Selasa, 23 Maret 2010

Ana Rega, Ana Rupa (Kisah Seorang Ibu dan Anak Laki-Lakinya yang Bersenang Hati)

Oleh: Rosyidah Purwo
Sebuah cerita disampaikan kepada saya. Dalam sebuah senda gurau, seorang teman bercerita kepada saya tentang seorang anak laki-laki yang menjadi anak didiknya.

Anak laki-laki ini merupakan anak satu-satunya dalam sebuah keluarga yang dilahirkan setelah lima belas tahun usia pernikahannya. Praktis, si Ibu sangat menyayangi anak laki-laki ini.

Sayangnya, barangkali karena pola asuh yang kurang tepat di rumahnya, anak laki-laki ini tumbuh menjadi seorang anak yang memiliki daya intelegensi rendah. Di lingkungan rumah maupun sekolah, ia dikenal sebagai anak yang memiliki daya ingat rendah.

Guru kelasnya juga pernah bercerita bahwa ia anak yang menerima perlakuan khusus di kelas. Ia mendapat prioritas perhatian yang lebih tinggi dibandingkan teman-teman yang lain.

Seorang guru mata pelajaran juga pernah menyampaikan unek-unek tentang anak ini. Ia merasa keberatan jika harus memegang anak ini sendirian. Namun begitu, guru ini tetap mengajarnya dengan tekun.

Tidak ada anak yang dilahirkan dalam keadaan yang bodoh. Semua anak dilahirkan dalam keadaan yang suci seperti kertas putih yang masih bersih. Masalah kertas ini mau berubah menjadi hitam, putih, biru, kuning dan sebagainya tergantung pada si empunya kertas mau memberikan warna apa.

Seperti halnya seorang anak. Ia akan menjadi pintar atau bodoh, tergantung bagaimana orang-orang di sekitar memerlakukannya. Jika ia selalu dicemooh “kamu anak bodoh”, lama-lama anak akan tumbuh menjadi bodoh. Jika orang dilingkungan sekitar tinggal, sekolah dan rumah, melabel sebagai anak yang bodoh, dengan sendirinya anak akan menganggap dirinya sebagai anak yang bodoh.

Barangkali jika semua guru di sekolahnya selalu melabel anak ini sebagai anak yang bodoh dan tidak perlu diperhatikan, anak ini akan tumbuh menjadi anak yang benar-benar bodoh. Padahal sudah tahu sendiri bukan?

Setelah melalui proses pendidikan yang luar biasa hebat di sekolahnya, anak ini berubah seratus delapan puluh derajat. Anak yang tadinya tidak tahu huruf hijaiyyah, anak yang tadinya tidak mampu membaca sama sekali, dalam hitungan bulan, anak ini telah mampu membaca dengan baik. Anak yang tadinya tidak mampu merespon setiap gurauan yang dilontarkan teman-teman sekelasnya, sekarang berubah menjadi anak yang cekatan dan tanggap.

Orang tuanya juga terheran-heran. Ia sempat bercerita, setiap adzan berkumandang, anak ini mengajak orang tuanya untuk melaksanakan sholat. Kepada orang tuanya, ia menjadi patuh dan baik hati.

Sebab merasa penasaran, menurut sebuah cerita, seorang ibu rumah tangga mecoba mengetes kemampuan anak ini. Saat kunjungan ke puskesmas setempat, ibu rumah tangga ini memerhatikan si anak yang dengan fasih membaca tulisan dalam sebuah surat kabar, dan sebuah kalimat di pintu masuk, “kamar untuk putra”. Si ibu ini terkagum-kagum luar biasa.

Sebab merasa bangga dengan kemampuan anak semata wayangnya ini, si Ibunya anak bercerita kepada gurunya di sekolah.
“Wah, memang ana rega ana rupa.” Maksud ibu ini adalah, sekolah mahal tidak menjadi masalah, yang penting anaknya bisa. Sekolah mahal pasti berkualitas.


Catatan: Sekolah yang baik adalah sekolah yang memerlakukan anak didiknya sebagai manusia. Atau dengan kalimat lebih kerennya adalah “Proses memanusiakan manusia”. Anak ini boleh dikatakan anak yang beruntung. Dalam rangka menciptakan anak yang cerdas, pandai, berhati nurani,berperi kemanusiaan, baik hati, jujur, dan tidak sombong, berbakti kepada orang tua, orang tua anak ini menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah dasar swasta paling baik saat ini di Banyumas.


Pojok Sekolah, 14 Maret 2010

Tidak ada komentar: