Minggu, 10 Juli 2011

Duri Mawar dan Teguran

Oleh: Rosyidah Purwo*)
Pagi yang masih buta. Udara terasa begitu dingin dan menusuk. Dengan sepeda motor saya dibonceng pulang ke kost. Meskipun sudah mengenakan jaket tebal, satung tangan, dan masker, tetap saja udara masih terasa dingin. Dalam 25 menit, saya menempuh perjalanan dari rumah menuju kost.

Jam di HP saya (maklum, jam tangan cantik saya hilang, dan belum memiliki kesempatan untuk membeli, maka saya mengandalkan HP untuk melihat perjalanan waktu) menunjukkan pukul 05.54 wib. Jalanan masih sangat sepi, namun beberapa anak berseragam sekolah sudah terlihat di kanan-kiri jalanan. Menunggu angkot atau jemputan.

Di pinttu gerbang kost, satu hal yang sudah pasti saya cek lebih dulu adalah melihat gembok di pintu gerbang. Memastikan pintunya dikunci atau tidak. Karena pemilik pintu gerbang ini sedikit aneh. Ia tidak selalu mengunci pintu gerbanganya. Jadi kadang-kadang dikunci, kadang-kadang tidak.

Dan pagi itu, pintu gerbang dalam keadaan TERKUNCI! Ah, tentu saja bukan keberuntungan bagi saya. Sebab dengan begitu berarti saya harus repot dulu menghubungi ibu kost melalui telepon. Celakanya, pagi itu saya membawa HP yang tidak tertulis nomor telepon kost saya. Lebih parahnya lagi, pulsa di HP saya tinggal Rp 50,00!

Jam di HP menunjukkan pukul 06.00 wib. Sebab takut terlambat peri ke sekolah, saya mencoba mengucapkan salam dengan setengah berteriak. Tujuannya adalah agar si empunya pintu gerbang bisa mendengar suara saya . Ternyata usaha saya gagal dan sia-sia. Si empunya pintu gerbang tak kunjung muncul. Kecewa tentu saja. Sedikit umpatan muncul di hati saya (saya memiliki alasan mengapa saya sedikit mengumpat, suatu hari saya pernah meminta kunci serep agar tidak merepotkan ibu kost, namun permintaan saya ditolak. Berarti jika ada problem seperti ini, bukan kesalahan saya).

Mungkin Tuhan masih sayang dengan saya. Entah mendapat sinyal dari mana, ibu kost keluar dari rumahnya. “Sudah dibuka belum?” tanyanya. Dengan melambaikan tangan saya menjawabnya.
Segera Ia masuk kembali ke dalam. Dan keluar lagi dengan tangan kosong. Karena ternyata kunci gerbang dipegang oleh cucu tercintanya yang akhir-akhir ini suka sekali pulang di atas jam 9 malam. Lalu ia berjalan pelan menuju ke rumah pak RT yang tidak lain adalah adik dari suaminya. Kebetulan rumah pak RT ini bersebelahan dengan rumah bu kos saya.

Dengan menggunakan lonceng yang tombolnya adalah tali panjang yang harus ditarik saat membunyikannya, ia mengetuk pintu rumah pak RT. Beberapa saat ia menunggu. Tak ada orang keluar. Lalu ia masuk lagi. Saya merasa kasihan sebenarnya. Barangkali ia menghubungi rumah pak RT melalui pesawat telepon. Dalam beberapa menit, seorang gadis kecil keluar dengan membawa kunci.
“Mbak, lewat gerbang sebelah,” kata ibu kos saya. Saya menyetujuinya dengan segera berjalan ke sana. Gerbang sebelah ini adalah gerbang yang jarang sekali saya lewati. Sebab saya merasa lebih jauh jika harus melewatinya. Dalam keadaan yang sedikit dongkol saya masuk. “Ah, ribet sekali!” begitu saya berkata pada diri sendiri dengan sedikit ketus.
Dengan bercepat-cepat saya mengenakan seragam mengajar hari Senin. Dalam waktu 10 menit saya selesai berias diri. Waktu di jam dinding kamar menunjukkan pukul 06.25 wib. Masih ada waktu 15 menit untuk menuju ke sekolah (jam masuk bagi guru di sekolah saya adalah pukul 06.45 wib), namun saya berangkat lebih awal karena ini adalah ahri pertama masuk sekolah.
Di halaman kost, tepatnya di depan warung soto milik bu Harni (warung yang berdiri sejak Ramadhan tahun lalu namun tidak pernah ramai oleh pengunjung) saya berjalan cepat-cepat dengan lambaian tangan yang panjang.
Srek! Tak sengaja duri pohon mawar (yang tumbuh rimbun di sana) menancap di jari telunjuk tangan kiri saya. Rasanya, luar biasa sakit! Darah segar berwarna merah mengalir. Sepanjang jalan menuju sekolah saya mengaduh kesakitan.

Ini adalah teguran bagi saya. Mungkin Tuhan sedang berkata, “jangan emosi, dan jangan tergesa-gesa!”

*)Rosyidah Purwo. Staff Pengajar di RSDBI Al Irsyad Al Islamiyyah 01 Purwokerto.

Segalanya Bergantung Pada Diri Sendiri

Oleh: Rosyidah Purwo*)

Suatu pagi yang cerah. Seorang kawan bercerita kepada saya tentang anak-anak didiknya yang konon ceritanya, anak-anak di sekolahnya sangat susah diatur. Saking susahnya, sampai-sampai kepala sekolahnya menangis. Saya terdiam mendengar ceritanya.

“Masa sampai sebegitunya?” tanya saya sedikit guyonan.
“Benar sekali. Saya yang merasakan sendiri,” katanya menggebu-gebu. Saya tersenyum.
“Saya senang sekali melihat anak-anak di sini. Enak diatur,” katanya (sepertinya si terkagum-kagum).

Sebagai guru dari anak-anak yang konon mudah diatur, tentu saja saya cukup bangga. Meskipun dalam hati berkata (masa se? Apa tidak salah penilaiannya?). Sepertinya tak ada salahnya juga, apabila rasa bangga itu muncul. Bukankah benar atau tidaknya, baik atau buruknya sesuatu adalah orang lain yang menilai? Mudah-mudahan apa yang dikatakan kawan saya ini tidak dibuat-buat.

“Jangan begitu. Jenengan berlebih-lebihan menilainya. Mungkin ini hari pertama, jadi belum ketahuan aslinya,” kata saya menanggapi.

“Oh tidak. Ini benar, Bu. Saya kalau mengajar di sana mbok, sampai membawa gitik,” katanya masih menggebu-gebu. Ingin tertawa rasanya saya melihat ekspresi wajahnya. (Syukur Alhamdulillah kalau betul demikian, batin saya barkata).

Kaitannya dengan kasusnya kawan saya ini adalah pengalaman saat 11 tahun silam. Saat saya masih menuntut ilmu di bangku SMA.

Masih terekam dengan baik di memori ingatan saya. Saat itu, saya nyambi belajar agama di sebuah pesantren di wilayah Purwokerto. Di pesantren itu saya termasuk salah satu murid yang paling tidak bias membaca Al Quran. Di antara teman-teman di sana, saya adalah murid paling tidak bias. Bagaimana tidak, teman-teman saya yang masih duduk di bangku SD sudah mencapai hafalan surat Yasin, sementara saya masih hafalan surat Al Fatehah.

Tentu saja ini adalah kasus berat bagi guru saya di sana. Barangkali saja guru saya juga bosen minta ampun setiap kali mengajar saya. Namun, sungguh luar biasa sekali guru saya itu. Tidak pernah saya mendengar kata-kata negative keluar dari mulutnya. Hanya dzikir dan istighfar yang kerap kali Ia lontarkan. Sampai akhirnya saya menyelesaikan hafalan juz 30 dalam waktu satu tahun, guru saya tidak pernah sedikitpun mencaci, membenci, bahkan, mengumpat.

Bahkan guru-guru di pesantren saya 11 tahun silam itu, tidak pernah mengeluarkan kata-kata “anak nakal, anak tidak bias diatur, dll”. Tentu saja ini tergantung pada diri sendiri. Nah tentang kasus tentang kawan saya itu, mungkin saja kawan saya masih menganggap anak-anaknya susah diatur, susah diarahkan, dll. So, segalanya tergantung pada diri sendiri. Bagaimana?

*)Rosyidah Purwo. Staff Pengajar di RSDBI Al Irsyad Al Islamiyyah 01 Purwokerto.