Minggu, 23 September 2007

Lahan Subur

Oleh: Rosyidah Purwo

Suatu ketika, saat mudik liburan akhir semester, di Terminal Bus Purwokerto, terlihat seorang anak kecil, kurang lebih berumur tujuh tahun, merengek-rengek kepada ibunya.

“Ibu, belikan aku baju sekolah, buku, sepatu. Besok aku mau sekolah!” Rupa-rupanya sang anak meminta dibelikan tas sekolah, baju sekolah dan buku. Sebab dia akan masuk sekolah setelah libur semesteran.

Ini adalah sebuah permintaan yang sangat wajar dan lumrah bagi seorang anak kepada orang tuanya. Sayangnya permintaan tersebut tidak mendapat respon baik oleh ibunya. Alasannya adalah hal yang sangat klasik, tidak memiliki uang.

Barangkali sang anak merasa takut keinginannya tidak dipenuhi. Dengan enteng dan wajah tanpa dosa si anak kecil berkata, ”jadi babi ngepet saja seperti yang di TV, nanti ibu cepet kaya. Uangnya banyak.”

Melihat kasus di atas, rasa-rasanya kita perlu berpikir seribu kali, mengapa di dalam pikiran anak sekecil itu sudah terbesit pikiran semacam itu? Barangkali jika dijawab, itulah korban

Sinetron religi sedang menjamur dalam dunia pertelevisian Indonesia. Bak cendawan di musim hujan.

Menjamurnya sinetron religi ini merupakan nilai positif tersendiri bagi dunia persinetronan. Ini berarti industri persinetronan mengalami perkembangan.

Hampir di setiap chanel, ditemukan penayangan sinetron yang berbau religius. Sepertinya setiap stasiun televisi, swasta ataupun milik pemerintah, tidak pernah alpa untuk menayangkannya.

Munculnya sinetron religius ini, di satu sisi memiliki nilai positif. Karena dapat dijadikan sebagai media untuk menyadarkan kembali (keberadaan Tuhan) kepada masyarakat yang barangkali selama ini telah terlalu lama terlena dalam hingar-bingar kehidupan dunia.

Di sisi lain, sinetron ini meberikan dampak buruk. Kasus mistisisme dan kekerasan dalam sinetron teramat banyak. Ini bisa menjadi semacam media sosialisasi terselubung terhadap pelestarian mistisisasi dan tindak kekerasan.

Misalnya, karena terlalu sering melihat bagaimana para aktor atau aktris dalam sinetron religi, begitu mudahnya menyelesaiakn persoalan, dengan mendatangi dukun, atau didatangi dewa penolong, masalah selesai.

Atau, melihat bagaimana para aktor atau aktris yang memerankan tokoh teraniaya diperlakukan dengan kasar dan aniaya oleh pemeran yang lebih kuat. Konsumen (penonton) jadi ikut-ikutan meniru hal yang demikian.

Bagaimanapun hal-hal semacam itu harus segera diatasi. Jika tidak, bisa jadi akan memunculkan berbagai dampak negatif. Sedikit atau banyak, konsumen atau pemirsa akan menyerap pesan-pesan yang disampaiakan melalui sinetron. Baik itu hal yang baik atau buruk.

Melihat hal semacam itu, sinetron religi seolah-olah menjadi semacam lahan subur terhadap penanaman nilai-nilai mistis dan kekrasan dalam masyarakat.

Tidak ada komentar: