

Mbak Helvy, duduk di lantai Masjid. Tepatnya di sebelah utara, bagian tempat sholat putri. Aku berpikir, “kok orang sehebat dia mau si duduk dan bersenda gurau bersama kami yang notabene masih ingusan. Di lantai lagi.”

Saat itu yang aku pahami bahwa, setiap orang hebat dan terkenal, harus ditempatkan di tempat yang sangat privasi. Agak jauh dari khalayak, ekslusif, dan lux. Ternyata “Orang Pinter dari Jakarta” tidak seperti itu. Itulah mengapa sampai sekarang aku masih teringat kejadian itu. Helvi Tiana Rosa orang yang rendah hati dan merakyat. Begitulah aku mengenal sosok Helvy Tiana Rosa.

Catatan Kecil: Hemh....sabar dulu yach, gak masuk juara lagi dech. Mbak Helvy, kasih masukan dan saran yach...

Tidak ada komentar: