By: Rosyidah Purwo
Sore hari itu, Jumat, 18 Desember 2009. Aku berjalan menyusuri sepanjang trotoar jalan Masjid, Purwokerto. Panas matahari sore itu sangat menyengat. Baju hitam yang saya kenakan basah oleh keringat.
Alun-alun Putwokerto dipadati oleh pasangan muda-mudi yang sekadar cari angin, atau sengaja mencari hiburan. Beberapa anak-anak kecil berlari-lari riang. Angin bertiup semilir. Mencegah lelah yang berkepanjangan.
Riuh-rendah bising suara kendaraan, mengurangi eloknya pemandangan alun-alun sore hari itu. Beberapa peluit tukang parkir, berbunyi menyetop beberapa kendaraan roda dua dan roda empat yang hendak parkir di pinggiran alun-alun. Aku berjalan cepat. Sore hari yang panas, membuatku ingin cepat-cepat sampai di kost-kostan.
Seorang bapak dengan tiga anak kecilnya. Berjalan santai di sepanjang trotoar jalan masjid. Satu anak laki-lakinya, barangkali yang terkecil, sebab jika dilihat dari bentuk tubuh dan wajahnya, rasa-rasanya ia adalah anak yang paling kecil, digendong tanpa menggunakan kain.
Anak laki-laki yang agak besar berjalan paling depan. Mendahului si bapak dan anaknya si bapak yang perempuan. Dengan mengenakan baju koko, dan pecis, anak laki-laki itu berjalan riang. Sejenak aku melihat ia memerhatikanku.
Gadis kecil itu menoleh kepadaku. Sesungging senyuman ia lempar kepadaku. Jika kamu melihatnya, sungguh bahagia rasanya menerima senyuman itu. Tulus….manis…bahagia…gembira… meskipun hanya beberapa detik saja.
‘Ah, cantik sekali gadis kecil itu,’ batinku. Aku tersenyum tipis. Jilbab ungunya terlampau besar untuk ukuran gadis sekecil itu.
‘Ah, kurang pas buat dia,’ protesku dalam hati.
‘Si bapak bagaimana si.’ Protesku lagi. Aku sedikit ketus. Ini aku berbicara pada diri sendiri.
Aku memerhatikan seksama pada si bapak. Jenggot panjangnya tidak cocok untuk ukuran tubuhnya. Kecil, kurus, hitam. Baju yang dikenakan juga tidak enak dipandang menurut saya.
Baju putihnya terlampau panjang, ujung celana panjangnya terlampau tinggi. Ah, pemandangan yang tidak perlu untuk dilihat.
Gadis kecil itu, berjalan riang meninggalkan bapaknya di belakang. Ia menoleh ke arahku. Senyuman itu ia lempar setulus-tulusnya. Gigi-gigi kecilnya terliat putih, bersih, dan indah.
Andaikan siapapun melihatnya, sungguh senang sekali rasanya. Namun, kebahagiannku sore itu, rupa-rupanya tidak diijinkan untuk berlama-lama. Beberapa detik setelah jarak antara saya dan gaadis kecil itu berdekatan, senyuman itu tiba-tiba hilang dan berupah menjadi wajah gadis kecil yang penuh derita dan sedih.
Aku kaget. ‘Why?’ Tanyaku. Sepanjang perjalanan setelah kejadian itu, aku lebih banyak menoleh ke belakang. Memerhatikan gadis kecil itu. Senyum tulus itu hilang dalam sekejap. Senyum bahagia itu hilang dalam beberapa langkah.
Adakah gadis kecil itu berpikir sesuatu tentangku? Adakah aku adalah seseorang yang tidak perlu mendpat senyuman itu? Adakah …adakah…tanya itu menggelayut di pikiran di sepanjang perjalanan menuju kost-kostan.
Gadis kecil…
Purwokerto, 181209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar