Minggu, 13 Februari 2011

Pelajaran Berharga di Angkringan Bubur Ayam Mang Herman

Oleh: Rosyidah Purwo

Dalam rangka memenuhi hajat yang sudah lama terpendam, saya bersama sepeda baru berjalan-jalan menyusuri area “Free Car Day” di sekitar alun-alun Purwokerto. Pukul 05.30 wib, saya sudah bersiap-siap dengan pakaian kaos warna biru dan celana panjang parasut warna coklat dengan jilbab kaos warna coklat juga. Sebenarnya padu padan ini tidak cocok sama sekali, tapi nyaman sekali dipakai.

Dengan sepeda phoenix warna kuning yang sempat saya beli satu bulan lalu, saya pergi “goes-goes”, begitu istilah yang sempat saya dengar dari radio Dian Swara untuk menyebut istilah bersepeda santai. Perlahan saya kayuh sepeda. Sengaja tidak dikayuh cepat-cepat agar bisa menikmati sejuknya udara pagi hari. Memang benar, udara pagi hari itu benar-benar sangat segar. Rasa-rasanya kulit berubah menjadi lebih kencang dan segar.

Terlihat di sepanjang jalan, lalu lalang orang dengan berkostum kaos dan celana panjang serta sepatu olah raga. Terlihat pula lalu lalang pengguna sepeda mulai dari anak-anak sampai kakek-kakek. Benar-benar asyik sekali di Minggu pagi itu.

Waktu menunjukkan pukul 06.25 wib. Kegiatan “goes-goes” ternyata cukup menguras tenaga dan berhasil membuat perut lapar, maklum, sangat jarang saya lakukan. Terakhir kalinya adalah dua tahun lalu saat nimbrung belajar bahasa Inggris di kampung Inggris, Pare, nun jauh di Jawa Timur sana.

Sambil mengayuh sepeda, saya lirik sana lirik sini, mencari-cari penjual nasi rames. Maklumlah anak kost, nasi rames menjadi menu sarapan pagi setiap hari. Tiba-tiba mata saya tertuju pada bubur ayam angkringan di salah satu sudut jalan, tepatnya di trotoar jalan. Perlahan, sepeda saya kayuh menuju ke sana. Lalu saya parkir di pinggiran jalan dekat gerobak bubur ayam. Saya mengambil tempat duduk di sebelah utara menghadap ke badan jalan. Sengaja saya lakukan agar bisa mengawasi sepeda saya yang tak terkunci. Maklum, sepeda masih baru, jadi saya belum ingin kehilangan. Tentang masalah kunci, kuncinya sepeda saya rusak tepatnya pada bagian lobang kunci, pecah. Praktis, kunci sepeda yang juga masih baru tidak bisa dipakai.

Dua laki-laki dewasa, sepertinya adalah penjual dan pelayannya, tengah menyiapkan dua mangkok bubur ayam untuk dua ibu-ibu yang duduk di bawah pohon besar di depan gerobak bubur ayam.

“Pak, bubur ayam satu, tanpa kedelai”. Saya memesan satu mangkok. Sengaja saya meminta tidak dibubuhi kedelai, sebab menurut saya, jika makan bubur ayam dicampur dengan kedelai goreng, terlalu rumit untuk dikunyah. Mulut juga menjadi cepat lelah, meskipun kedelai goreng ini adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Sambil menunggu, saya duduk di salah satu kursi plastik tanpa sandaran yang disediakan di sana. Seperti biasa, jika ada sesuatu yang baru, mata ini tidak mau diam untuk melihat-lihat, maka sambil menunggu, saya menyapu bersih setiap apa yang ada di sana. Terlihat sebuah tulisan besar pada sebuah kain berwarna hijau pupus yang digunakan sebagai sekat sekaligus sebagai papan nama “Bubur Ayam Priyangan Mang Herman”. Oh, nama penjualnya Mang Herman. Begitu pikir saya setelah membaca tulisan itu.

Dalam hitungan detik, bapak penjual bubur ayam berhasil meracik bubur ayam yang saya pesan. Satu porsi bubur ayam tanpa kedelai siap disantap. Lengang. Hanya canda tawa anak-anak dan bisik-bisik orang-orang yang tengah asyik menikmati jalan-jalan pagi.

Satu dua tiga suap telah masuk ke mulut. Hmmm…sangat gurih dan lezat! Wah, sepertinya bisa juga untuk berlangganan, begitu batin saya merasakan enaknya bubur ayam Priyangan Mang Herman ini.

“Pak, dompet ketinggalan,” kata salah satu ibu yang memesan bubur ayam tapi memilih duduk di bawah pohon. Ia menyerahkan dompet warna coklat yang ditemukan. Kalau dari bentuknya, dompet itu seperti dompet laki-laki. “Coba kita buka dompetnya,” kata mang Herman. “Tidak ada KTP-nya,” katanya kemudian. “Disimpan di sini saja, pasti nanti ada yang mencari”.

Setelah kejadian itu macam-macam komentar muncul dari mulut ibu-ibu dan bapak-bapak yang kebetulan melihatnya. “Saya tidak pernah mengambil barang-barang yang saya temukan. Sebab kita akan kehilangan lebih dari yang diambil,” kata bapak penjual bubur yang saya panggil di dalam hati dengan Mang Herman sejak membaca tulisan di kain warna hijau pupus.

Subhanallah, di jaman yang serba sulit ini masih ada hati baik. Saya lambatkan ritme makan saya. Saya ingin menikmati dengan senikmat-nikmatnya. Saya tidak ingin melewati pagi ini, di angkringan bubur ayam Mang Herman ini, dengan sia-sia. Hati saya sedang berbahagia, baru saja mendapat petuah berharga dari seorang bapak penjual bubur ayam. Saya bulatkan niat untuk bersantap bubur ayam selalu di sini. Selang beberapa menit, seorang bapak berkaki pincang dengan anak kecil laki-lakinya yang tengah menangis dalam gendongan, datang tergopoh. Mang Herman bertanya, “mencari apa, Pak?”

“Dompet,” jawabnya dengan bingung dan gelisah.

Sebuah pelajaran berharga di angkringan Bubur Ayam Mang Herman!

(Purwokerto, 12 Februari 2011, 09.10 wib)

1 komentar:

Wijaya kusumah mengatakan...

wow sebuah cerita yg keren, nanti kalau omjay ke purwokerto ajak makan di sana ya, hehhehehe

salam
Omjay