Minggu, 23 September 2007

Kisah Sejati

Takut Bertanya, Kencing di Kelas

Peristiwa ini terjadi saat aku masih duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Saat itu aku sedang menerima pelajaran matematika dari guru kelasku bernama pak Sugeng.

Bagiku, pak Sugeng itu seorang guru yang menyeramkan dan galak. Karena setiap kali menyuruh muridnya untuk maju ke depan, ia tidak akan pernah lupa untuk memukulkan tuding (sebuah benda kecil panjang dan halus terbuat dari bambu atau kayu yang berfungsi untuk menunjuk huruf-huruf di papan tulis).

Ia juga selalu memasang muka yang menyeramkan dan galak. Suaranya juga keras. Ini yang membuat aku selalu takut untuk bertanya atau melakukan hal lain di depan pak Sugeng. Hal seperti ini tidak hanya dialami olehku saja, beberapa teman-teman sekelasku juga merasakan hal serupa.

Suatu ketika, saat aku sedang menerima pelajaran dari beliau, tiba-tipa aku ingin sekali buang air kecil. Merasakan hal ini, aku berniat untuk meminta ijin kepada pak Sugeng yang sedang mengajar. Akan tetapi melihat mimik mukanya, aku mengurungkan niat untuk meminta ijin. Aku takut untuk sekadar menanyakan “Pak, bolehkah aku ke kamar kecil sebentar?”

Untuk itu aku memilih untuk menunggu sampai pelajaran selesai. Selama empat puluh menit aku menunggu. Rupa-rupanya kandung kemihku tidak kuat untuk menahan air kencing selama itu. Al-hasil, saat jam istirahat mulai, aku kencing di kelas. Praktis semua teman-teman menertawakanku. Bau pesing memenuhi ruang kelasku. Ini terjadi tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Setiap kali ada materi dari pak Sugeng, selalu saja aku kencing di kelas. Aku jadi malu sekali.

Untuk pak Sugeng aku minta maaf, jika selama satu tahun aku selalu membuat Bapak jengkel. Bukan atas kemauanku, Pak. Untuk semua guru-guru di almamater SD-ku, jangan pasang muka serem dong, kasihan anak didiknya. Jadi takut.



Tanpa Suami, Bukan Berarti Mati
Oleh: Rosyidah Purwo

Hidup menjada bukanlah hal yang menyenangkan. Batin selalu merasa tidak tenang, di mata maysarakat menjadi bahan omongan. Apalagi jika menjadi janda tanpa memiliki bekal (baca: uang) yang banyak, atau pekerjaan yang layak, sudah pasti hidup akan semakin suram. Belum lagi ketika memiliki tanggungan anak-anak. Dapat dibayangkan bagaimana rasanya.

Banyak sekali perempuan-perempuan yang hidup menjanda. Masing-masing memiliki jalan hidup sendiri-sendiri. Ada yang—karena merasa tidak sanggup menafkahi dirinya atau anak-anaknya—mereka menerjunkan diri pada kehidupan yang tidak baik. Menjadi pelacur, mengemis, mencuri dan lain-lainnya. Ada pula yang putus asa sehingga mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Naudzubillahimindzalik.

Menjada bukanlah sebuah pilihan, bukan pula sebuah kesempatan, tapi nasib. Sarlem, nama permepuan itu. Ia adalah ibu kandungku. Sejak 1993 ibuku dicerai oleh bapak. Tiga orang anak hasil dari perkawinan mereka, tinggal bersamanya. Aku dan dua adik perempuanku. Lima belas tahun sudah ibuku menjalani profesinya sebagi single parent (baca: janda).

Tidak ada komentar: