Jumat, 22 April 2011

Aku Masih Punya Tuhan, Bunda

Oleh: Rosyidah Purwo

Suasana ruang rapat itu berubah menjadi sedikit panas dan tegang. Pak Kepala Sekolah sedang memberikan informasi tentang teknis Ujian Akhir Sekolah tahun ini. Dengan semangat menggebu-gebu, Kepala Sekolah, memberikan penjelasan kepada guru-guru yang mendapatkan tugas sebagai pengawas silang.

“Kepada bapak dan ibu guru yang sudah mendapatkan tugas menjadi pengawas silang, dimohon kehati-hatian dan ketelitiannya. Sebab jika ada kesalahan terkait dengan ujian, maka yang akan dipanggil pertama kali adalah pengawas”.

Saya sebagai salah satu guru yang masuk menjadi kategori pengawas silang tentu saja berkenyit dahi, “aduh susah juga”, begitu kataku kepada teman di sebelah kanan saya. “Iya, harus hati-hati, Mbak,” teman saya menimpali. “Dulu saja katanya ada yang dipenjara gara-gara tidak memasukan salah satu lembar jawab anak,” lanjut teman saya.

Merinding bulu romaku (jangan dibaca sebagai teks lagu. Ini adalah keadaan saat saya mendengar komentar dari teman di sebelah kanan saya). Lalu pak kepala sekolah melanjutkan pidato singkatnya. “Jadi, saya meminta kerja samanya agar besok benar-benar dilakukan dengan sehati-hati dan seteliti mungkin,” begitu ia mengakhiri pidato pekanannya di aula sekolah yang cukup lebar.

Lalu pak Guru Hasan selaku wakil kepala sekolah level 5 dan 6 melanjutkan pidato singkat masih terkait dengan Ujian Akhir Sekolah. Pidatonya diawali dengan sebuah kabar yang cukup membuat ‘panas’ telinga. Adalah sebuah kabar tentang kebocoran soal Ujian Akhir Sekolah tahun ini.

Kabar ini diperoleh dari seorang wali murid yang merasa anaknya menjadi tindak kecurangan atas perilaku pihak yang tidak bertanggung jawab dan tak berperi kemanusiaan.

Di suatu siang, seorang ibu muda mendatangi kantornya yang cukup sempit dan kurang rapi. Ibu muda ini bertutur tentang anaknya yang semalaman gelisah tidak bisa tidur.

“Begini ya, Pak Guru,” katanya menggebu-gebu sambil sesekali membetulkan posisi duduknya, “semalaman anak saya tidak bisa tidur. Goleng sana, goleng sini, sebentar bentar keluar kamar, sebentar sebentar masuk kamar, sebentar sebentar ke toilet lalau duduk di depan TV lalu masuk kamar lagi”.

Ibu muda ini merasa bingung dengan perilaku anakanya yang diluar kebiasaan. Oleh karena itu ia merasa perlu untuk bercakap-cakap dengan pak Guru Hasan selaku wakil kepala sekolah di mana anaknya berada sekarang.

“Setelah saya paksa untuk bercerita, sungguh, Pak Guru, ada kabar yang luar biasa buruk!” begitu katanya sangat bersemangat. Saking semangatnya, sampai-sampai pipinya yang putih agak kemerah jambu merah jambuan terlihat merah beneran. Keringatnya juga bermunculan di beberapa bagian wajahnya. Di ujung hidung, di bawah hidung, di dagu, di pipinya yang indah sekali, di dahinya yang sedikit tertutup jilbab.

“Jadi begini, Pak Guru,” lanjutnya sambil tangannya sesekali meremas-remas tissue yang dipegangnya, “anak saya, saya ikutkan lest privat di rumah,” katanya dengan semangat sekali. “Kemarin, anak saya dan teman-teman yang sama-sama mengikuti lest privat di rumah, diberi kunci jawaban oleh pak guru yang member lest pada anak saya”.

Merasa belum paham dengan apa yang sedang dijelaskan oleh ibu muda ini, Pak Guru Hasan sedikit mengajukan pertanyaan sekaligus juga meminta penjelasan.

“Maaf, Bu…” begitu pak Guru Hasan mengawali pertenyaannya, “terus terang saya belum begitu jelas dengan kata-kata, Ibu. Bisa diperjelas lagi?” katanya halus sekali. Tentu saja pak Guru Hasan tidak ingin membuat ibu muda ini tersinggung.

“Aduh, pak Guru ini bagaimana, masa saya ngomong panjang lebar tidak mudeng-mudeng,” katanya sedikit sewot. “Begini lho, Pak Guru…, anak saya diberi kunci jawaban soal-soal untuk Ujian Akhir Sekolah besok.”

“Innalillah! Yang benar saja, Bu?” katanya terkejut.

“Itulah mengapa anak saya semalaman gelisah tidak bisa tidur”.

“Lho, bukankah seharusnya senang. Berarti anak Ibu dijamin kesuksesannya,” pancing pak Guru Hasan.

“Bukan begitu, Pak Guru…tapi anak saya tidak mau menerimanya. Kata anak saya, ini dosa”. Lanjutnya dengan sedikit sewot.

“Terus, satu hal yang membuat saya terharu dan bangga dengan anak saya, Pak Guru…” lanjut ibu muda itu sambil jari telunjuknya mengusap matanya yang hampir menetes netes, “sewaktu saya bertanya kepada anak saya, katanya ia tidak mau berbuat curang. (Aku masih punya Tuhan, Bunda), begitu katanya, Pak Guru…”

Dialog siang hari bersama pak Guru Hasan dan Ibu Muda berakhir dengan diam seribu bahasa. Dan rapat siang itu diakhiri dengan denggungan suara tawon. Eh, bukan bisik-bisik ibu-ibu dan bapak-bapak guru yang berdengung-dengung seperti tawon!

Purwokerto, 22 April 2011

Tidak ada komentar: