Artikel: Rosyidah Purwo
Bel tanda pergantian pelajaran berbunyi. Seorang anak berlari dari ruang kelasnya menuju ke ruang kelas sebelah untuk mengikuti pelajaran berikutnya. Tergopoh ia berlari sambil membawa toples kecil. Sebagai seorang guru, saya memerhatikan setiap detail apa yang dibawa, dipakai, dibicarakan, dan dilakukan anak.
Sebab pelajaran kurang tiga menit anak-anak memanfaatkannya untuk bermain stick Upin-Ipin, adalah stick es krim yang kemudian dijadikan mainan ala film kartun anak Upin-Ipin. Beberapa anak sibuk memukul-mukul lantai dengan tujuan menciptakan angin dari pukulan tangan mereka agar stick mau bergerak. Saat anak-anak yang lain sibuk bermain, seorang anak saya lihat sedang asyik melakukan tawar-menawar sambil memegang satu toples kecil berisi potongan “stick Upin-Ipin”.
Seorang Anak yang Cerdas
Saya dekati anak itu. Saya tanya anak itu sambil saya lihat toples yang dipegangnya, “Apa ini, Nak?”
“Jualan, Ust.” Jawabnya.
“Maksudnya?!” Mendengar jawabannya saya terkejut. Sambil menyembunyikan keterkejutan saya, saya memerhatikan isi di dalam toples tersebut. Selain ada potongan stick es krim yang diganti nama menjadi stick Upin-Ipin, ada sekitar dua puluhan potongan kertas kecil berwarna putih bertuliskan “KUPON”.
Saya mengambil satu potong stick Upin-Ipin dan sepotong kertas putih bertuliskan “KUPON. Anak itu menjelaskan kepada saya bahwa dirinya sedang berjualan Stick Upin-Ipin yang tidak lain adalah stick bekas es krim. Kemudian ia memberikan kupon kepada siapa yang membeli lima potong stick. Jika mampu mengumpulkan lima kupon akan diberi hadiah satu potong stick. Cerdas bukan?
Berpikir Kreatif
Kartun anak Upin-Ipin yang tayang di salah satu stasiun televisi kita merupakan salah satu film kartun yang menjadi kegemaran anak. Dalam salah satu episodenya, kartun ini memunculkan sebuah permainan dari stick. Permainan yang dimunculkan di dalam film ini adalah permainan (pukul stick : red). Cara memainkannya adalah dengan meletakkan stick bekas es krim di lantai kemudian lantai dipukul-pukul menggunakan tangan dengan tujuan agar stick dapat bergerak . Stick mana yang posisinya duluan menumpang di atas stick milik teman, berarti dialah si pemenang.
Permainan ini sangatlah sederhana, tidak modern, dan terkesan sedikit tradisional. Sebab di dalamnya tidak mengandung unsur teknologi sama sekali. Namun, permainan ini telah mampu menyedot perhatian sebagian anak-anak. Di sekolah di mana saya mengajar, hampir setiap anak, laki-laki ataupun perempuan, memiliki stick ini untuk dibuat mainan. Jika waktu istirahat tiba, aula, koridor sekolah, lantai kelas dipenuhi oleh anak-anak yang memainkan permainan ini.
Bagi anak-anak yang biasa-biasa saja, munculnya “wabah” permainan stick Upin-Ipin adalah hal lumrah yang sudah seharusnya ada. Namun tidak bagi anak-anak yang memiliki daya pikir kreatif.
Falah, nama anak tersebut, mampu menciptakan “demam stick Upin-Ipin” menjadi ajang menimba rizki. Dengan modal yang tidak seberapa, ia membeli satu bungkus stick es krim kemudian ia potong menjadi dua bagian. Agar terlihat lebih cantik, ia memberi gambar pada dua sisi stick ini. Hasilnya, luar biasa! Stick-stick kecil nana cantik itu terjual laris manis. Terbukti ia mampu mengantongi uang sebesar enam ribu rupiah dalam sehari. Ini tidak mampu dilakukan oleh sembarang orang. Ini hanya akan mampu dilakukan oleh anak-anak yang memiliki daya pikir kreatif.
Anak ini memang benar-benar memiliki daya pikir yang luar biasa kreatif.
Jiwa Enterpreneurship
Barangkali dengan tujuan agar ia tak melulu berkutat dengan satu macam jenis barang saja, ia melakukan kerja sama “penanaman modal” dengan teman sepermainannya. Teman sepermainannya
tak kalah cerdasnya, ia menjual jajan kepada teman-teman sekelasnya. Jika masing-masing mendapat untung, mereka akan membagi rata keuntungan tersebut. Kemudian modal awal dia gunakan untuk membeli barang yang akan dijual.
Jika kita mau berpikir lebih jauh, mungkin akan muncul sebuah pertanyaan, “bagaimana mungkin anak sekecil itu mampu melakukan hal yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang dewasa?” tak lain dan tak bukan jawabannya adalah karena ia anak cerdas dan kreatif.
Daya pikir kreatif, jiwa interpreneurship atau apapun itu yang menyangkut daya imajinatif kreatif anak tidak akan mampu dimiliki oleh seorang anak tanpa melalui proses pendidikan terlebih dahulu. Pendidikan ini adalah meliputi keluarga dan sekolah.
Permasalahannya adalah, sudahkan sekolah-sekolah yang ada sudah mampu memberikan pendidikan yang demikian pada anak-anaknya? Jika boleh menjawab dengan jujur, sudah, namun jumlahnya masih sangat minim.
Ini menjadi PR bersama tentunya. Sebab jika anak tidak dididik sejak dini untuk memiliki daya pikir kreatif, cerdas, dan imajinatif mereka akan tumbuh menjadi seorang anak dewasa yang manja. Jika sudah demikian, akan dikemanakan masa depan mereka? Lebih parah lagi tentunya, akan berdampak pada Negara tercinta Indonesia Raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar