Minggu, 10 Juli 2011

Segalanya Bergantung Pada Diri Sendiri

Oleh: Rosyidah Purwo*)

Suatu pagi yang cerah. Seorang kawan bercerita kepada saya tentang anak-anak didiknya yang konon ceritanya, anak-anak di sekolahnya sangat susah diatur. Saking susahnya, sampai-sampai kepala sekolahnya menangis. Saya terdiam mendengar ceritanya.

“Masa sampai sebegitunya?” tanya saya sedikit guyonan.
“Benar sekali. Saya yang merasakan sendiri,” katanya menggebu-gebu. Saya tersenyum.
“Saya senang sekali melihat anak-anak di sini. Enak diatur,” katanya (sepertinya si terkagum-kagum).

Sebagai guru dari anak-anak yang konon mudah diatur, tentu saja saya cukup bangga. Meskipun dalam hati berkata (masa se? Apa tidak salah penilaiannya?). Sepertinya tak ada salahnya juga, apabila rasa bangga itu muncul. Bukankah benar atau tidaknya, baik atau buruknya sesuatu adalah orang lain yang menilai? Mudah-mudahan apa yang dikatakan kawan saya ini tidak dibuat-buat.

“Jangan begitu. Jenengan berlebih-lebihan menilainya. Mungkin ini hari pertama, jadi belum ketahuan aslinya,” kata saya menanggapi.

“Oh tidak. Ini benar, Bu. Saya kalau mengajar di sana mbok, sampai membawa gitik,” katanya masih menggebu-gebu. Ingin tertawa rasanya saya melihat ekspresi wajahnya. (Syukur Alhamdulillah kalau betul demikian, batin saya barkata).

Kaitannya dengan kasusnya kawan saya ini adalah pengalaman saat 11 tahun silam. Saat saya masih menuntut ilmu di bangku SMA.

Masih terekam dengan baik di memori ingatan saya. Saat itu, saya nyambi belajar agama di sebuah pesantren di wilayah Purwokerto. Di pesantren itu saya termasuk salah satu murid yang paling tidak bias membaca Al Quran. Di antara teman-teman di sana, saya adalah murid paling tidak bias. Bagaimana tidak, teman-teman saya yang masih duduk di bangku SD sudah mencapai hafalan surat Yasin, sementara saya masih hafalan surat Al Fatehah.

Tentu saja ini adalah kasus berat bagi guru saya di sana. Barangkali saja guru saya juga bosen minta ampun setiap kali mengajar saya. Namun, sungguh luar biasa sekali guru saya itu. Tidak pernah saya mendengar kata-kata negative keluar dari mulutnya. Hanya dzikir dan istighfar yang kerap kali Ia lontarkan. Sampai akhirnya saya menyelesaikan hafalan juz 30 dalam waktu satu tahun, guru saya tidak pernah sedikitpun mencaci, membenci, bahkan, mengumpat.

Bahkan guru-guru di pesantren saya 11 tahun silam itu, tidak pernah mengeluarkan kata-kata “anak nakal, anak tidak bias diatur, dll”. Tentu saja ini tergantung pada diri sendiri. Nah tentang kasus tentang kawan saya itu, mungkin saja kawan saya masih menganggap anak-anaknya susah diatur, susah diarahkan, dll. So, segalanya tergantung pada diri sendiri. Bagaimana?

*)Rosyidah Purwo. Staff Pengajar di RSDBI Al Irsyad Al Islamiyyah 01 Purwokerto.

Tidak ada komentar: