Senin, 01 Maret 2010

Tentang Sebuah Desa di Kabupaten Madukara, Banjarnegara

By: Rosyidah Purwo
Bau tanah basah dan sedap rumput basah yang dibakar itu mengingatkanku akan masa lalu di mana aku masih kecil. Hidup di sebuah desa dengan masyarakat yang masih bersahaja. Ramah tamah, gotong royong, dan saling bantu adalah norma utama yang masih dijunjung tinggi.

Siang hari di Minggu itu aku menginjakkan kaki di sebuah tempat yang….maha indah. Tempat di mana aku dulu pernah merasakan suasana seperti ini. Basah, sejuk, dingin, harum, menawan, hangat, dan harmonis.

Perjalananku hari ini adalah petualang yang maha indah. Adalah sebuah petualangan yang…aku tidak mampu menguraikannya dengan kata-kata, hanya mampu untuk aku rasakan.
Kebun salak itu, pohon-pohon rindang itu, orang-orang itu, ramah-tamah itu, kolam ikan itu, adalah de javu hari ini. Aku pernah merasakannya dulu. Bukan dalam mimpi, namun sebuah kenyataan hidup, sebuah pengalaman masa lalu.

Bapak setengah tua itu menyapa kami dengan logat ngapaknya. Suara dan senyumannya hangat, akrab, dan ramah. Aku menyukai ini. Seorang ibu setengah tua, hampir seumuran dengan mama, menyapa dengan cara yang sama. Hangat, ramah, tulus.
Jarum jam menunjukkan pukul 11.12wib. namun begitu, terik matahari tak terasa panas, mekipun terik matahari ini sudah mampu mengeringkan baju milik temanku yang pagi tadi dicuci.

Sebab penasaran dengan pohon-pohon salak yang tumbuh hampir di sepanjang jalan, kami menyusuri sepanjang jalan beraspal sebatas jangkauan kami. Sungguh kawan, ini sangat indah. Indah sekali. Sejuk, sepi, hangat, ramah, dan…..damai!
Salak adalah denyut nadi kehidupan masayar akat ini. Salak adalah sumber penghidupan mereka. Hampir 99% masayarakat di sana hidup dengan bermata pencaharian sebagai petani salak.

Termasuk seorang bapak yang hari ini rumahnya aku kunjungi. Ia dapat menyekolahkan dan menghidupi keluarganya yang berjumlah 5 orang, dari bertani salak. Dari cerita yang dilontarkan oleh anak perempuannya, tanaman salak sangat menguntungkan dibandingkan padi.

Salak hanya membutuhkan sekali waktu tanam. Sementara padi berkali-kali waktu tanam. Dengan perawatan yang tidak perlu terlalu rumit dan njlimet, seorang petani salak mampu memeroleh hasil panen setiap tiga bulan sekali dengan jumlah yang cukup banyak.
Jika sukses, maka 2 hektar tanah mampu menghasilkan tujuh ton salak dengan harga per kilonya adalah 3-7 ribu rupiah. Jika harga sedang murah, salak dapat mencapai harga 2 ribu rupiah per kilonya. Dapat dibayangkan, jika setiap rumah memiliki sedikitnya 0,5 hektar kebun salak, maka dapat dipastikan, mereka tidak perlu lagi menjadi buruh bangunan, atau TKW di Negara tetangga.

Tempat ini sangat indah. Alami, sejuk, damai, dan tidak bising. Tempat ini juga memiliki potensi yang baik untuk budi daya ikan air tawar dan lele. Bebrapa rumah penduduk memiliki tempat penyemaian bibit lele dan ikan air tawar. Ini saya dapatkan saat berkunjung di desa tetangga yaitu, Rakit, Banjarnegara.

Di sana, selain penduduknya bertani salak, dan padi, juga membudidayakan ikan air tawar dan lele. Seorang penduduk yang sempat kami singgahi rumahnya, membudidayakan lele dan air tawar sebagai penghasilan tambahan selain ia juga memiliki kebun salak.
Menurut informasi dari anak perempuan si empunya rumah, jika sedang untung maka dapat memanen ikan lele dan air tawar dengan jumlah yang banyak. Kebetulan ia tidak menyebutkan jumlah pastinya. Dari panen salak dan ikan air twar serta lele inilah, masyarakat di sini dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, bahkan menyekolahkan anak-anak mereka.

Cerita dari seorang anak perempuan yang aku singgahi rumahnya hari ini, banyak dari masyarakat setempat yang menyekolahkan anak-anak mereka dari hasil bertani salak. Hampir sebagian besar masyarakat di desa ini menyekolahkan anak-anak mereka sampai jenjang SMU. Bayangkan, ini ukuran sebuah desa. Di mana belum ada transportasi umum yang masuk (angkot, koprades, dan semacamnya).

Beberapa orang yang sadar akan pentingnya pendidikan, menyekolahkan anak-anak mereka sampai jenjang pendidikan perguruan tinggi. Namun, beberapa masyarakat yang (menurut info: masih menganggap harta benda adalah tujuan utama, mereka hanya menyekolahkan anaknya sampai jenjang SMU).

Mereka Enggan Bertani Padi.Pohon salak hanya dengan sekali tanam, kemudian untuk selanjutnya hanya butuh perawatan. Dari awal masa tanam sampai dapat berbuah untuk pertama kalinya membutuhkan massa tiga tahun. Setelah itu, untuk dapat memeroleh panen selanjutnya, pohon salak tidak perlu ditanam lagi pohon salak yang baru. Cukup dengan perawatan teratur, pohon salak dapat menghasilkan buah salak yang baik, berkualitas, dan hasil produksi juga banyak. Ini yang membuat mereka enggan menanam padi.

Menurut mereka, padi tidak praktis dan tidak efektif. Pohon padi membutuhkan penanaman kembali setelah masa panen. Setelah ditanam membutuhkan perawatan yang njlimet. Mencangkul, menyemai bibit, memupuk, membersihkan laha, memupuk kembali, kemudian masa tunggu untuk waktu panen, setelah masa panen datang masih perlu lagi perawatan, padi harus dirontokkan dari tangkai, lalu disellip.
Dengab perawatan yang njlimet ini belum tentu dapat menghasilkan panen yang baik. Belum tentu jumlah pengeluaran untuk perawatan sebanding dengan hasil yang diperoleh. Bahkan bias jadi rugi banyak. Inilah yang membuat masyarakat di sini enggan menanam padi.

Petani Kreatif, Inovatif, Tangguh, Ulet, dan Cerdas. Merasa bosan dengan tanaman salak, beberapa orang mencoba untuk mengganti tanaman di lahan mereka denga padi. Namun, setelah mereka menempuh proses dan massa perawatan, hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan tenaga dan modal yang mereka keluarkan. Lalu mereka mengganti dengan tanaman salak lagi.

Jika dilihat dari cara mereka melakukan usaha, mereka sebenarnya adalah petani yang kreatif, Inovatif, dan cerdas. Mereka kreatif dan inovatif dengan mengganti tanaman salak ke tanaman padi. Mencari perbandingan tanaman mana yang lebih banyak mendatangkan income. Selain itu, untuk meningkatkan taraf hidup mereka, mereka mencari penghasilan lain dengan bertani lele dan ikan air tawar.

Pola pikir mereka untuk mengganti tanaman salak ke tanaman padi, menciptakan lapangan pekerjaan baru dengan memelihara ikan air tawa dan lele membuktikan mereka adalah petani yang kreatif, inovatif, tangguh, ulet, dan cerdas.

Tidak akan memiliki keberanian bagi seseorang yang tidak memiliki sifat tersebut untuk melakukan hal-hal menantang. Dikatakan menantang sebab, mereka berani mengganti tanaman salak yang sudah jelas-jelas mendatangkan penghasilan yang baik ke tanaman padi. Mereka berupaya menciptakan sumber penghasilan lain dengan memelihara ikan lele dan iar tawar. Pola seperti Ini tidak akan dimiliki oleh orang-orang yang pola pikirannya sudah stag, yang menganggap cukup dengan hanya bertanam salak.

Memlihara tanaman salak, memelihara lele, dan ikan air tawar butuh keuletan dan budaya kerja keras yang tinggi. Sebab jika tidak, bukan tidak mungkin lagi hasil panen tidak dapat diperoleh dengan baik. Ini hanya dimiliki oleh merek ayang memiliki kecerdasan, keuletan, tangguh. Tak mudah goyah oleh rasa lelah. Teguh pendirian pada produksi pangan.

Harus Diperhatikan. Melihat pola hidup semacam ini. Pemerintah harus memerhaitkankehidupan mereka. Mereka adalah petani-petani produktif. Pemerintah harus memebrikan “perlindungan” atas kinerja mereka. Jika tidak, bias jadi suatu saat sistem seperti ini menjadi hilang akibatnya adalah pemerintah akan kehilangan lapangan pekerjaan. Efek buruknya adalah semakin bertambahnya pengangguran.
Pemerintah dapat memberikan perhatian dengan cara melindungi hasil produksi mereka dari para tengkulak yang sewaktu-waktu dapat memainkan harga dengan seenak perut sendiri tanpa memerhatikan proses produksi, dan efek dari sistem pemberian harga yang mereka lakukan.

Purwokerto,Minggu, 0 3 Januari 2010

Tidak ada komentar: