Minggu, 23 September 2007

Lebaran

Oleh: Rosyidah purwo

Setelah melalui diskusi yang panjang lebar melalui telepon, perempuan itu akhirnya mendatangi rumahnya.
“Sepuluh juta untuk satu kali main. Dengan durasi waktu satu malam. Bagaimana?” Kata perempuan itu.
Laki-laki itu tampak ragu sesaat.
“Baiklah.” Jawabnya.
Laki-laki dan perempuan itu kemudian menandatangani kontrak kerja satu malam itu.
“Surat perjanjian sudah kita tanda-tangani. Jika sewaktu-waktu ada pelanggaran, baik dari dirimu ataupun diriku, hukum akan bicara.” Kata perempuan itu tegas dan mantap.
“Ok, it’s no problem.” Jawab laki-laki itu tenang dan meyakinkan.
* * *
“Lebaran ini kamu harus pulang.”
“Aku akan pulang jika mama memberi uang.” Jawab Siti dengan nada bicara lemah dan bingung.
Ia bingung karena tidak ada jatah uang untuk pulang. Sementara ia menginginkan sekali bertemu dengan mamanya setelah sembilan tahun terpisah.
Menjual buku-buku bekas miliknya, jelas tidak mmungkin. Ia terlalu menyayangi buku-buku itu.
Bekerjapun tidak mungkin, ia tidak meiliki skill apapun. Selain kepandaian membaca kitab kuning, berbahasa Arab dan Inggris.
Memberikan les private, juga tidak mungkin. Siti tidak pernah percaya diri.
* * *
“Ti, kamu mau pulang kapan. Ini sudah Ramadhan keduapuluh lho.”
“Ndak, tahu Is. Aku belum punya budget. Besok aku mau nyari.”
“Di mana? Kamu kan belum punya kerja.”
“Eit, ingat. Allah maha luas rizki-Nya. Min haitsu la yahtasib. Ingat itu.” Jawbnya mantap.
“Iya sih, tapi kan kamu….tidak kerja.”
“Aku besok akan ke Simpang Lima. Cari kasab di sana.” Hari ini Siti bicara penuh gairah dan semangat. “Jangan bilang sama teman yang lainnya ya?”
Siti meminta Iis, teman satu kamarnya, untuk merahasiakan rencananya pergi ke Simpang Lima. Sebab jika diketahui oleh santri lain atau pengurus, atau abah Kiai, Siti bisa dimarahai habis-habisan.
Siti memang sosok perempuan unik. Ia adalah santri tulen. Ia paham betul dengan ilmu nahwu, shorof, bahasa arab, fikih, dan kitab kuning lainnya. Bacaan qurannya juga luar biasa fasih.
Meskipun begitu, ia tidak menutup diri dengan kehidupan kota yang penuh hangar bingar dan keramaian. Kebanyakan santri tulen, akan menutup diri dengan dunia semacam ini.
Banyak yang menganggap kehidupan di luar dirinya adalah haram dan tidak boleh. Menyesatkan dan memabawa pada kemalangan.
Tapi tidak bagi Siti. Setiap Sabtu, minggu kedua dan keempat, ia selalu mengunjungi kawasan Simpang Lima. Kawasan yang menurut kebanyakan teman-teman Siti di pesantren sebagai daerah larangan.
“Ini adalah pulau kecil di tengah daratan.” Menurutnya.
Pesantren dan bangku kuliah memang telah memberinya arti kehidupan. Ia mampu menatap dunia. Namun pesantren dan kampus belum cukup menjadikan dirinya sebagai manusia utuh.
Pesantren dan kampus belum mampu menjadikan dirinya sebagai manusia yang mampu menghadapi kerasnya persaingan hidup. Untuk itu ia memilih Simpang Lima sebagai “basecamp” pencarian hidupnya yang keempat setelah rumah, pesantren, dan kampus.
* * *
“Dasar anak bodoh tetap saja bodoh. Tidak mungkin bisa berubah. Sini mama yang kerjakan!”
Anak kecil itu menangis sesenggukan di sudut kamarnya. Perkataan dari mama, yang menurutnya terlamapu kasar, telah membuat hatinya tercabik-cabik.
“Mama jahat! Mama kejam! Mama tidak berperasaan!” Itulah kata-kata yang selalu muncul namun tak pernah terungkapkan oleh bibir mungilnya.
Hanya disimpan saja dalam hati, sambil menangis dan meratap.
“Mama tidak percaya dengan kamu. Jadi jangan sekali-kali kamu melakukan pekerjaan apapun sebelum mama ijinkan.”
Setiap kali ia hendak melakukan apapun, perempuan yang menganggap diri sebagai mama, selalu saja melarang dan memarahinya. Akibatnya, gadis kecil itu tumbuh menjadi gadis penakut dan tidak memiliki rasa percaya diri.
Pada dasarnya, gadis itu adalah anak yang aktif dan memiliki semangat hidup tinggi. Namun, menurut mama, keaktifannya ini justru menjadi sumber masalah.
Jika ia terlalu aktif, penyakit asmanya akan kambuh. Setelah itu mama harus menjaga dan merawatnya seharian penuh. Ini sama artinya, mama harus membolos kerja. Membolos kerja berarti mengurangi pemasukan.
Makanya, untuk mengurangi keaktifan itu, mama selalu memberikan tekanan-tekanan berupa larangan ini dan itu.
Memang, sebagai single parent, tentulah sangat berat menjalani hidup dengan seorang anak yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang penuh.
Sementara di luar, ia masih dibebani dengan tanggung jawab mencari nafkah untuk menghidupi diri dan anaknya.
Atas saran dari seorang teman, perempuan itu menitipkan gadis kecilnya ke sebuah pesantren. Dengan alasan, agar gadis kecilnya kelak menjadi gadis tangguh. Mandiri dan berbudi pekerti.
Saat menginjak bangku SMP, Siti dimasukkan ke pesantren. Setelah sekan tahun menyerap ilmu dari sana, ia menjadi tahu dan paham tentang arti kehidupan.
Tentang kasih sayang dan damai, tolong menolong, saling menghargai dan menghormati.
Ia tumbuh menjadi gadis dewasa yang tahu mengenai perempuan yang ia panggil mama, sayangnya ia tidak paham siapa perempuan itu.
Baginya, mama tidak lebih dari sekadar perempuan yang memberi uang. Lainnya tidak. Kasih sayang, tidak. Perhatian, tidak juga menurutnya.
Bisa dipahami, mengapa ia memiliki anggapan demikian. Sejak kelas 1 SMP sampai hampir selesai kuliah, Siti jarang sekali bertemu, apalagi berinteraksi dengan mama. Hanya sekali dua kali saja. Itupun melalui HP.
* * *
Aku harus memiliki uang dalam waktu 10 hari. Setidaknya, tujuh hari menjelang pulang, dua ratus ribu sudah aku pegang, agar aku bisa pulang.
Lebaran kali ini aku harus bertemu dengan mama. Tidak boleh tidak. Jadi Apapun caranya, aku harus mendapatkan uang.
Bekerja, seperti orang-orang di Simpang Lima sana, tidak mungkin. Aku tidak memiliki skill apapun. Kampus dan pesantrenku tidak pernah mengajariku demikian.
“Is, besok pagi aku mau main. Mugkin pulangnya malam.”
* * *
Sabtu Pagi di Simpang Lima. Siti berkeliling mengitari Citra Land. Naik turun lantai satu sampai empat. Berulang-ulang. Sampai ia merasa lelah. Tanpa ada satu jenis barangpun yang dibeli.
Siang hari menjelng Dzuhur. Pergi ke Baiturrahman untuk menunaikan sholat.
Pukul Satu siang. Ke Gramedia, membaca buku gratis.
Pukul 17.00 wib. Menunaikan sholat ashar di Baiturrahman sambil menunggu mahgrib. Mencuri air di keran wudlu milik masjid untuk membatalkan puasa.
Ba’da maghrib. Makan nasi kucing, es teh, dan krupuk. Lalu berkeliling di Lapangan Simpang Lima. Mengamati dan mencari kehidupan.
Duk! Siti menabrak seorang laki-laki itu. Lalu ia terjungkal di tengah lapangan.
“Maaf, Pak. Saya tidak sengaja. Mari saya Bantu berdiri.”
“Tidak usah. Saya bisa berdiri sendiri.” Kata laki-laki itu dingin.
Beberapa saat laki-laki itu menatap Siti dengan tajam. Kemudian memperkenalkan diri.
“Alan.”
“Mmm….S-iiii-ti.”
Laki-laki bernama Alan itu hampir saja tertawa mendengar nama Siti disebut.
“Nama yang amat buruk. Kuno, tapiiii...berfolisofi tinggi.”
“Permisi, Pak.” Tergesa Siti mohon diri dari laki-laki itu. Ia merasa telah dibuat malu oleh laki-laki itu.
“Mbak! Mmmaaaf…jika saya menyinggung perasaan kamu!”
“Mbak!” Ia mengejar Siti yang berjalan sangat cepat sekali.
Laki-laki itu memberi sebuah kartu nama. Lengkap dengan alamt rumah, nomor HP, alamat kantor dan nomor telepon kantor.
“Hubungi saya kalau ada perlu apa-apa. Selamat malam.”
* * *
“Aku harus pulang. Mama sudah menunggu di rumah. Aku kira pekerjaanku sudah selesai semua. Itu artinya kamu harus membayarku penuh sesuai dengan surat perjanjian.”
“Ok. It’s no problem. Jangan takut, aku akan memenuhi janjiku.”
Dengan tubuh masih telanjang, laki-laki itu mengambil cek yang sudah diisi uang sesuai dalam perjanjian. Lengkap dengan bubuhan tanda tangannya.
Sementara perempuan itu dengan giat dan penuh semangat berbenah diri. Pikirannya sudah dipenuhi dengan bayangan rumah dan mama.
Laki-laki itu duduk terpekur di tepi ranjang. Ia menjadi sendiri dan merasa sendiri. Ia tidak menyadari kehadiran cairan bening yang keluar dari ke dua kelopak matanya. Ia menangis.
Dengan bergegas laki-laki itu menyambar tangan perempuan itu.
“Sayang, jangan pergi. Tetaplah di sini untuk menjadi kekasihku, untuk menjadi istrku. Aku mencintaimu. Aku akan menikahimu.”
Ia memeluk erat perempuan itu.
“Tolonglah. Jangan pergi…” Laki-laki itu berkata penuh harap.
“Biarkan aku pergi. Ini tidak ada dalam kontrak kerja kita.”
Ia melayangkan ciuman hangat pada laki-laki itu.
“Terimakasih kartu namanya. Selamat pagi.”
Mentari pagi menyibak wajahnya. Memberikan kehangatan nyata. Mengiringi langkah yang penuh seribu harap.
Mama, Siti pulang! Akhirnya Siti bisa pulang! Mama, kita akan lebaran bersama!
Semarang, 22090700.22

Tidak ada komentar: