Jumat, 15 Oktober 2010

Toilet yang Selalu Ada “Pup”-nya dan Belajar Ketulusan dari Abah

Oleh: Rosyidah Purwo

Delapan tahun silam. Adalah masa di mana saya baru saja selesai menuntut ilmu dari Madrasah Tsanawiyah Negeri sekaligus saya juga baru saja selesai menututu ilmu di sebuah pesantren di Purwokerto. Mengenangnya, saya teringat akan masa lalu yang menyedihkan, menyenangkan, dan mengharukan!

Malam hari harus bergelut dengan pelajaran di sekolah sekaligus pelajaran di pesantren. Puluhan anak mendapat bimbingan spiritual, akhlak, kemandirian, kepribadian dari seorang public centre di sana. Sosoknya begitu indah dipandang dan begitu nyaman dirasakan. Rendah hati, lucu, tegas, cerdas, ulet dan luar biasa sabar. Satu lagi, meskipun memegang posisi sebagai pengajar di perguruan tinggi, namun tetap merakyat.

Setiap subuh hari, dan setiap selesai melaksanakan sholat maghrib, ia menyediakan waktunya untuk berbagi ilmu dengan bapak-bapak tua, ibu-ibu tua, bahkan mbah-mbah, dan anak-anak di sebuah musholla kecil. Dengan telaten dan sabar, ia mangajarkan satu persatu huruf-huruf Al Quran. Sampai menjelang waktunya tiba, mereka mampu mengkhatamkan 30 juz Al Quran. Bahkan satu juz dalam al Quran, mampu dihafal.

Namanya mbah Hasan (allohummarhamhu), mbah Prayit (Allohummarhamhu), mbah Warni (penjual jajan di pasar wage, dan daerah sekitar SPN) adalah salah tiga di antara puluhan orang yang belajar kepadanya. Usia mereka saat saya masih belajar membaca Al Quran bersama adalah kepala lima. Sampai saya lulus, mereka sudah mempu membaca Al Quran dengan baik. Mbah Warni mampu mengenali bacaan sholat dengan baik.

Bisa dibayangkan, betapa sulitnya mengajar orang banyak yang sudah memiliki usia kepala lima. Jika bukan karena ketulusan dan keuletan serta kesabaran, orang-orang ini sampai hari ini tidak akan mampu mengenal huruf-huruf yang bagi kebanyakan orang adalah huruf asing dan aneh.

Saat itu, saya teringat masa di mana saya sedang tidak memiliki uang sama sekali. Tiba-tiba saya sakit. Muntah-muntah, dan badan rasanya tidak enak. Dengan bantuan seorang teman, saya dibawa ke poliklinik Unsoed menggunakan becak. Dalam keadaan sakit itu, kepala saya dipenuhi pikiran tentang “ongkos becak dan biaya obat”, sebab tidak mungkin saya dibantu oleh teman saya ini, sebab saya tahu, ia juga sama-sama seperti saya, tidak memiliki uang.

Di sana saya diperiksa, dan diberi resep obat. Saat hendak menyerahkan uang yang saya miliki, Rp. 10000,00, ibu penjaga kasir mengatakan, “sudah dibayar oleh bu Ulfah,” subhanalloh. Saya tahu Bu Ulfah adalah istri dari bapak ini. Ia sama-sama orang tulus, baik hati, lembut, penuh kasih sayang, jujur, dan tegas!

Pagi hari ini, saya berbincang-bincang dengan bu kost. Pagi hari yang dingin dan cerah. Saya mengambil sebuah setrika tua milik bua kost. Saya setrika baju seragam yang kemarin saya cuci.
“Ibu, kok masih seperti kemarin ya, toiletnya?” tanya saya membuka percakapan pagi itu.
“Masih ada pup-nya?” tanya bu kost.
“Iya,”

Toilet penuh PUP. Itulah kejadian yang sudah hampir terjadi selama kurang lebih satu setengah tahun, namun baru saya ungkapkan satu minggu yang lalu.

Setiap pulang dari mengajar, sering sekali saya menjumpai toilet di kost saya masih ada PUP menunggu di sana. Baunya tidak karuan! Bisa dirasakan sendiri deh kalau penasaran! Dan ini sudah terjadi selama kurang lebih satu setengah tahun.

Lalu saya tanyakan kepada ibu kost. Apakah ada orang lain yang memakai toilet di belakang selain saya? itulah bunyi pertanyaannya. Ternyata jawaban ibu kost adalah “ya”. Usut punya usut yang memakai toilet adalah pembantu bu kost dan suaminya yang setiap pagi dan sore hari datang untuk merawat suaminya ibu kost yang sedang menderita stroke sejak tiga tahun lalu.

Mbak Yani namanya, dan Pak Jumadi, nama suaminya. Mereka adalah sepasang suami istri yang memiliki profesi sebagai buruh rumah tangga, dan sebagai pekerjaan sampingan suaminya dalah sebagai tukang parkir. Dari hasil ini, mereka belum mampu mencukupi kebutuhan hidup rumah tangga mereka. Apalagi diperkotaan yang menuntut stiap orang harus mandiri dan bekerja.

“Wah, kalau besok lagi diperingatkan nggak nurut, ya….tidak boleh memakai toilet dong, Bu.” Kata saya bercanda. “Terus bagaimana, dong?” timpal bu kost saya, serius. “Nggak tahu, Bu,” jawab saya. Meskipun pertanyaan saya adalah guyonan namun dalam hati, serius banget. Mudah-mudahan…mudah-mudahan…tragedi “PUP di Toilet segera berakhir…”. Begitulah keseriusannya.

Satu setengah tahun batin saya selalu menderita. Menyiram dan membersihkan toilet yang ada “PUP-nya” namun bukan PUP sendiri, meskipun tidak setiap hari, namun lumayan sering. Bau dan jijik rasanya.

Dalam hati saya berkata, ah, rugi amat. Bayar kos mahal kok menjadi tukang buang PUP orang di toilet sendiri! Sakit hati rasanya. Belajar tulus dari Abah dong, Sayang! begitu hibur hati saya.

Purwokerto, 14 Oktober 2010

Tidak ada komentar: