Rabu, 21 Oktober 2009


RESENSI BUKU

Judul Buku : Guru Dalam Tinta Emas
Editor : Y. Suhartono
Penerbit : KOMPAS
Tebal Buku : xi + 275 halaman
Cetakan I : Juni 2005

Kita bisa membaca dan menulis, guru yang mengajarkan. Kita dapat menduduki jabatan tertentu, guru jugalah yang mengantarkannya. Kita bisa berkreasi dan berwirausaha, ya tetap guru juga yang berandil besar.

Tanpa guru, kita tidak akan seperti sekarang ini. Maka, pantaslah jika kita memberikan penghargaan tinggi kepada beliau. Penghargaan tersbut dapat kita ungkapkan antara lain dengan menerapkan, mengembangkan, dan mewariskan ajaran-ajarannya lewat keteladanan hidup kita sehari-hari. Agar kita memiliki greget untuk mewujudkannya, maka seyogyanya kita berusaha mengenal bagaimana guru itu.

Guru. Sering kita mendengar kata tersebut. Guru sering diartikan sebagai sosok yang bisa digugu dan ditiru (dipercaya dan diikuti). Ada juga yang menyebutkan guru itu adalah glugu turu, yang dimaksud adalah guru sebagai jembatan bagi siapa saja yang akan menuju “pintu masa depan/kesuksesan”.

Guru, bagi beberapa kelompok masyarakat yang masih memiliki kebudayaan yang bersahaja menganggap bahwa sosok guru adalah sosok yang harus dihormati, dengan memberikan panggilan Mas Guru. Kata “Mas” adalah kepanjangan dari ”Nimas”, merupakan sebutan untuk orang yang sangat dihormati. Hal alin yang kerap kita dengar tentang guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

Memang hal yan sangat pantas apabila julukan seperti itu melekat pada mereka. Namun hanya pantas bagi mereka yang benar-benar menjadi pendidik sejati. Mereka yang mengajar tidak sekadar menjalankan tugas dan kewajiban. Namun, mereka yang benar-benar melaksanakan tanggung jawab dengan sepenuh hati.

Pernahkah mendengar nama Hajjah Sabariah? Atau Butet Manurung? Atau Nurlaila? Mereka dalah sekian contoh pendidik sejati. Seorang guru sejati.

Hajjah Sabariah, seorang guru dan pendidik yang di usia senjanya justru lebih memilih untuk membagikan pengetahuannya pada anak-anak rimba raya di pedalaman Papua sana. Siapa yang mau berbuat demikian kecuali mereka yang mempunyai hati emas dan tekad sekuat baja.

Dengan bekal pengetahuannya, hasil sekolah do Normaal School Amsterdam, dengan menguasai tiga bahasa (Indonesia, Jepang, dan Inggris). Di mana banyak orang yang berkejar-kejaran memeroleh gelar dan jabatan dengan pengetahuan yang mereka punyai, justru Hajjah Sabariah tidak demikian adanya. Dengan kehidupan yang sederhana, dan pas-pasan, dengan lingkungan hidup yang jauh dari keramaian, dan dengan anak-anak yang benar-benar masih terbelakang, ia denga tabah dan sabar membagikan ilmunya kepada mereka.

Ada juga kisah Butet Manurung (Saur Marlina Manurung). Siapa yang tidak mengenal akan dirinya. Seorang perempuan muda yang rela mengabdikan diri di rimba raya Riau sana. Pendidikan yang ia peroleh dari almamaternya (UNPAD), ia gunakan dengan sebaik-baiknya. Ia sebarkan ilmunya pada anak-anak rimba raya Riau sana.

Siapa yang mau hidup denga orang-orang yang tinggal di daerah yangsangat terpencil dan tertutup serta jauh dari keramaian. Sebab ia tinggal di tengah hutan. Saat-saat di mana orang-orang yang seusia dengannya sedang mencari kesenangan hidup dengan menghabiskan waktunya di maal-maal, justru ia lebih memilih mengabdikan hidupnya ada anak-anak rimba.

Semuanya dikarenakan mereka betul-betul berhati emas. Mereka ingin menjadi pendidik sejati. Mereka ingin semua orang dapat merasakan adanya pendidikan..

Guru engkaulah pahlawanku. Engkaulah pahlawan sejatiku. Guru engkaulah penyelamat bangsaku. Betulkah?

Buku Guru Dalam Tinta Emas, yang merupakan kumpulan dari tulisan wartawan harian KOMPAS, akan menjawab semuanya. Dengan bahasanya yang sederhana dan ringan, membuat buku ini mudah sekali untuk dipahami dan dibaca.

Bagi para guru yang sedang mencari kebenaran sejati, atau ingin menjadi pendidik sejati, bacalah buku ini.

Membaca buku ini akan memberi inspirasi dan informasi yang banyak pada kita. Membuat mata dan hati benar-benar terbuka. Ternyata di dunia sana yang kita tidak tahu sama sekali tempatnya, masih ada kebodohan dan keterbelakangan.

*) Resensi ini pernah dimuat di KOMPAS MAHASISWA, edisi 77 Mei 2006

Tidak ada komentar: