Jumat, 22 April 2011

Orang Tua Tetap Nomor Satu, Selebihnya adalah Guru

Oleh: Rosyidah Purwo

Perdebatan kecil yang cukup sengit itu terjadi antara kawan saya dengan seorang ibu. Seorang ibu muda nan cantik mendatangi kami yang tengah asyik ngobrol ria dengan anak-anak peserta ‘Rumah Karantina’. Dalam satu bulan lebih tiga minggu atau lebih tepatnya 47 hari , anak-anak yang terdaftar dalam program ini harus mengikuti semua kegiatan di dalamnya tanpa terkecuali.

Anak-anak tidak diperbolehkan kembali ke rumah kecuali hari Sabtu siang, atau jika sakit teramat sangat parah. Kategori sakit teramat sangat parah adalah patah tulang, DBD, Diare Akut, Muntaber, Typhus, dan sedikit penyakit gawat yang dapat mendatangkan kondisi gawat darurat.

Demi kelancaran bersama, orang tua yang anak-anaknya diikutsertakan dalam program ini, dilarang menejenguk kecuali pada hari-hari yang telah ditentukan. Untuk itu dibuatlah sebuah nokta kesepahaman dan kesepakatan bersama.

Suatu malam di hari yang penuh hujan. Seorang anak menangis. Saya selaku biyung emban yang sedang dipercayakan, sedikit khawatir dan was-was meskipun dua tahun berturut-turut telah dipercayakan sebagai biyung emban dalam program yang sama dari sekolah di mana saya menebarkan ilmu yang perrnah didapat dari bangku sekolah tempo dulu.

“Kenapa?” tanya saya.

Sambil menangis sesenggukan, anak yang memiliki nama Tsatsa ini bercerita, “perut saya sakit…”, begitu ia mengawali ceritanya. Seperti yang sudah-sudah saya keluarkan jurus jitu untuk menangani anak yang memiliki kasus seperti ini.

“Kalau sakit seperti ini biasanya diobati apa sama, Mama?” tanya saya.

“Minyak kayu putih,” jawabnya lirih sambil menahan isak tangis.

“Oh, sini Ibu olesi minyak kayu putih,” begitu kataku sambil menahan senyum geli melihat tingkah anak ini.

Sambil mengolesi minyak kayu putih pada perutnya yang kecil, saya berpikir-pikir. Ini bukan sakit perut biasa, tapi sakit perut ‘plus-plus’. Sambil menahan senyum geli, saya berdialog panjang lebar dengannya. Maka diperoleh jawaban dari pikiran saya tentang sakit perut ‘plus-plus’ itu. Bahwa anak didik saya yang bernama Tsatsa ini sedang homesick alias kangen Mama dan ingin pulang ke rumah. Saya pun biarkan saja ia menangis sejadi-jadinya. Selesai menangis sejadi-jadinya, saya antarkan ia untuk belajar bersama kawan-kawan di ruang depan.

Waktu menunjukkan pukul 20.00 wib. Bimbingan belajar sudah dimulai sejak pukul 19.30 wib. Materi malam itu adalah mata pelajaran Matematika. The master of mathematic “Rumah Karantina”, Mbak Latri, sudah siap dengan jurus jitunya dan trik-trik enjoy belajar Matematik. Segera saya antarkan ia untuk bergabung. Sukses!

Suatu sore menjelang maghrib di tahun 2011. Seorang ibu datang ke “Rumah Karantina”. Dengan sejuta alasan, ibu ini mengutarakan maksudnya untuk mengambil si anak yang konon ceritanya menderita sakit.

“Ok, baiklah, Ibu. Tapi selesai dari dokter tolong diantar ke sini”.

“Baiklah, Ibu”. Begitu ibu itu berjanji pada kawan saya yang berprofesi sama dengan saya.

“Sebelum pembelajaran dimulai, segera akan saya antarkan Yaya ke sini”. Begitu ia memanggil anaknya yang memiliki nama Yaya.

“Ok, Bu. Mudah-mudahan sakitnya tidak parah”.

Waktu terus berjalan. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam. Saya dan kawan menanti kepulangannya sambil mulut tak henti memberi arahan pada anak-anak yang melakukan aktifitas masing-masing: piket, beres-beres kamar tidur, menata baju kotor, mandi, sarapan, ada pula yang sarapan.

Sebuah SMS masuk ke HP agak baru saya. HP Samsung tipe G7-E-1080F. Sebuah SMS dari orang tua Yaya. SMS itu emberitahuan bahwa anaknya tidak bisa kembali lagi ke “Rumah Karantina” dikarenakan menderita kejang perut.

Tentu saja kabar ini membuat kami terkejut sejadi-jadinya. Juga cemas secemas-cemasnya. Terkejut karena tidak percaya sakit Yaya separah itu. Cemas karena sudah pasti kepulangan Yaya ke rumah akan menimbulkan seribu pertanyaan dari anak-anak.

Mungkin seperti ini: kok Yaya boleh pulang? Kok Yaya tidur di rumah? Kok dibolehkan ijin? Tentu saja saya dan kawan mengira pertanyaan yang akan muncul seperti itu sebab sudah menjadi kebiasaan umum di ‘Rumah Karantina’. Jika ada salah satu anak yang tidak sejalan dengan rule yang ada, pasti yang lain akan ‘mengorek keterangan’ yang sedetail-detailnya. Kamipun harus siap dengan jawaban-jawabannya.

Jawaban itu akan disampaikan pada suatu waktu, 15 menit setelah sholat maghrib berjamaah. Dengan jurus jitu ala biyung emban di “Rumah Karantina” anak-anak menerima dengan senang hati penjelasan dari saya dan kawan saya. Puji syukur kepada Tuhan tentunya kami panjatkan yang telah memberikan anak-anak asuh saya dan kawan saya hati yang mau memahami.

Suatu malam di malam Senin. Anak bernama Yaya kembali ke “Rumah Karantina” diantar oleh mama tercintanya yang cantik jelita. Sungguh saya tidak mengada-ada tentang mama Yaya yang cantik jelita ini.

Dengan meminta maaf yang sedikit diberi bumbu enak dan indah, ia bercerita panjang lebar tentang perihal kejang perut yang diderita anaknya dalam waktu satu malam itu. Dengan menganggukkan kepala tanda mengerti, tentu saja anggukkan kepala, kami buat semanis-manisnya dan seenak-enaknya, seperti halnya permintaan maaf ala mama Yaya ini. Kami pun tak mau kalah serunya, anggukkan kepala kami pun diberi bumbu-bumbu agak banyak, agar terasa lebih enak dan lezat.

Basa-basi permintaan maaf dan anggukan kepala itu selesai. Legaaaaa…! Mama Yaya pamit pulang, kami bersenang hati tentunya, sebab waktu tidak terbuang banyak berarti.

Jam sudah menunjukkan pukul 19.30 wib. Sudah saatnya anak-anak belajar malam. Ruang belajar “Rumah Karantina” telah siap dengan meja-meja kecil anak-anak dan buku-buku pelajaran.

Anak-anak telah duduk rapi dengan pakaian panjang dan jilbab. Pelajaran Bahasa Indonesia. Saatnya saya mengemban tugas mulia. Mengajarkan materi ini. Sebanyak 50 soal disajikan. Dengan khusyu anak-anak membaca butir demi butir soal.

“Silakan dikerjakan. Ibu beri waktu sampai pukul 20.30 wib. 30 menit ke depan adalah pembahasan,” begitu pesan saya. “Jangan lupa, kunci kalian dapat berhasil adalah membaca soal dengan teliti”.

90 menit berlalu dengan mengerjakan latihan dan pembahasan. Waktu menunjukkan pukul 21.00 wib. Saatnya belajar selesai. Seperti biasa, anak-anak akan segera mencari makanan untuk dimakan. Tidak tahu karena kebiasaan atau memang lapar, anak-anak makan dengan lahap makanan yang ada. Selesai makan, segera saya dan kawan saya meminta agar mereka segera gosok gigi, buang air kecil, dan tidur.

Sambil menunggu tidur, anak-anak ngobrol kecil dengan kawan-kawan. Saya sempatkan waktu sejenak untuk menengok anak-anak di kamar kelompok pertama, lalu ke kamar kelompok ke dua.

Terlihat Yaya belum memejamkan mata. Saya duduk di samping tempat tidurnya. Kami ngobrol-ngobrol kecil seputar sakitnya.

“Kata Mama, Yaya kejang perut?” tanya saya.

“Hah, enggak, Bu,” jawabnya sedikit terkejut.

“La kemarin Yaya sakit apa?”

“Nggak sakit, Bu”.

Bagaimana cerita ini? Menurut saya, segala sesuatu terkait dengan anak, tergantung pada orang tua. Jika orang tua mengatakan anakku ‘anjing’ ia akan tumbuh menjadi anjing. Jika orang tua mengatakan anakku ‘tikus’ ia akan tumbuh menjadi ‘tikus’. Sebaliknya jika orang tua mengatakan anakku ‘malaikat’ maka ia akan tumbuh menjadi ‘malaikat’. Jika orang tua mengatakan anakku ‘kejang perut’ anak akan mengikuti anggapan ‘kejang perut’. Selebihnya adalah guru.

Jadi, segalanya bukan tergantung pada guru. Guru adalah orang tua ke dua setelah keluarga (ayah dan ibu) di rumah.

Bagaimana?

Sudut Rumah Keong, 16 April 2011

Tidak ada komentar: