Kamis, 16 Juli 2009

Menjaga Tradisi Tidak Sekadar Biaya

Membaca artikel Chuby Tamansari berjudul “Karena Bangga juga Butuh Biaya” yang dimuat pada Radar Banyumas, edisi Minggu Wage, 27 Januari 2008, saya jadi teringat dengan artikel saya yang pernah dimuat di Suara Merdeka, edisi Senin, 07 Mei 2007, berjudul “Jankkis”. Kebetulan temanya sama, yiatu mengenai kebudayaan atau tradisi.

Dalam artikel tersebut, saya menulis mengenai musik tradisional “Jankkis”. Yaitu musik tradisional kentongan yang diciptakakan oleh sekolmpok anak muda dari Jalan Kissaran di salah satu wilayah di Banyumas.

Dari sebuah artikel yang saya unduh dari internet, munculnya musik ini berawal dari sebuah kebiasaan anak-anak muda bermain gitar sambil kongkow-kongkow tanpa ada tujuan yang jelas. Melihat hal demikian, seorang bapak yang merasa kasihan dengan mereka, mencetuskan ide untuk membuat paguyuban seni musik yang mana anggotanya adalah dari anak-anak muda tersebut.

Berawal dari modal yang sangat sederhana, maka berdirilah paguyban seni musik kentongan Jankkis. Seni musik ini dinamakan Jankiss, diambil dari nama jalan di mana anak-anak muda tersebut suka kongkow-kongkow. Yaitu Jalan Kissaran, yang kemudian disingkat menjadi Jankiss.

Perlahan-lahan, bulan demi bulan, paguyuban seni musik ini mulai unjuk gigi. Barangkali karena orang yang melihat merasa nyaman dan senang dengan musik ini, maka beberapa kali paguyuban seni musik ini dimintai untuk tampil dalam rangka meramaikan acara-acara resepsi.

Paguyuban seni musik ini juga berulang kali menjuarai berbagai macam lomba musik tradisional yang pernah diadakan di Banyumas. Bahkan dalam sebuah artikel disebutkan, paguyuban seni musik ini pernah diundang untuk meramaikan acara di beberapa hotel di Banyumas.
Paguyuban seni musik tradisional Jankiss boleh dikatakan sudah mulai mendapatkan tempat di sebagian hati masyarakat, khususnya Banyumas. Maka jangan sampai kesenian ini nantinya hilang sia-sia begitu saja. Maka perlu adanya pewarisan atau regenerasi.

Chuby mengatakan, bangga (baca=menjaga) membutuhkan biaya. Namun pendapat saya mengatakan, selain biaya, untuk melestarikan budaya termasuk paguyuban seni musik Jankiss, juga dibutuhkan adanya proses pewarisan kepada generasi yang akan datang.

Meskipun biaya ada, namun tidak ada proses regenerasi/pewarisan pada generasi selanjutnya, niscaya sebuah tradisi atau budaya dapat eksis keberadaannya. Lihatlah seperti tradisi Doger, Angguk, permainan anak Nini Thowok, sampai sekarang sudah tidak ada bekasnya.

Jika saya bertanya pada anak-anak di sekitar rumah saya, mereka hampir tidak mengenal istilah tersebut. Padahal dulunya Doger, Angguk, dan permainan anak Ninik Thowok pernah menjadi hal yang faforit di hati masyarakat.
Saya sendiri juga mengalaminya. Jika saya ditanya bagaimana bentuk dan cara memainkannya, pasti saya tidak tahu. Salah satu sebabnya karena saya tidak pernah dikenalkan oleh orang tua atau orang-orang sebelum saya.

Maka saya sependapat dengan seorang Antropolog Indonesia, Koentjaraningrat, yang mengatakan bahwa, kebudayaan itu perlu adanya sistem pewarisan. Jadi, satu hal yang menjadi penyebab hilangnya tradisi ini karena tidak adanya proses pewarisan budaya dari generasi sebelumnya ke generasi yang berikutnya.

Memang tidak dapat disalahkan, adanya globalisasi dan modernisasi, membuat masyarakat—Indonesia—lebih cenderung untuk lebih melirik pada budaya asing yang dianggap lebih “nendang” di kalangan generasi muda. Sedang sesuatu yang berbau masa alau dianggap kuno.

Padahal ketiga macam tradisi ini, jika diuri-uri keberadaannya bisa menjadi sesuatu yang sangat berharga. Dan dapat menjadi “harta karun” yang tiada duanya. Jika dijual sebagai aset wisata, bukan tidak mungkin banyak orang yang “meliriknya”.

Terutama di mancanegara yang sangat mengagumi kebudayaan Indonesia yang mereka katakan sebagai sesuatu yang unik dan “wah”.

Siapa sih orangnya yang mau kehilangan produk atau hasil karya sendiri? Tidak ada, kecuali orang-orang bodoh yang tidak dapat menghargai hasil karya sendiri. Atau barangkali masyarakat kita semakin bodoh?

So, bukan hanya biaya yang dapat melanggengkan sebuah tradisi atau budaya. Namun, perlu adanya sebuah pewarisan budaya.

Tidak ada komentar: