Jumat, 29 Oktober 2010

Ide itu Datang dari Sampul Buku

kisaOleh: Rosyidah Purwo

“Hi, pinjem bukunya dong!” begitu kata saya pada teman sebelah kamar. Buku itu adalah sebuah novel popular yang saya lupa judulnya. Di bagian sampulnya, tepatnya di sudut kanan atas ada sebuah tulisan tangan yang ditulis menggunakan bolpoint dengan tinta warna hitam, ‘Belajarlah pada embun yang tak mengutuk matahari meski telah menjadikannya tiada,” begitulah bunyi tulisan itu.

Kalimat itu membuat saya merenung semalaman. Saya berpikir tentang matahari, embun, rumput, angin, kabut, dan pagi hari. Bahkan saya sampai menggigil membayangkan dinginnya pagi hari dengan embun, kabut, dan angin, meskipun udara di kamar saya malam itu panas. Entah sadar atau tidak, saya berjalan menuju rental komputer milik pesantren di mana saya belajar ilmu agama dan bahasa arab.

Jam menunjukkan pukul 21.00wib. Saya nyalakan computer. Di sana ada beberapa teman-teman perempuan yang tengah berpusing ria membuat skripsi. “Tugas apa, Mbak?” tanya salah seorang teman. Karena saya bingung hendak menjawab apa, saya hanya nyengir. Sebab, jika saya menjawab tugas kampus, apa yang akan saya tulis tidak ada kaitannya sama sekali dengan tugas kuliah. Jika saya jawab dengan jawaban, ‘bukan tugas apa-apa,’ teman akan menganggap aneh. Terpaksa, senyum, saya ambil sebagai jawaban paling efektif, efesien.

Saya duduk di depan komputer. Lama saya tidak menulis apa-apa. “Ojo ngalamun, Mbak,” kata teman saya usil. “He he he, lagi mikir koh,” jawab saya bergurau. Tiba-tiba sebuah kalimat berjalan-jalan di benak saya. Saya tuliskan kalimat itu,

Pagi hari yang cerah, di kampung Silombe-lombe…(baca lengkap tulisannya di blog saya, www.rosyidahpurwo.blogspot.com dengan judul Belajar Pada Embun). Tulisan itu iseng-iseng saya kirim ke sebuah harian Yunior Suara Merdeka.

Suatu hari, sebuah kabar mengejutkan datang dari teman saya yang kebetulan aktif di BP2M, sebuah PKM yang mendedikasikan diri dalam bidang tulis-menulis di kampus. “Mbak, tulisannya dimuat!” Uang sebanyak Rp 97.500,00 saya terima dari redaksi.

Ah, tak kusangaka. Dari tulisan tangan biasa, berubah menjadi tulisan yang luar biasa! Ide itu datang dari sampul buku.

Purwokerto, 24 Oktober 2010
Sudut Jalan Pungkuran

Jumat, 15 Oktober 2010

Toilet yang Selalu Ada “Pup”-nya dan Belajar Ketulusan dari Abah

Oleh: Rosyidah Purwo

Delapan tahun silam. Adalah masa di mana saya baru saja selesai menuntut ilmu dari Madrasah Tsanawiyah Negeri sekaligus saya juga baru saja selesai menututu ilmu di sebuah pesantren di Purwokerto. Mengenangnya, saya teringat akan masa lalu yang menyedihkan, menyenangkan, dan mengharukan!

Malam hari harus bergelut dengan pelajaran di sekolah sekaligus pelajaran di pesantren. Puluhan anak mendapat bimbingan spiritual, akhlak, kemandirian, kepribadian dari seorang public centre di sana. Sosoknya begitu indah dipandang dan begitu nyaman dirasakan. Rendah hati, lucu, tegas, cerdas, ulet dan luar biasa sabar. Satu lagi, meskipun memegang posisi sebagai pengajar di perguruan tinggi, namun tetap merakyat.

Setiap subuh hari, dan setiap selesai melaksanakan sholat maghrib, ia menyediakan waktunya untuk berbagi ilmu dengan bapak-bapak tua, ibu-ibu tua, bahkan mbah-mbah, dan anak-anak di sebuah musholla kecil. Dengan telaten dan sabar, ia mangajarkan satu persatu huruf-huruf Al Quran. Sampai menjelang waktunya tiba, mereka mampu mengkhatamkan 30 juz Al Quran. Bahkan satu juz dalam al Quran, mampu dihafal.

Namanya mbah Hasan (allohummarhamhu), mbah Prayit (Allohummarhamhu), mbah Warni (penjual jajan di pasar wage, dan daerah sekitar SPN) adalah salah tiga di antara puluhan orang yang belajar kepadanya. Usia mereka saat saya masih belajar membaca Al Quran bersama adalah kepala lima. Sampai saya lulus, mereka sudah mempu membaca Al Quran dengan baik. Mbah Warni mampu mengenali bacaan sholat dengan baik.

Bisa dibayangkan, betapa sulitnya mengajar orang banyak yang sudah memiliki usia kepala lima. Jika bukan karena ketulusan dan keuletan serta kesabaran, orang-orang ini sampai hari ini tidak akan mampu mengenal huruf-huruf yang bagi kebanyakan orang adalah huruf asing dan aneh.

Saat itu, saya teringat masa di mana saya sedang tidak memiliki uang sama sekali. Tiba-tiba saya sakit. Muntah-muntah, dan badan rasanya tidak enak. Dengan bantuan seorang teman, saya dibawa ke poliklinik Unsoed menggunakan becak. Dalam keadaan sakit itu, kepala saya dipenuhi pikiran tentang “ongkos becak dan biaya obat”, sebab tidak mungkin saya dibantu oleh teman saya ini, sebab saya tahu, ia juga sama-sama seperti saya, tidak memiliki uang.

Di sana saya diperiksa, dan diberi resep obat. Saat hendak menyerahkan uang yang saya miliki, Rp. 10000,00, ibu penjaga kasir mengatakan, “sudah dibayar oleh bu Ulfah,” subhanalloh. Saya tahu Bu Ulfah adalah istri dari bapak ini. Ia sama-sama orang tulus, baik hati, lembut, penuh kasih sayang, jujur, dan tegas!

Pagi hari ini, saya berbincang-bincang dengan bu kost. Pagi hari yang dingin dan cerah. Saya mengambil sebuah setrika tua milik bua kost. Saya setrika baju seragam yang kemarin saya cuci.
“Ibu, kok masih seperti kemarin ya, toiletnya?” tanya saya membuka percakapan pagi itu.
“Masih ada pup-nya?” tanya bu kost.
“Iya,”

Toilet penuh PUP. Itulah kejadian yang sudah hampir terjadi selama kurang lebih satu setengah tahun, namun baru saya ungkapkan satu minggu yang lalu.

Setiap pulang dari mengajar, sering sekali saya menjumpai toilet di kost saya masih ada PUP menunggu di sana. Baunya tidak karuan! Bisa dirasakan sendiri deh kalau penasaran! Dan ini sudah terjadi selama kurang lebih satu setengah tahun.

Lalu saya tanyakan kepada ibu kost. Apakah ada orang lain yang memakai toilet di belakang selain saya? itulah bunyi pertanyaannya. Ternyata jawaban ibu kost adalah “ya”. Usut punya usut yang memakai toilet adalah pembantu bu kost dan suaminya yang setiap pagi dan sore hari datang untuk merawat suaminya ibu kost yang sedang menderita stroke sejak tiga tahun lalu.

Mbak Yani namanya, dan Pak Jumadi, nama suaminya. Mereka adalah sepasang suami istri yang memiliki profesi sebagai buruh rumah tangga, dan sebagai pekerjaan sampingan suaminya dalah sebagai tukang parkir. Dari hasil ini, mereka belum mampu mencukupi kebutuhan hidup rumah tangga mereka. Apalagi diperkotaan yang menuntut stiap orang harus mandiri dan bekerja.

“Wah, kalau besok lagi diperingatkan nggak nurut, ya….tidak boleh memakai toilet dong, Bu.” Kata saya bercanda. “Terus bagaimana, dong?” timpal bu kost saya, serius. “Nggak tahu, Bu,” jawab saya. Meskipun pertanyaan saya adalah guyonan namun dalam hati, serius banget. Mudah-mudahan…mudah-mudahan…tragedi “PUP di Toilet segera berakhir…”. Begitulah keseriusannya.

Satu setengah tahun batin saya selalu menderita. Menyiram dan membersihkan toilet yang ada “PUP-nya” namun bukan PUP sendiri, meskipun tidak setiap hari, namun lumayan sering. Bau dan jijik rasanya.

Dalam hati saya berkata, ah, rugi amat. Bayar kos mahal kok menjadi tukang buang PUP orang di toilet sendiri! Sakit hati rasanya. Belajar tulus dari Abah dong, Sayang! begitu hibur hati saya.

Purwokerto, 14 Oktober 2010

Toilet yang Selalu Ada “Pup”-nya dan Belajar Ketulusan dari Abah

Oleh: Rosyidah Purwo

Delapan tahun silam. Adalah masa di mana saya baru saja selesai menuntut ilmu dari Madrasah Tsanawiyah Negeri sekaligus saya juga baru saja selesai menututu ilmu di sebuah pesantren di Purwokerto. Mengenangnya, saya teringat akan masa lalu yang menyedihkan, menyenangkan, dan mengharukan!

Malam hari harus bergelut dengan pelajaran di sekolah sekaligus pelajaran di pesantren. Puluhan anak mendapat bimbingan spiritual, akhlak, kemandirian, kepribadian dari seorang public centre di sana. Sosoknya begitu indah dipandang dan begitu nyaman dirasakan. Rendah hati, lucu, tegas, cerdas, ulet dan luar biasa sabar. Satu lagi, meskipun memegang posisi sebagai pengajar di perguruan tinggi, namun tetap merakyat.

Setiap subuh hari, dan setiap selesai melaksanakan sholat maghrib, ia menyediakan waktunya untuk berbagi ilmu dengan bapak-bapak tua, ibu-ibu tua, bahkan mbah-mbah, dan anak-anak di sebuah musholla kecil. Dengan telaten dan sabar, ia mangajarkan satu persatu huruf-huruf Al Quran. Sampai menjelang waktunya tiba, mereka mampu mengkhatamkan 30 juz Al Quran. Bahkan satu juz dalam al Quran, mampu dihafal.

Namanya mbah Hasan (allohummarhamhu), mbah Prayit (Allohummarhamhu), mbah Warni (penjual jajan di pasar wage, dan daerah sekitar SPN) adalah salah tiga di antara puluhan orang yang belajar kepadanya. Usia mereka saat saya masih belajar membaca Al Quran bersama adalah kepala lima. Sampai saya lulus, mereka sudah mempu membaca Al Quran dengan baik. Mbah Warni mampu mengenali bacaan sholat dengan baik.

Bisa dibayangkan, betapa sulitnya mengajar orang banyak yang sudah memiliki usia kepala lima. Jika bukan karena ketulusan dan keuletan serta kesabaran, orang-orang ini sampai hari ini tidak akan mampu mengenal huruf-huruf yang bagi kebanyakan orang adalah huruf asing dan aneh.

Saat itu, saya teringat masa di mana saya sedang tidak memiliki uang sama sekali. Tiba-tiba saya sakit. Muntah-muntah, dan badan rasanya tidak enak. Dengan bantuan seorang teman, saya dibawa ke poliklinik Unsoed menggunakan becak. Dalam keadaan sakit itu, kepala saya dipenuhi pikiran tentang “ongkos becak dan biaya obat”, sebab tidak mungkin saya dibantu oleh teman saya ini, sebab saya tahu, ia juga sama-sama seperti saya, tidak memiliki uang.

Di sana saya diperiksa, dan diberi resep obat. Saat hendak menyerahkan uang yang saya miliki, Rp. 10000,00, ibu penjaga kasir mengatakan, “sudah dibayar oleh bu Ulfah,” subhanalloh. Saya tahu Bu Ulfah adalah istri dari bapak ini. Ia sama-sama orang tulus, baik hati, lembut, penuh kasih sayang, jujur, dan tegas!

Pagi hari ini, saya berbincang-bincang dengan bu kost. Pagi hari yang dingin dan cerah. Saya mengambil sebuah setrika tua milik bua kost. Saya setrika baju seragam yang kemarin saya cuci.
“Ibu, kok masih seperti kemarin ya, toiletnya?” tanya saya membuka percakapan pagi itu.
“Masih ada pup-nya?” tanya bu kost.
“Iya,”

Toilet penuh PUP. Itulah kejadian yang sudah hampir terjadi selama kurang lebih satu setengah tahun, namun baru saya ungkapkan satu minggu yang lalu.

Setiap pulang dari mengajar, sering sekali saya menjumpai toilet di kost saya masih ada PUP menunggu di sana. Baunya tidak karuan! Bisa dirasakan sendiri deh kalau penasaran! Dan ini sudah terjadi selama kurang lebih satu setengah tahun.

Lalu saya tanyakan kepada ibu kost. Apakah ada orang lain yang memakai toilet di belakang selain saya? itulah bunyi pertanyaannya. Ternyata jawaban ibu kost adalah “ya”. Usut punya usut yang memakai toilet adalah pembantu bu kost dan suaminya yang setiap pagi dan sore hari datang untuk merawat suaminya ibu kost yang sedang menderita stroke sejak tiga tahun lalu.

Mbak Yani namanya, dan Pak Jumadi, nama suaminya. Mereka adalah sepasang suami istri yang memiliki profesi sebagai buruh rumah tangga, dan sebagai pekerjaan sampingan suaminya dalah sebagai tukang parkir. Dari hasil ini, mereka belum mampu mencukupi kebutuhan hidup rumah tangga mereka. Apalagi diperkotaan yang menuntut stiap orang harus mandiri dan bekerja.

“Wah, kalau besok lagi diperingatkan nggak nurut, ya….tidak boleh memakai toilet dong, Bu.” Kata saya bercanda. “Terus bagaimana, dong?” timpal bu kost saya, serius. “Nggak tahu, Bu,” jawab saya. Meskipun pertanyaan saya adalah guyonan namun dalam hati, serius banget. Mudah-mudahan…mudah-mudahan…tragedi “PUP di Toilet segera berakhir…”. Begitulah keseriusannya.

Satu setengah tahun batin saya selalu menderita. Menyiram dan membersihkan toilet yang ada “PUP-nya” namun bukan PUP sendiri, meskipun tidak setiap hari, namun lumayan sering. Bau dan jijik rasanya.

Dalam hati saya berkata, ah, rugi amat. Bayar kos mahal kok menjadi tukang buang PUP orang di toilet sendiri! Sakit hati rasanya. Belajar tulus dari Abah dong, Sayang! begitu hibur hati saya.

Purwokerto, 14 Oktober 2010

Jumat, 08 Oktober 2010

Mulut Lalat itu “Bip-Bip-Bip”

Oleh: Rosyidah Purwo

Doa

Oleh: Rosyidah Purwo

Bahwa kemauan dan keinginan yang kuat dan uasaha yang sungguh-sungguh akan membawa pada keberhasilan sejati.

Iringan doa itu sebagai penguat atas usaha. Sebagai dinding yang kokoh atas kegagalan. Maka aku selipkan doa ini untuk diriku, "Tuhan, selipkan sedikit keberanian untuk mengarungi dan menapaki perjalanan hidup ini. Hanya Engkau yang mampu memberikannya. Tidak ada yang lain."

Dan kesabaran itu akan menjadi pelindungku. Maka aku selipkan doa ini, "Tuhan, berikan setetes kesabaran-Mu untukku. Karena hanya Engkau yang memilikinya! Tidak ada yang lain!"

Saya persembahkan doa ini untuk rumah mungil orang tua saya. Dan untuk saya tentunya.
Purwokerto, 200910
Oleh: Rosyidah Purwo

Bahwa kemauan dan keinginan yang kuat dan uasaha yang sungguh-sungguh akan membawa pada keberhasilan sejati.

Iringan doa itu sebagai penguat atas usaha. Sebagai dinding yang kokoh atas kegagalan. Maka aku selipkan doa ini untuk diriku, "Tuhan, selipkan sedikit keberanian untuk mengh

Minggu, 03 Oktober 2010

Kasur-pun Punya Hati

Oleh: Rosyidah Purwo

Hari Minggu yang biasanya saya gunakan untuk mencicipi segarnya udara kampung halaman, kali ini saya gunakan untuk tetap beradu di balik kamar kost yang indah nan sempit.

Sudah lama sekali badan rasanya pegel-pegel setiap habis bangun tidur. Selepas kerja, tidur-tiduran malas rasanya tidak nyaman. Gelalang-geleleng juga rasanya tidak enak. Setiap kali selesai melakukan aktifitas itu, rasanya tengkuk kaku dan tegang.

Suatu ketika, teman berkunjung ke kos-kosan saya. Ia hendak numpang sholat dzuhur. Selesai sholat, teman saya tidur-tiduran.

“Buset, bantalnya keras banget!” begitu katanya dengan ekspresi terkejut yang sempat membuat saya terkejut pula. Saya nyengir kuda setelahnya. “Maklumlah, orang sibuk,” begitu tanggapan saya atas kata-katanya.

Teman, ternyata tak hanya benda hidup saja yang memiliki hati. Benda mati pun juga memilikinya, seperti kasur di kamar kost saya. karena sudah hampir satu setengah tahun, tidak mendapat perhatian dari si empunya, ia ngemuk sejadi-jadinya. Pembalasan itu lebih kejam! Begitu mungkin ia akan berkata andaikan saja bisa.

Kasur yang biasanya empuk, kini berubah keras hampir seperti batu. Aduh rasanya jika dipakai buat tidur. Seperti tidur di atas batu! Bangun tidur dijamin, badan rasanya pegel-pegel nggak karuan!

Sedikit tips untuk teman-teman yang doyan banget kerja. Jika tidak ingin benda-benda kesayangan atau alat-alat yang dibutuhkan ngamuk, diperhatikan, yuk!

Purwokerto, 041010
04.45wib

Inspirasi Pagi Bukan IMELDA

Oleh: Rosyidah Purwo

Saya menulis pagi-pagi sekali. Hari itu, Minggu, 4 September 2010, pukul 03.45 wib. Saya selesai menunaikan sholat subuh. Betul kata teman-teman, bahwa untuk dapat memeroleh ide, lalu menorehkannya dalam tulisan maka, harus banyak membaca dan menulis. Seperti siang hari kemarin.

Bergegas saya membuka laptop dan mulai mengutak-atiknya. Satu persatu huruf saya susun rapih membentuk sebuah kata, lalu kalimat, lalu paragraph. Ini saya peroleh sebab siang harinya saya membuka-buka tulisan di dalam sebuah blog milik para bloger yang rajin menulis. Salah satunya adalah milik Om Jay.

Perasaan kagum dan jatuh cinta muncul secara tiba-tiba pada sosok bertubuh gendut, berpicis putih dan sedikit berewok, serta selalu mengenakan kacamata.

Awal mula saya mengenalnya melalui sebuah kegiatan yang sempat membuat saya kecewa sekaligus bangga, sekaligus jadi pinter. Sebuah lomba tahunan yang diadakan oleh kemendiknas, yaitu lomba cipta buku pengayaan.

Saat itu tahun 2008. Untuk kali pertamanya saya iseng-iseng mengikuti lomba cipta buku pengayaan. Maka tulisan-tulisan yang sudah pernah saya tulis sejak duduk di bangku kuliah, saya buka-buka ulang, saya edit-edit lagi, lalu saya tambahkan beberapa halaman, dan saya print out.

Wow, spektakuler! Ternyata tulisan-tulisan itu sudah membentuk tumpukan-tumpukan kertas yang kemudian saya anggap sebagai sebuah buku. Lalu saya perbaiki susunannya, saya jilid, dan saya kirimkan ke PUSBUK.

Berawal dari membuka kata “PUSBUK’ ini, saya melihat sebuah blog yang waktu itu saya anggap sepele. Namun begitu di dalamnya saya lihat ada sebuah nama yang tidak asing bagi saya, Agus Sampurno, saya tertarik untuk membukanya lebih dalam dan lebih jauh. Wow, blog ini sangat bagus! Begitu komentar saya dalam hati.

Suatu hari, setelah saya memelajari blog nya lagi, saya tertarik untuk mengirimkan sebuah tulisan, lalu saya kirimkan sebuah tulisan, kurang lebih bunyinya begini, “Om, saya sudah pernah mengikuti lomba cipta buku pengayaan tapi belum menang. Bolehkah saya diberikan contoh bukunya?”

Tak ku sangkaaa… tak ku duuuuga (baca dengan gaya lagu dangdut Ona Sutra), tulisan saya mendapat respon. Saya dikirim sebuah buku ciptaannya yang sangat bagus. Sejak saat itu, saya selalu membuka blog miliknya jika sedang membutuhkan informasi, ide, refresing, dan macam-macam yang lain. Sejak saat itu pula saya mulai membuat kembali sebuah karya. Rencananya akan saya ikutkan kembali dalam lomba cipta buku pengayaan tahun 2011. Mudah-mudahan masih ada. Om Jay jadi inspirasi pagi saya, hari ini.

Purwokerto, 041010
(04.10wib)

Jumat, 01 Oktober 2010

Cerita yang Terlambat (Jakarta, Hotel Borobudur, Kamar Mandi, KEMENKOKESRA, Wartawan, dan Rebutan Es Krim)

Oleh: Rosyidah Purwo*)

Membeli Koran
Pengumuman lomba menulis artikel telah diumumkan. Dengan tergesa, saya membeli koran REPUBLIKA sore hari sepulang dari bekerja, di sebuah agen penjual koran di salah satu sudut Jl. Masjid.

Saya segera membuka halaman yang memuat tentang pengumuman pemenang lomba menulis artikel. Deg! Di sana terpampang sebuah nama, sebagai salah satu pemenangnya. Rosyidah Purwo, dari Purwokerto. begitulah tulisan itu.

Adrenalin bekerja dengan giat. Darah mengalir ke seluruh otak, wajah menjadi panas, dan keringat bahagia mengalir. Tangan gemetar. Itulah ekspresi saya saat membaca nama itu. malam hari, saya berbincang-bincang dengan ibu kost. Dan memeluk dengan giat tubuh tua bu kost saya. Senyum bahagia mengembang di bibir tuanya yang merah dan tipis.

Tanggal ditetapkan pembagian hadiah datanglah. Saya meminta ijin kepada atasan saya untuk bolos bekerja karena ada keperluan mengambil hadiah di ibu kota Indonesia, Jakarta.

Saya tidak mau ambil resiko, maka untuk mencegah nyasar di jalan, saya memesan agen travel jurusan Purwokerto-Jakarta. Karuna Travel, saya hubungi satu hari sebelum tanggal pemberangkatan.

Berangkat dari Purwokerto pukul 19.00wib. Sampai di Jakarta pukul 07.30wib. Setelah ber-SMS ria dengan paniatia pelaksana lomba menulis artikel —Ia menyebut dirinya dengan nama Moenir HC— saya masuk ke dalam sebuah hotel yang telah ditetapkan oleh panitia, hotel Borobudur, namanya.

Hotel Borobudur, O la la
Hotel itu terlihat sangat mewah, besar, dan tinggi. Di pintu masuk, saya disambut oleh dua orang petugas security. Saking gugup dan tegang melihat bangunan tinggi, indah, mewah, dan sebentar lagi akan saya masuki, buru-buru saya bertanya pada dua petugas security, “maaf, Pak, kalau bagian lomba menulis artikel di sebelah mana, ya?” Saya tidak berpikir apakah security itu paham atau tidak tentang tempat yang saya maksud.

Dasar lola, saya baru teringat kalau saya masih memiliki panitia yang siap sedia menjawab SMS kalau ditanya. Saya tersenyum sendiri setelah menyadarai betapa bodohnya bertanya pada security. Saya bertanya kepada panitia, sekali lagi kepada orang yang menyebut namanya dengan Moenir HC.

Ternyata saya sudah ditunggu di lobi utama hotel. Saya masuk setelah melalui pemeriksaan tas terlebih dahulu. Petugas itu seperti tim GEGANA dari keplosisan Republik Indonesia bagian penjinak bom. Tas diperiksa dengan menggunakan alat yang bersinar. Lalu dibuka-buka isi di dalamnya.

Melihatnya, saya sempat was-was. Rasa was-was itu bukan karena saya membawa bom, karena pikiran saya masih sehat wal afiat, tentu saja tidak membawa bom. Rasa was-was saya tak lain dan tak bukan dikarenakan takut ditertawakan oleh petugas pemeriksa barang. Sebab isi tas saya adalah celana dalam, BH, dan beberapa kosmetik sederhana —minyak wangi merek Vitalis, pelembab Sari Ayu, dan bedak Marcks’— serta satu stel baju ganti hasil pinjaman dari teman. Ada juga peralatan mandi —sabun cair biore, handuk kecil, sikat gigi formula warna merah hati, dan pasta gigi Ciptadent ukuran sedang—. Semuanya saya masukkan jadi satu di dalam tas punggung warna hitam. Tas punggung bertuliskan SHARP POINT di bawah tulisan ada gambar, seperti kertas persegi empat dilipat menjadi dua —membentuk gambar pesawat terbang dari kertas yang sedang terbang dilihat dari samping—berwarna biru laut dan biru langit, di bawah gambar tertulis Prime Quality dengan font italic.

Tahap pemeriksaan barang selesai. Saya langsung menuju ke ruang lobi utama. Tentu saja saya tidak tahu di mana ruang lobi utama, sebab ini adalah kali pertama saya masuk ke sana. Jadi, sudah barang tentu pengalaman belum ada.

Saya bertanya kepada seorang gadis penjaga pintu masuk. Gadis itu cantik sekali. Kulitnya putih bersih, senyumnya selalu mengembang, giginya kecil-kecil, bersih, dan rapi. Pakaiannya sangat serasi dengan bentuk tubuhnya yang ramping dan singset –mungkin minum jamu singset— saya sempat bepikir begitu. Tubuhnya harum dan gerakannya lembut, seperti bulu yang sedang terbang, begitu saya merasakannya.

Saya diantarkan ke sana, sampai saya duduk. Terlihat seorang bapak berkepala agak botak dan berambut tipis serta berbaju batik dan bercelana panjang hitam telah duduk di atas kursi sofa yang kelihatanannya mahal dan empuk.

Dengan gaya sok kenal sok dekat, saya langsung bertanya, “maaf, kalau yang bagian lomba menulis artikel di mana, ya?” pertanyaan saya langsung dijawab tepat sasaran! “Mbak Rosyidah Purwo?” begitu jawabannya yang sekaligus menjadi sebuah pertanyaan. Senyum bahagia mengembang. “Iya, Pak,” jawab saya.

“Oh, perkenalkan,” kata bapak itu ramah dan terlihat baik. “Munir,” sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Setelah ngobrol sedikit tentang perjalanan dan mengenai diri pribadi, saya langsung diantar menuju salah satu kamar di hotel itu. Bingung, takut, malu. Itulah saya saat melewati lorong-lorong dan ruangan-ruangan indah di hotel itu. saya tidak paham apapun tentang hotel itu.

Pak Moenir memencet nomor di dalam lift, di belakang mengekor beberapa orang. Ternyata mereka hendak menuju pada lantai yang sama dengan saya dan pak Moenir.

Dalam hitungan detik, saya sudah sampai di lantai 9 hotel Borobudur. Saya langsung dipersilakan masuk. Nyess…hawa dingin AC langsung menyeruak ke wajah dan kepalaku. Segeeeer….begitu kata hatiku saat itu. Di sana sudah menunggu dua anak perempuan dan satu orang ibu yang memerkenalkan dirinya sebagai istri pak Moenir dan anak-anaknya pak Moenir.

Bahagia hati saya. Saya disambut dengan keramah tamahan dan pelukkan hangat. Saya dipersilakkan untuk istirahat dan mandi, serta ganti baju. Namun rasa lelah memaksa saya harus mencicipi tempat tidur empuk terlebih dahulu. Tiga puluh menit saya tidur-tiduran sambil ngobrol dengan istri dan anak-anaknya pak Moenir.

“Beliau seorang wartawan, suka sekali dengan kegiatan sosial,” sedikit penjelasan tentang pak Moenir dari istrinya yang cantik, ramah, dan baik.

Saya dipersilakkan untuk mandi karena sebentar lagi pembagian hadiah akan dilaksanakan. Lalu saya mandi.

Kamar Mandi

Peralatan mandi saya keluarkan. Pintu kamar mandi saya buka. Ckrek! begitulah bunyinya. Gek! Begitulah nafas saya. Hampir saja tertahan ditenggorokan. Saya cepat-cepat bangun dari setengah sadar saya.

Bath tub besar berwarna putih tergeletak cantik di depan saya. Saya mencari-cari gayung, tidak ada di sana. Mencari gantungan baju, tidak ada juga. Saya bercermin sebentar untuk memastikan saya masih sadar. Di sebelah kanan bath tub, agak ke atas sedikit, hampir menempel di tembok, terpasang tombol-tombol yang banyak sekali.

Saya berdiri agak lama sambil mulut komat-kamit membaca doa. Tangan sedikit gemetar sambil memegangi peralatan mandi yang sebenarnya tidak perlu saya bawa. Di dalam kamar mandi sudah tersedia sabun-sabun, pasta gigi, handuk, dan lain-lainnya yang saya tidak paham.

Saya pelajari setiap detail apa yang ada di sana. Tombol-tombol saya pencet-pencet. Cuuur…keluar air hangat, saya kaget. Saya matikan tombol. Saya nyalakan tombol lain, cuuur…keluar air dingin, saya kaget. Lima belas menit berlalu, saya belum melakukan apa-apa. Masih ketakutan dengan pakaian lengkap plus jilbab yang rapat.

Sebab takut tertinggal dengan teman-teman, saya langsung saja menampung air sebanyak-banyaknya di dalam bath tub besar berwarna putih. Saya tutup bagian pembuangan airnya. Lalu saya masuk ke dalamnya.

Duduk diam berendam di dalam air. Teringat kenangan masa lalu saat berendam di kali bersama teman-teman. Membendung aliran air sungai agar menjadi dalam, lalu berendam sambil timbul tenggelam.

Di sini saya terbengong, sebab tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mau bermain “timbul tenggelam” sepertinya tidak mungkin. Ini bukan sungai.

Dengan inisiatif yang cerdas, saya keluar dari dalam air, saya ambil sabun mandi yang saya bawa dari kota tecinta, Purwokerto. Saya masuk lagi ke dalam tub, lalu menggosok tubuh saya dengan sabun. Sabun kecil-kecil nan cantik, saya biarkan berjejr rapih ditempatnya. “Ah, cantik-cantik tak berguna,” begitu kata saya memaki-maki sabun-sabun yang pamer sekali di depan saya.

Air penuh dengan sabun, tubuh menjadi licin dan tak kunjung bersih. Rasa bingung menyerang lagi. Sebuah inisiatif cerdas muncul kambali. Saya buka tutup bath tub bagian pembuangan air. Saya biarkan air mengalir sampai kosong, saya duduk diam di sana, lalu saya pencet tombol air dingin, saya guyur tubuh saya yang penuh dengan sabun seperti mbok-mbok yang sedang mandi di pancuran. Tentu saja saya tidak berdiri, sebab keran tidak tinggi.

Penghibur lara, saya bermain-main dengan shower. Membayangkan menjadi bintang iklan sabun mandi yang sedang melakukan adegan mandi seperti di TV, saya guyur-guyurkan air dari shower supaya membasahi tubuh saya. Lembuuut….rasanya. Terimakasih Shower, telah menjadi penghibur derita dari kamar mandi aneh!

Legaaaa! Akhirnya tragedi mandi mewah yang menyengsarakan menyengsarakan selesai sudah. Perut tiba-tiba merasa mules. Saya kenakan handuk putih besar barbau harum yang tergantung rapi di besi putih bersih dan kinclong. Sepertinya besi itu terbuat dari aluminium yang bagus sekali. Terlihat kuat. Saya tarik kuat-kuat handuk putih itu.

Saya perhatikan closet cantik, tinggi, dan bersih yang duduk diam di depan saya. Sekali lagi saya celingukan mencari gayung dan ember penampung air. Tentu saja tidak ada, sebab closet tidak didesain untuk memiliki gayung dan ember penampung air. Saya bingung lagi. Perut tambah mules.

Saya teringat pada kloset di kamar mandi di kost-kostan saya yang mirip sekali dengan kloset di kamar mandi ini. Namun kloset di kamar mandi di kost-kostan saya tetap ada gayung dan penampungan air.

Saya langsung duduk di atasnya. Tentu saja saya berpikir keras bagaimana cara membersihkan, maaf, dubur, dari kotoran. Sambil bingung, mata saya lincah melihat ke mana-mana. Seonggok tissue gulung menyapa di depan saya. Ah….akhirnya!

Dengan giat saya ambil tissue sebanyak-banyaknya. Saya bersihkan dengan sebersih-bersihnya. Kali pertamanya tissue saya pakai untuk membersihkan kotoran. Mual, itu kesan pertama! Akhirnya, bersih sudah anggota tubuhku yang tidak akan saya perbolehkan siapapun melihatnya kecuali orang-orang yang berhak atas diri saya.

Plong! Tragedi kloset selesai sudah. Segera saya berganti pakaian dan siap-siap mengikuti arahan dari dua anak gadis pak Moenir tang sebenarnya tidak ada dalam daftar pikiran saya sebelumnya.

Segera saya mengambil alat-alat keperluan untuk pengambilan hadiah. Sebuah kamera digital pinjaman dari tempat saya bekerja, pen, dan sebuah buku kecil. Uang tentu saja. Itu adalah alat-alat yang menurut saya sangat diperlukan.

Kamera saya bawa untuk mengambil gambar, barangkali saja ada moment-moment penting, pen dan buku kecil saya bawa untuk mencatat, barangkali saja ada hal yang perlu dicacat.

Saya segera keluar dari kamar dengan didampingi oleh dua anak dan istrinya pak Moenir. Kami keluar dengan dandanan rapi. Kecuali dua anak pak Moenir. Dengan baju tidurnya, mereka santai saja keluar dari kamar dan menuju ruang makan, serta mengambil sarapan lalu makan.

Saya melihat kaki mereka. Anak yang terbesa mengenakan sandal selop putih tipis. Di sana ada tulisan nama hotel tempat saya beistirahat—menginap seharusnya—. Tulisan itu warnanya hijau daun. Asem, ik! Sandal itu adalah hak saya! Hatiku mengumpat. Merasa kamar yang saya tempati, namun sekadar numpang lewat ini, sebenarnya adalah hak saya. Teringat petuah sakti pak Moenir, umpatan itu saya tarik kembali. “Maaf, berhubung kamar ini tidak ada yang menempati, dan jika dibiarkan kosong maka akan mubadzir, maka saya kirim anak dan istri saya untuk menempatinya”. Ya ya ya, saya mengerti semengerti mengertinya. Jurus pak Moenir sungguh jitu melunakkan hati saya.

Anak tertua pak Moenir mengambil sebuah kartu. Kartu itu dimasukkan ke dalam lobang yang ada di bagian pintu kamar. Pintu itu terkunci. Satu pengalaman baru lagi untuk saya. Saya penasaran, ingin hati meminta kartu itu, lalu mencoba memasukannya sendiri, lalu membukanya, lalu menguncinya lagi, namun perasaan takut —takut pintu rusak dan tidak bisa memperbaiki—mengurungkan niat saya untuk mencoba teknologi canggih itu. Maka rasa penasaran saya bawa sampai di meja makan.

Kami menuju ruang makan. Orang-orang menyebutnya kafe. Dai lantai kamar, saya melihat di bawah sana terbentang kolam renang warna dengan air berwarna biru laut. Lebar dan sejuk, sepertinya, sebab pohon-pohon cukup besar masih tumbuh di sekelilingnya. Kursi santai berjejer rapi. Warnanya putih. Seorang laki-laki bercelana dalam dan berkaca matam hitam duduk, lebih tepatnya duduk yang setengah tidur, di sana. Ia memegang sebuah buku dan HP.

“Kakak, saya mau renang,” salah seorang anak terkecil pak Moenir berkata begitu kepada gadis yang dipanggilnya kakak. “Yan ntar. Kamu bawa saja sekalian bajunya,” begitu jawabannya. Saya berdiri lama di jendela koridor lantai kamar saya. Saya menatap terpaku ke bawah sana. Semuanya telihat kecil-kecil sekali. “E…Mbak, mau renang?” Tanya anak pak Moenir yang tertua. Saya menjawabnya dengan singkat, padat, dan jelas, “TIDAK”.

Saya tidak bisa berenang, saya tidak berpikir sama sekali tentang renang, saya tidak punya uang untuk renang, saya tidak bawa baju renang
. Begitu pikiran saya atas pertanyaan anak gadis tertua pak Moenir. “Nggak apa-apa, Mbak. Gratis kok”. Seperti mengetahui rahasia di dalam hati saya yang paling dalam dan rahasia yang sangat memalukan sekali jika diungkapkan.

Hah, gratis? Batin saya bertanya sekaligus kaget. Saya memandang sekali lagi ke arah kolam renang itu berada. Biru…luas…indah…Rasa menyesal karena tidak dapat menggunakan kolam renang yang konon ceritanya gratis tumbuh di lubuk hati saya yang paling dalam. Saya lemes!

Nasi Goreng dan Air Putih
Dengan menggunakan setelan celana panjang lusuh warna hitam, sepatu merek Spotty warna coklat, dan baju pinjaman warna biru berkotak-kotak, saya melenggang ke ruang makan. Di sana saya diperkenalkan dengan seorang bapak tua dengan seorang istri dan anaknya. Bapak itu adalah yang nantinya saya kenal sebagai juara pertama dalam lomba ini. Seorang laki-laki tua asal Solo, Jawa Tengah.

Di sudut pojok ruang makan, tepat di depan saya, duduk bergerombol bule-bule yang gendut. Seorang bule perempuan mengenakan kaos tengtop warna hitam dan celana pendek di atas lutut warna coklat. Kacamata hitam bertengger di atas kepalanya. Sebatang okok terselip di sela-sela bibir tipisnya. Seorang bule laki-laki bertubuh besar dan bongsor duduk di sebelahnya, dan tiga yang lainnya duduk di depan mereka. Membentuk posisi duduk melingkar. Masing-masing menghadap secangkir—entah kopi atau teh atau minuman yang lain—cangkir itu berwarna putih dengan tatakan piring-piring kecil berwarna serupa.

Di sudut yang lainnya ada dua bule sedang duduk mesra. Raut wajahnya seperti baru bangun dari tidur. Di sudut yang lainnya, masih ada bule juga. Di sudut lainnya bergerombol laki-laki perempuan dengan pakaian perlente ala orang kantoran. Berdasi rapih, berjas rapi, dan yang perempuan menggunakan setelan kantor dengan sepatu high hill sewarna dengan bajunya.

Suara piring beradu dengan sendok ramai terdengar. Sendok sayur beradu dengan tempat sayur, suara wajan panas beradu dengan minyak. Ramai sekali suasananya! Suara orang banyak yang setengah berbisik terdengar seperti lebah madu.

Berbagai menu sarapan pagi tersaji di sana. Banyak sekali, seperti sebuah warung makan yang sangat besar namun bersih dan indah. Berbagai menu minuman pagi tersedi lengkap, jus, susu, kopi, koktail, teh, air putih dan lain-lain.

Saya mengambil satu piring nasi goreng dan segelas air putih. Wah, pasti mahal harganya, batinku. Begitulah alasan saya hanya mengambil nasi goreng dan air putih. Saya makan dengan malu-malu di depan seorang bapak bertubuh agak pendek, berperut gendut hampir menyerupai buncit, berkulit hitam, dan bermata agak kecoklatan. Rambutnya hampir setengah botak.

Di sebelah kiri saya dua anak gadis pak Moenir lahap sekali menyantap menu sarapan paginya. Satu piring nasi putih dan lauk-pauknya. Satu gelas susu. Lalu mengambil lagi satu porsi kue dan orange juice. Lalu mengambil lagi segelas kopi. Lalu mengambil lagi entah menu makanan apa, yang jelas aneh dan saya baru pertama kali melihatnya. Peralatannya pun aneh-ameh. Saya memerhatikan saja. Berapa harga makan sebegitu banyaknya? batinku.

“Makan yang banyak ya, Nak.” Katanya pada dua anak gadis pak Moenir. Suaranya nge-bass dan besar. Saya merasa stress dengan keadaan saya. Lokasi dan suasana, serta hal-hal yang benar-benar baru bagi saya, membuat otak dan perut saya bekerja lebih keras. Maka masuk angin dan diare menyambut hari bahagiaku di hotel mewah itu.

Waktu menunjukkan pukul 09… (lebihnya saya lupa). Saya diminta menuju ke halaman hotel. Saya mengenakkan baju batik warna coklat, dan rok warna coklat, serta kerudung warna coklat. Saya PD sekali tentunya, sebab baju batik itu adalah baju batik terindah yang saya miliki saat itu. Sepatu merek sppoty warna coklat menambah serasi dan anggunannya saya waktu itu. Begitu pikiran saya.

Mobil indah warna merah membawa kami ke gedung KEMENKOKESRA. Mobil itu harusnya berkapasitas 5 orang dengan ditambah satu orang sopir. Namun, kami berangakat ber Sembilan. Sangat sesak dan panas tentunya.

“Pak, ini yang saya ceritakan waktu itu,” kata pak Moenir kepada seorang bapak bertubuh gendut, berrambut sedikit memutih, berkulit cukup putih, dan berkacamata. Di lain waktu saya mengenal bapak ini dengan nama……..Pak Moenir menunjuk ke arah saya, sambil meminta saya menjabat tangan bapak itu.

“Oh, saya yang dimaksud?” begitu pikir saya. Saya menjabat tangannya. Saya, pak Moenir, dan beberapa teman lain berjalan beriringan menuju ke sebuah ruangan. Ruangan itu adalah salah satu begian dari gedung KEMENKOKESRA. Aula, sepertinya.

Kursi tertata rapi. Saya mengambil tempat duduk di deret paling depan. Di sebelah kanan saya duduk seorang laki-laki kecil. Salah satu wartawan dari media mana saya lupa. Di sebelah kiri saya duduk seorang ibu muda. Ia memerkenalkan diri sebagai staff pengajar di salah satu universitas negeri di Jakarta.

Di belakang saya duduk sepasang suami istri berpakaian batik seragam. Batik itu didominasi warna ungu. Meeka sangat serasi dan anggun. Yang laki-laki bertubuh subur dan berkulit putih, yang perempuan berbadan langsing, rambt lurus, dan berkulit putih. Yang laki-laki diperkenalkan sebagai wartawan surat kabar KOMPAS.

Di sebelah kiri saya, setelah dosen, adalah seorang mahasiswa S2 dari IPB. Ia yang kemudian saya kenal dengan nama Siti Nuryati. Seorang mahasiswa pasca sarjana yang menyandang juara dua. Bersama dengan suaminya, ia duduk manis dan anggun dengan jilbab besarnya. Dek, begitulah ia menyapa saya. Hangat dan lembut suaranya.

Di depan saya duduk beberapa orang, laki-laki dan perempuan, berpakaian perlente. “Gaya orang-orang berdasi,” begitu pikirku. Batiknya bagus-bagus. Make up-nya bagus. Tatanan rambutnya aneh-aneh. Sepatunya unik-unik.

Aburizal Bakrie. Ia ada di sana. Teman di sebelah saya, memanggilnya, Om Ical. Saya berpikir, wah, pasti orang ini sudah begitu akrab dengan pak Aburizal.

Kegiatan buka tutup acara selesai. Kami, sebagai penerima hadiah, diminta berfoto bersama pak Aburizal Bakrie. Lalu dilanjut dengan ritual makan bareng.

Sebagai penerima penghargaan, kami diminta menuju ke lantai atas. Jalan menuju ke sana agak rumit. Namun sebenarnya tidak, karena jalan itu hanya sebuah jalan-jalan kecil namun beliku. Berhubung pikiran saya sedang berbunga-bunga, terheran-heran, dan bahagia, maka jalan itu menjadi rumit.

Kami diberi pidato sedikit. Intinya adalah ucapan terimakasih. Dilanjutkan dengan serah terima uang. Lalu kami turun. Mengambil makan, dan…mencari tempat duduk.

Lama saya mencari-cari tempat duduk. “Di mana ruang makannya?” begitu tanya saya pada diri sendiri. Sambil memegang satu porsi makan siang, saya mondar-mandir mencari-cari tempat duduk. Tentu saja yang dicari tidak ada, sebab acara makannya adalah stunding party. Ini saya ketahui setelah saya menikmati makan siang saya di aula. Saya memilih di sana sebab di sana yang ada kursinya.

“He, es krimnya masih ada?” seorang anak SMU bertanya kepada temannya. Saya mendengarnya. Makanan kesukaannku! Buru-buru saya menuju tempat di mana saya mengambil makan siang. Mencari-carinya, tak kunjung ketemu.

Salah satu sudut tempat makan dikerumuni orang. Orang-orang berpakaian bagus dan indah sedang menunggu sesuatu. Sedikit ribut dan ramai. Saya ke sana. Mataku melotot dan dadaku berdebar! Satu persatu orang keluar dengan membawa es krim. Senang atau gembira. Itulah perasaan saya. Es krimnya di sini! Asyiiik ketemu!!! saya mengantri dengan taat. Sementara yang lain berdesakan. Desakkan itu akhirnya selesai. Sudut itu menjadi sepi. “Mas, minta es krim,” kataku. “Habis, Mbak,” jawabnya. Saya mengambil air putih. Satu-satunya air minum yang masih ada di sana. Dan gelas itu adalah gelas terakhir.

Saya menuju aula. Duduk-duduk sebentar sambil menunggu makanan di perut turun. Saya keluar. “Woi, lihat kamera dan tas saya nggak?!” seorang perempuan seksi, montok, dan gagah perkasa bertanya dengan panic. Kulitnya sawo matang, rambutnya agak ikal, dan tatapan matanya keras. Bola matanya bulat dan besar.

Entah bertanya pada siapa. Ia mengambil sebatang rokok, lalu menyalakannya dan menghisapnya. Gaya merokok orang yang gugup dan khawatir. Ia berjalan mondar-mandir. “Bangsat!!!” katanya sambil menendang.

Ia mengenakan pakaian dengan dominasi warna merah. Di beberapa bagian berwana putih. Di salah satu sudutnya tertulis, Metro TV. “Aduh, itu liputan berita saya!” begitu katanya.

Purwokerto
Sudut Sekolah, 30-09-10
(14.22)