Minggu, 23 September 2007

Balajar Pada Embun

Cerpen : Narsiti Rosyidah

Udara pagi di kampung Silombe-lombe terasa sejuk dan segar. Embun pagi membasahi setiap tanaman yang tumbuh di kampung itu.
”Ahhh...segarnya aku di pagi hari ini,” kata Rumput, sambil menggerak-gerakkan tubuhnya, ”terima kasih Embun, kamu telah membuat tubuhku segar.”
Embun tersenyum bahagia mendengar pujian itu.
”Apa yang bisa Aku berikan untukmu, Embun?” Tanya Rumput pada Embun.
”Cukuplah kamu menjadi sandaran bagi keberadaanku, Rumput.”
”Oh, sungguh mulia sekali hatimu, Embun.”
”Sudah...sudah... kamu jangan memujiku terus.” Kata Embun malu-malu.
Pagi hari ini cuaca sepertinya cerah. Burung-burung berkicau indah, meramaikan kampung Silombe-lombe. Bunga-bunga bermekaran di kanan-kiri jalan. Manusia berlalu lalang untuk melakukan aktifitas mereka. Ada yang hendak pergi ke sawah, ke kebun, ke sungai untuk mencuci, ada juga yang sekadar duduk-duduk santai di tepi jalan untuk menikmati segarnya udara pagi.
Segerombolan domba putih dengan bulu-bulunya yang ikal, melewati padang rumput tempat Embun dan Rumput bercakap-cakap.
”Embun, lihatlah, sepertinya mereka bahagia sekali!” Kata Rumput.
”Ya, Aku juga ikut bahagia melihatnya.”
”Aku berharap, hari ini domba-domba itu tidak memakanku.” Kata Rumput cemas.
”Sepertinya kamu cemas sekali, Rumput. Biasanya kamu selalu siap sedia untuk menjadi makanan bagi mereka.” Tanya Embun heran.
”Entahlah, Embun, tiba-tiba saja hatiku menolak untuk dimakan oleh mereka. Aku juga takut kehilanganmu. Aku takut kehilangan sahabat baik sepertimu, Embun.”
Embun mengernyitkan kening. Udara pagi berhembus menyapa mereka.
”Hai... Embun, hai... Rumput. Aku datang lagi untuk kalian dan untuk semua yang ada di kampung ini?”
”Ya, terima kasih atas kebaikanmu. Aku tidak bisa membayangkan andaikan kamu tidak ada di kampung ini, Angin. Entah apa yang akan terjadi padaku, pada Rumput, dan pada mereka semua.” Kata Rumput.
”Kita semua saling mengisi dan melengkapi.” Kata Embun, lembut.
Matahari dari ufuk timur mulai menampakan sinarnya. Sinarnya yang keemasan menebar ke seluruh alam di kampung Silombe-lombe.
”Ini yang aku benci!” Kata Rumput kesal.
”Ada apa denganmu, Rumput?”
”Tidakkah kau tahu, Embun, dengan datangnya sang Matahari, menandakan pisahnya aku darimu. Sedangkan hari ini aku tidak mau berpisah denganmu.”
Embun tersenyum.
”Jangan begitu, Rumput. Begitulah daur hidup di alam ini. Ketahuilah, bila Aku tidak pergi saat Matahari datang, bisa jadi Kamu mati. Kamu belum ingin mati, bukan?”
”Ya.” Jawab Rumput, pendek.
”Aku saja tidak marah pada Matahari, walau Ia telah menjadikanku tiada. Masih ada hari esok untuk kita bertemu, Rumput.”
Seiring dengan panasnya sinar Matahari, satu persatu titik-titik Embun mulai meninggalkan Rumput. Rumput menangis, Angin juga bersedih.
”Angin, lihatlah tubuhku, sebentar lagi pasti layu. Tolong panggilkan Embun ke sini agar tubuhku tidak layu. Tolong katakan pada Matahari, agar Ia berhenti memancarkan sinarnya.”
Angin tidak menanggapi kata-kata Rumput. Ia berlalu begitu saja dari hadapan nya. Dari jauh Angin berkata, ”belajarlah pada Embun, Rumput. Ia tidak pernah marah pada Matahari, walau Matahari telah menjadikannya tiada!”
”Ya, aku tahu sekarang. Mengapa Engkau selalu bening dan jernih, Embun. Itu karena hatimu yang selalu baik.” Rumput berkata pada diri sendiri.
Itulah mengapa sampai saat ini Embun, muncul ke permukaan bumi dengan wujudnya yang selalu bening.

Tidak ada komentar: