Selasa, 23 Maret 2010

Tikus vs Maling

Oleh: Rosyidah Purwo*)

Di sebuah rumah yang cukup besar, tinggal seorang nenek tua bersama suaminya. Dalam usianya yang sudah renta, nenek tua ini sangat setia menjaga suaminya yang tengah terbaring sakit. Dalam kurun waktu lima tahun, nenek tua ini disiplin sekali dengan urusan menjaga suami tercintanya.

Di rumah model Jawa yang cukup besar ini, tinggal pula seorang anak gadis nan cantik jelita, yang tak lain dan tak bukan adalah cucu dari si nenek. Cucu ini sangat pendiam dan tertutup. Praktis rumah besar, teduh, dan lapang ini terkesan sunyi senyap.

Jika malam datang, hampir tak ada kehidupan.Yang terdengar hanya gaduh suara tikus yang mencuri makanan milik si nenek tua, atau suara jangrik yang mengikrik, atau suara cicak yang berdecak, ada juga suara kendaraan bermotor yang terkadang lewat. Atau suara radio yang sepanjang hari menemani nenek tua.

Selain suami dan cucu, di rumah ini juga tinggal dua anak gadis. Mereka adalah anak-anak yang memanfaatkan kamar kosong milik nenek tua. Alias nge-kost.

Yah, nenek tua ini memang kreatif. Meskipun sudah berumur, namun otak bisnisnya tetap jalan. Barangkali karena sayang, dua kamar besarnya dibiarkan kosong, maka nenek ini menjadikan dua kamar di rumah besarnya sebagai kost-kostan.

Dengan kondisi rumah yang sunyi sepi, keberadaan dua gadis ini menjadi “lentera” bagi si nenek. Jika sedang ada masalah, sudah bisa ditebak, si nenek tua ini akan bercerita panjang lebar mengenai masalahnya kepada dua anak kost-nya.

Mau tak mau, meskipun dalam keadaan lelah setelah seharian melaksanakan tanggung jawab mengajarnya, dua gadis dewasa ini dengan setia dan tekun mendengarkan tuturan dari si nenek.

O iya, nenek tua ini benar-benar seorang nenek yang luar biasa hebat. Dalam kondisi sunyi sepi, menghadapi suaminya yang terbaring tak berdaya, ia masih mampu berkomunikasi dengan suami tercintanya.

Suatu saat, dalam sebuah moment, aku diundang masuk ke kamar pribadinya guna diperkenalkan dengan suami tercintanya yang konon ceritanya dulu adalah anak seorang patih yang kelak saat besar menjabat menjadi seorang wedana.

Aku itu bingung, kaget, kagum, dan tercengang. Begitu masuk ke kamar, aku melihat sesosok laki-laki tua bertubuh jangkung, putih dan besar serta beruban tergeletak di atas tempat tidur. Aku mendekatkan diri untuk menyalaminya.

Aku terlonjak kaget saat laki-laki tua tinggi besar itu mengeluarkan suaranya. Sungguh, siapapun pasti akan kaget dan bingung. Sebab saraf-saraf bicaranya telah digerogoti stroke, semua kata yang dikeluarkan tidak terdengar jelas. Ditambah kuku panjangnya yang sepertinya tidak pernah dipotong. Menambah rasa takutku saat itu.

Sebagai orang jawa asli, aku berusaha sebisa mungkin untuk menjaga keramah-tamahan di kamar setengah mayat itu. Namun begitu, sebagai anak muda yang sedang getol-getolnya mencarai jati diri sesungguhnya, aku tak mampu juga menyembunyikan kepalsuan ramah-tamah itu, nyatanya si nenek langsung angkat bicara saat aku sedang geligapan. Ia menerjemahkan bahasa “planet” suami tercintanya. Nenek ini luar biasa hebat.

Rumah besar ini memiliki ruang tengah yang memiliki tiga pintu. Pintu menuju dapur dan halaman belakang, yang dijadikan jalan raya tikus-tikus kecil yang selalu mencuri makanan. Ke dua, pintu keluar bagian belakang yang menghubungkan menuju halaman samping dan halaman depan, dan terakhir adalah pintu menuju ruang tamu. Yang menjadi masalah bagi si nenek adalah masalah pintu menuju dapur.

Salah satu anak kostnya memiliki kebiasaan baik, ia selalu memerlakukan dengan baik, pintu keluar bagian belakang. Adalah dengan menutupnya rapat-rapat dan mengunci baik-baik pintu tersebut. Ini sudah refleks, ia selalu melakukannya. Entah waktunya pagi, siang, sore, atau malam.

Ternyata kebiasaan ini, menurut nenek tua tidak perlu dilakukan. Menurut nenek, yang perlu diperlakukan seperti itu, adalah pintu menuju dapur. Nah, ini berkebalikan sekali dengan kebiasaan anak kostnya. Hampir dipastikan, setiap kali anak kost ini membuka pintu menuju dapur, ia tidak pernah menutup, apalagi menguncinya. Tentu saja ini menjadi masalah bagi si Nenek.

Ternyata si Nenek memiliki alasan tersendiri mengapa ia mewanti-wanti anak kostnya untuk rajin menutup pintu menuju dapur. Alasannya adalah, jika pintu ini tidak ditutup, maka tikus-tikus kecil yang imut dan nakal akan masuk dan mencuri persediaan makan milik Nenek.

Sementara pintu belakang bagian luar tidak perlu untuk dikunci rapat-rapat. Sebab sepanjang sepengetahuan nenek, meskipun pintu ini tidak dikunci atau ditutup tetap aman-aman saja.

Pikiran ini rupa-rupanya berkebalikan dengan anak kostnya. Menurutnya, aturannya yang ditutup rapat-rapat adalah pintu keluarnya. Dan yang tidak perlu ditutup rapat-rapat adalah pintu menuju dapur.

Anak kostnya ini punya alasan tersendiri. Jika pintu luar tidak dikunci, dikhawatirkan ada orang jahil alias maling yang masuk rumah dan mengambil barang-barang milik nenek. Sementara pintu menuju dapur tidak perlu ditutup, sebab sudah pasti aman dari orang-orang jahil alias maling.

Dalam pikiran si anak kost sudah tertanam “maling lebih berbahaya dari pada tikus.” Sementara di hati si nenek tua sudah tertanam dengan kuat pikiran, “tikus lebih berbahaya dari pada maling.” Ternyata si nenek tua ini lebih takut kepada tikus dari pada maling. Aksi tegur-menegur tentang tutup-menutup pintu pun terjadilah setiap hari.

Purwokerto, 21 Maret 2010

Tidak ada komentar: