Jumat, 29 April 2011

Just 5 Second


Oleh: Rosyidah Purwo*)

Apa yang dicari dalam kehidupan ini? Mari kita berpikir sejenak. Sambil berpikir, mari baca list berikut ini:

- Mencari kekayaan yang banyak

- Mencari calon suami/istri yang tampan/cantik

- Mencari calon menantu/mertua yang kaya

- Memiliki title yang sebanyak-banyaknya

- Sekolah yang setinggi-tingginya

- Memiliki mobil banyak

- Memiliki rumah yang indah dan mewah

- Hidup sederhana tapi bahagia

- Hidup kaya tapi menderita

- Hidup kaya tapi bahagia

Setelah membacanya, silakan pilih sesukanya. Boleh memilih yang mana saja tak ada paksaan tak ada ajakan. Siapapun berhak memilih yang manapun sesuai dengan tujuan dan keinginan hidupnya. Ya, sebab hidup itu adalah pilihan, kata kawan saya, pada dua tahun yang lalu. Dan, setiap pilihan pastilah memiliki resiko yang menunggu di depan. Resiko ini sudah wajib untuk ditanggung dan tentu saja dirasakan dan dinikmati.

Adalah cerita dari seorang kawan. Ia pernah bercerita kepada saya bahwa ia memiliki keinginan menjadi seorang editor di sebuah Koran terbesar di Indonesia. Karena keinginannya itu, kawan saya belajar apapun tanpa kenal lelah. Tentu saja belajaranya adalah segala hal ihwal yang terkait dengan edit mengedit. Memebaca, hunting berita, menulis, rapat redaksi, membeli Koran, dll. Setiap kantor (besar atau kecil) yang bergerak dibidang tulis menulis ia datangi. Meskipun sekadar diminta memindah menuliskan tulisan anak-anak ke dalam layar komputer tanpa diberi imbalan uang, ia lakukan.

Setiap tempat yang memiliki ‘harta karun’ ia datangi. TPA, kehidupan anak-anak jalanan, mbok-mbok bakul di pasar, pejabat di lingkungan kampus, dll. Tak kenal lelah, teriknya matahari tak ia hiraukan, bahkan di bawah guyuran hujan, ia lakukan.

Akibat kerja kerasanya ini, suatu hari ia diterima di sebuah kantor Koran harian terbesar di Jawa Tengah. Ia diterima di editor bagian iklan. Lumayan, untuk sebuah langkah awal. Lalu ia belajar lebih keras lagi sebab merasa belum tercapai cita-citanya. Suatu hari saya mendengar kabar burung-nya, bahwa ia sudah di Jakarta bekerja pada sebuah Koran harian yang saya belum tahu ceritanya hingga sekarang.

Sebuah cerita lagi datang dari kawan saya. Ia seorang karyawan di salah satu bank di Jakarta. Orangnya sangat baik, cukup cantik, dan otaknya sangat brilliant, pendidikannya tinggi, uangnya cukup banyak untuk ukuran seorang gadis single. Karena hal ini, ia membuat target yang cukup besar tentang pendamping hidupnya.

“Saya menginginkan seorang laki-laki yang baik, pendidikannya baik, pekerjaannya juga baik. Setidaknya seperti saya, lah” begitu ia bercerita. Pada masa menjelang tuanya, Tuhan tak kunjung mendatangkan seorang laki-laki sesuai dengan pilihannya.

Setiap orang berhak memiliki keinginan dan cita-cita serta target hidup sebanyak-banyaknya. Namun, saat Tuhan tidak hendak mendengar dan melihat akan apa yang dimimpikan, tentu saja tidak boleh protes.

Konsekuensinya adalah menerima apa adanya pemberian Tuhan. Atau silakan mengelak pemberian-Nya, namun harus siap sedia dengan resiko hidup- yang- barangkali lebih menyakitkan.

Adalah saya pada tiga tahun yang lalu. Dengan segala rencana dan target yang telah dibuat dengan sebaik-baiknya, dalam masa tiga tahun setelah saya diterima bekerja sebagai staff pengajar di sebuah sekolah dasar, berubah total hanya dalam waktu lima menit.

Suatu malam, tepatnya Kamis, 24 Februari 2011. Seorang laki-laki setengah tua mendatangi tempat kost saya. Ia adalah paman saya. Persisnya adalah adik dari bapak. Ia mengenakan pakaian batik warna orange, celana panjang hitam, dan kopyah beludru warna hitam.

Saya dan paman duduk santai di teras rumah ibu kost. Hujan gerimis turun rintik-rintik.

Setelah bertegur sapa dan berbasa-basi sedikit, paman memulai mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya.

“Nak,” begitu ia menyapa saya, “Paman, datang kesini karena ada hal penting dan mendesak untuk saya utarakan”. Lalu ia menjelaskan sedemikan rupa sehingga mau tidak mau saya harus bisa memberi keputusan.

“Tapi saya tidak bisa menjawab sekarang. Saya ada orang tua. Saya harus berdiskusi dulu” begitu saya memberi jawaban atas kata-kata paman.

“Tidak masalah. Tidak harus tergesa-gesa, tidak harus dalam waktu dekat” begitu jawaban paman.

“Kalau, Paman, sendiri setuju atau tidak ?” tanya saya.

“Saya setuju sekali” jawabnya mantap.

Satu malam itu saya tidak bisa tidur. Saya menelpon mama, saya berdiskusi dengannya, panjang lebar dan lama. Ternyata jauh hari, satu tahun yang lalu, mama sudah menginginkan laki-laki itu untuk menjadi pendamping hidupku. Maka pada hari itu, Sabtu 6 Maret 2011, pukul 20.00 wib, sebuah cincin pertunangan telah melingkar di jari manis saya. Hanya lima detik saja proses memakainya. Lima detik itu, cincin cantik sudah terpasang di jari manis saya.

Begitulah, jika Tuhan sudah berkata ‘Kun’, hanya dalam satu kejap mata, mimpi hidup yang sudah disusun matang-matang sejak puluhan tahun silam, bisa berubah secara total! Bisa jadi lebih buruk, bisa jadi lebih baik, atau bisa-biasa saja.

Malam itu adalah malam terakhir saya berhenti berpikir yang 'aneh-aneh' tentang seorang laki-laki calon pendamping hidup. Dengan sebuah cincin yang melingkar di jari manis saya, maka sudah tidak boleh lagi bagi saya untuk menerima laki-laki lain yang barangkali suatu saat akan datang dengan kriteria yang saya inginkan.

Just 5 Second!

*)Rosyidah Purwo. Staf pengajar di RSDBI Al Irsyad Al Islamiyyah 01 Purwokerto.

Jumat, 22 April 2011

Orang Tua Tetap Nomor Satu, Selebihnya adalah Guru

Oleh: Rosyidah Purwo

Perdebatan kecil yang cukup sengit itu terjadi antara kawan saya dengan seorang ibu. Seorang ibu muda nan cantik mendatangi kami yang tengah asyik ngobrol ria dengan anak-anak peserta ‘Rumah Karantina’. Dalam satu bulan lebih tiga minggu atau lebih tepatnya 47 hari , anak-anak yang terdaftar dalam program ini harus mengikuti semua kegiatan di dalamnya tanpa terkecuali.

Anak-anak tidak diperbolehkan kembali ke rumah kecuali hari Sabtu siang, atau jika sakit teramat sangat parah. Kategori sakit teramat sangat parah adalah patah tulang, DBD, Diare Akut, Muntaber, Typhus, dan sedikit penyakit gawat yang dapat mendatangkan kondisi gawat darurat.

Demi kelancaran bersama, orang tua yang anak-anaknya diikutsertakan dalam program ini, dilarang menejenguk kecuali pada hari-hari yang telah ditentukan. Untuk itu dibuatlah sebuah nokta kesepahaman dan kesepakatan bersama.

Suatu malam di hari yang penuh hujan. Seorang anak menangis. Saya selaku biyung emban yang sedang dipercayakan, sedikit khawatir dan was-was meskipun dua tahun berturut-turut telah dipercayakan sebagai biyung emban dalam program yang sama dari sekolah di mana saya menebarkan ilmu yang perrnah didapat dari bangku sekolah tempo dulu.

“Kenapa?” tanya saya.

Sambil menangis sesenggukan, anak yang memiliki nama Tsatsa ini bercerita, “perut saya sakit…”, begitu ia mengawali ceritanya. Seperti yang sudah-sudah saya keluarkan jurus jitu untuk menangani anak yang memiliki kasus seperti ini.

“Kalau sakit seperti ini biasanya diobati apa sama, Mama?” tanya saya.

“Minyak kayu putih,” jawabnya lirih sambil menahan isak tangis.

“Oh, sini Ibu olesi minyak kayu putih,” begitu kataku sambil menahan senyum geli melihat tingkah anak ini.

Sambil mengolesi minyak kayu putih pada perutnya yang kecil, saya berpikir-pikir. Ini bukan sakit perut biasa, tapi sakit perut ‘plus-plus’. Sambil menahan senyum geli, saya berdialog panjang lebar dengannya. Maka diperoleh jawaban dari pikiran saya tentang sakit perut ‘plus-plus’ itu. Bahwa anak didik saya yang bernama Tsatsa ini sedang homesick alias kangen Mama dan ingin pulang ke rumah. Saya pun biarkan saja ia menangis sejadi-jadinya. Selesai menangis sejadi-jadinya, saya antarkan ia untuk belajar bersama kawan-kawan di ruang depan.

Waktu menunjukkan pukul 20.00 wib. Bimbingan belajar sudah dimulai sejak pukul 19.30 wib. Materi malam itu adalah mata pelajaran Matematika. The master of mathematic “Rumah Karantina”, Mbak Latri, sudah siap dengan jurus jitunya dan trik-trik enjoy belajar Matematik. Segera saya antarkan ia untuk bergabung. Sukses!

Suatu sore menjelang maghrib di tahun 2011. Seorang ibu datang ke “Rumah Karantina”. Dengan sejuta alasan, ibu ini mengutarakan maksudnya untuk mengambil si anak yang konon ceritanya menderita sakit.

“Ok, baiklah, Ibu. Tapi selesai dari dokter tolong diantar ke sini”.

“Baiklah, Ibu”. Begitu ibu itu berjanji pada kawan saya yang berprofesi sama dengan saya.

“Sebelum pembelajaran dimulai, segera akan saya antarkan Yaya ke sini”. Begitu ia memanggil anaknya yang memiliki nama Yaya.

“Ok, Bu. Mudah-mudahan sakitnya tidak parah”.

Waktu terus berjalan. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam. Saya dan kawan menanti kepulangannya sambil mulut tak henti memberi arahan pada anak-anak yang melakukan aktifitas masing-masing: piket, beres-beres kamar tidur, menata baju kotor, mandi, sarapan, ada pula yang sarapan.

Sebuah SMS masuk ke HP agak baru saya. HP Samsung tipe G7-E-1080F. Sebuah SMS dari orang tua Yaya. SMS itu emberitahuan bahwa anaknya tidak bisa kembali lagi ke “Rumah Karantina” dikarenakan menderita kejang perut.

Tentu saja kabar ini membuat kami terkejut sejadi-jadinya. Juga cemas secemas-cemasnya. Terkejut karena tidak percaya sakit Yaya separah itu. Cemas karena sudah pasti kepulangan Yaya ke rumah akan menimbulkan seribu pertanyaan dari anak-anak.

Mungkin seperti ini: kok Yaya boleh pulang? Kok Yaya tidur di rumah? Kok dibolehkan ijin? Tentu saja saya dan kawan mengira pertanyaan yang akan muncul seperti itu sebab sudah menjadi kebiasaan umum di ‘Rumah Karantina’. Jika ada salah satu anak yang tidak sejalan dengan rule yang ada, pasti yang lain akan ‘mengorek keterangan’ yang sedetail-detailnya. Kamipun harus siap dengan jawaban-jawabannya.

Jawaban itu akan disampaikan pada suatu waktu, 15 menit setelah sholat maghrib berjamaah. Dengan jurus jitu ala biyung emban di “Rumah Karantina” anak-anak menerima dengan senang hati penjelasan dari saya dan kawan saya. Puji syukur kepada Tuhan tentunya kami panjatkan yang telah memberikan anak-anak asuh saya dan kawan saya hati yang mau memahami.

Suatu malam di malam Senin. Anak bernama Yaya kembali ke “Rumah Karantina” diantar oleh mama tercintanya yang cantik jelita. Sungguh saya tidak mengada-ada tentang mama Yaya yang cantik jelita ini.

Dengan meminta maaf yang sedikit diberi bumbu enak dan indah, ia bercerita panjang lebar tentang perihal kejang perut yang diderita anaknya dalam waktu satu malam itu. Dengan menganggukkan kepala tanda mengerti, tentu saja anggukkan kepala, kami buat semanis-manisnya dan seenak-enaknya, seperti halnya permintaan maaf ala mama Yaya ini. Kami pun tak mau kalah serunya, anggukkan kepala kami pun diberi bumbu-bumbu agak banyak, agar terasa lebih enak dan lezat.

Basa-basi permintaan maaf dan anggukan kepala itu selesai. Legaaaaa…! Mama Yaya pamit pulang, kami bersenang hati tentunya, sebab waktu tidak terbuang banyak berarti.

Jam sudah menunjukkan pukul 19.30 wib. Sudah saatnya anak-anak belajar malam. Ruang belajar “Rumah Karantina” telah siap dengan meja-meja kecil anak-anak dan buku-buku pelajaran.

Anak-anak telah duduk rapi dengan pakaian panjang dan jilbab. Pelajaran Bahasa Indonesia. Saatnya saya mengemban tugas mulia. Mengajarkan materi ini. Sebanyak 50 soal disajikan. Dengan khusyu anak-anak membaca butir demi butir soal.

“Silakan dikerjakan. Ibu beri waktu sampai pukul 20.30 wib. 30 menit ke depan adalah pembahasan,” begitu pesan saya. “Jangan lupa, kunci kalian dapat berhasil adalah membaca soal dengan teliti”.

90 menit berlalu dengan mengerjakan latihan dan pembahasan. Waktu menunjukkan pukul 21.00 wib. Saatnya belajar selesai. Seperti biasa, anak-anak akan segera mencari makanan untuk dimakan. Tidak tahu karena kebiasaan atau memang lapar, anak-anak makan dengan lahap makanan yang ada. Selesai makan, segera saya dan kawan saya meminta agar mereka segera gosok gigi, buang air kecil, dan tidur.

Sambil menunggu tidur, anak-anak ngobrol kecil dengan kawan-kawan. Saya sempatkan waktu sejenak untuk menengok anak-anak di kamar kelompok pertama, lalu ke kamar kelompok ke dua.

Terlihat Yaya belum memejamkan mata. Saya duduk di samping tempat tidurnya. Kami ngobrol-ngobrol kecil seputar sakitnya.

“Kata Mama, Yaya kejang perut?” tanya saya.

“Hah, enggak, Bu,” jawabnya sedikit terkejut.

“La kemarin Yaya sakit apa?”

“Nggak sakit, Bu”.

Bagaimana cerita ini? Menurut saya, segala sesuatu terkait dengan anak, tergantung pada orang tua. Jika orang tua mengatakan anakku ‘anjing’ ia akan tumbuh menjadi anjing. Jika orang tua mengatakan anakku ‘tikus’ ia akan tumbuh menjadi ‘tikus’. Sebaliknya jika orang tua mengatakan anakku ‘malaikat’ maka ia akan tumbuh menjadi ‘malaikat’. Jika orang tua mengatakan anakku ‘kejang perut’ anak akan mengikuti anggapan ‘kejang perut’. Selebihnya adalah guru.

Jadi, segalanya bukan tergantung pada guru. Guru adalah orang tua ke dua setelah keluarga (ayah dan ibu) di rumah.

Bagaimana?

Sudut Rumah Keong, 16 April 2011

Aku Masih Punya Tuhan, Bunda

Oleh: Rosyidah Purwo

Suasana ruang rapat itu berubah menjadi sedikit panas dan tegang. Pak Kepala Sekolah sedang memberikan informasi tentang teknis Ujian Akhir Sekolah tahun ini. Dengan semangat menggebu-gebu, Kepala Sekolah, memberikan penjelasan kepada guru-guru yang mendapatkan tugas sebagai pengawas silang.

“Kepada bapak dan ibu guru yang sudah mendapatkan tugas menjadi pengawas silang, dimohon kehati-hatian dan ketelitiannya. Sebab jika ada kesalahan terkait dengan ujian, maka yang akan dipanggil pertama kali adalah pengawas”.

Saya sebagai salah satu guru yang masuk menjadi kategori pengawas silang tentu saja berkenyit dahi, “aduh susah juga”, begitu kataku kepada teman di sebelah kanan saya. “Iya, harus hati-hati, Mbak,” teman saya menimpali. “Dulu saja katanya ada yang dipenjara gara-gara tidak memasukan salah satu lembar jawab anak,” lanjut teman saya.

Merinding bulu romaku (jangan dibaca sebagai teks lagu. Ini adalah keadaan saat saya mendengar komentar dari teman di sebelah kanan saya). Lalu pak kepala sekolah melanjutkan pidato singkatnya. “Jadi, saya meminta kerja samanya agar besok benar-benar dilakukan dengan sehati-hati dan seteliti mungkin,” begitu ia mengakhiri pidato pekanannya di aula sekolah yang cukup lebar.

Lalu pak Guru Hasan selaku wakil kepala sekolah level 5 dan 6 melanjutkan pidato singkat masih terkait dengan Ujian Akhir Sekolah. Pidatonya diawali dengan sebuah kabar yang cukup membuat ‘panas’ telinga. Adalah sebuah kabar tentang kebocoran soal Ujian Akhir Sekolah tahun ini.

Kabar ini diperoleh dari seorang wali murid yang merasa anaknya menjadi tindak kecurangan atas perilaku pihak yang tidak bertanggung jawab dan tak berperi kemanusiaan.

Di suatu siang, seorang ibu muda mendatangi kantornya yang cukup sempit dan kurang rapi. Ibu muda ini bertutur tentang anaknya yang semalaman gelisah tidak bisa tidur.

“Begini ya, Pak Guru,” katanya menggebu-gebu sambil sesekali membetulkan posisi duduknya, “semalaman anak saya tidak bisa tidur. Goleng sana, goleng sini, sebentar bentar keluar kamar, sebentar sebentar masuk kamar, sebentar sebentar ke toilet lalau duduk di depan TV lalu masuk kamar lagi”.

Ibu muda ini merasa bingung dengan perilaku anakanya yang diluar kebiasaan. Oleh karena itu ia merasa perlu untuk bercakap-cakap dengan pak Guru Hasan selaku wakil kepala sekolah di mana anaknya berada sekarang.

“Setelah saya paksa untuk bercerita, sungguh, Pak Guru, ada kabar yang luar biasa buruk!” begitu katanya sangat bersemangat. Saking semangatnya, sampai-sampai pipinya yang putih agak kemerah jambu merah jambuan terlihat merah beneran. Keringatnya juga bermunculan di beberapa bagian wajahnya. Di ujung hidung, di bawah hidung, di dagu, di pipinya yang indah sekali, di dahinya yang sedikit tertutup jilbab.

“Jadi begini, Pak Guru,” lanjutnya sambil tangannya sesekali meremas-remas tissue yang dipegangnya, “anak saya, saya ikutkan lest privat di rumah,” katanya dengan semangat sekali. “Kemarin, anak saya dan teman-teman yang sama-sama mengikuti lest privat di rumah, diberi kunci jawaban oleh pak guru yang member lest pada anak saya”.

Merasa belum paham dengan apa yang sedang dijelaskan oleh ibu muda ini, Pak Guru Hasan sedikit mengajukan pertanyaan sekaligus juga meminta penjelasan.

“Maaf, Bu…” begitu pak Guru Hasan mengawali pertenyaannya, “terus terang saya belum begitu jelas dengan kata-kata, Ibu. Bisa diperjelas lagi?” katanya halus sekali. Tentu saja pak Guru Hasan tidak ingin membuat ibu muda ini tersinggung.

“Aduh, pak Guru ini bagaimana, masa saya ngomong panjang lebar tidak mudeng-mudeng,” katanya sedikit sewot. “Begini lho, Pak Guru…, anak saya diberi kunci jawaban soal-soal untuk Ujian Akhir Sekolah besok.”

“Innalillah! Yang benar saja, Bu?” katanya terkejut.

“Itulah mengapa anak saya semalaman gelisah tidak bisa tidur”.

“Lho, bukankah seharusnya senang. Berarti anak Ibu dijamin kesuksesannya,” pancing pak Guru Hasan.

“Bukan begitu, Pak Guru…tapi anak saya tidak mau menerimanya. Kata anak saya, ini dosa”. Lanjutnya dengan sedikit sewot.

“Terus, satu hal yang membuat saya terharu dan bangga dengan anak saya, Pak Guru…” lanjut ibu muda itu sambil jari telunjuknya mengusap matanya yang hampir menetes netes, “sewaktu saya bertanya kepada anak saya, katanya ia tidak mau berbuat curang. (Aku masih punya Tuhan, Bunda), begitu katanya, Pak Guru…”

Dialog siang hari bersama pak Guru Hasan dan Ibu Muda berakhir dengan diam seribu bahasa. Dan rapat siang itu diakhiri dengan denggungan suara tawon. Eh, bukan bisik-bisik ibu-ibu dan bapak-bapak guru yang berdengung-dengung seperti tawon!

Purwokerto, 22 April 2011