Minggu, 23 September 2007

Jadah vs Jadah

Cerpen: Rosyidah Purwo

Semarang, 25 April 1981.
“Anya, akhirnya kita dapat melahirkan dengan selamat. Walaupuan anak ini tidak memiliki ayah, aku yakin mereka akan jadi orang hebat.”
“Aku tidak yakin, Put. Sebab aku tidak memiliki keluarga yang dapat melindunginya. Sementara kamu, ada bapak yang siap menjadi tameng kapan dan di mana saja. Sedang aku…”
Begitulah obrolan sepasang ibu muda di rumah sakit dokter Kariadi, Semarang.
* * *
Jakarta, 25 Agustus 2006
Di kampus Biru, Yahya sedang asyik mengikuti materi kuliah reproduksi. Berdasarkan teori yang berlaku, setiap makhluk hidup yang pernah ada di dunia, mengalami perkembangbiakan. Ada yang dengan cara membelah diri, ada pula yang berkembang biak dengan cara steak, akar rimpang, dan lain-lain.
Yang paling banyak dialami makhluk hidup di dunia adalah berkembang biak dengan cara pembuahan atau melalui proses perkawinan.
Di sana ada manusia, ada binatang, dan beberapa jenis tumbuhan. Semua ini berkembang biak dengan melalui perkawinan. Tanpa adanya perkawinan dan pembuahan, imposible makhluk-makhluk ini dapat berkembang biak.
Sebagai penganut paham rasionalis sejati, Yahya sangat setuju dengan teori ini. Ia kelihatan sangat tertarik dan menikmati sekali materi perkuliahannya.
Sementara di luar sana, di balik gerbong kereta, diantara rumah-rumah kardus, telah menunggu seorang gadis cantik dengan pakaian usang dan jilbab hitamnya. Ia sedang menunggu Yahya untuk melakukan diskusi bersama. Kegiatan rutin yang sudah berjalan hampir dua bulan.
Penampilannya menunjukkan bahwa gadis itu adalah anak-anak kolong jembatan. Sejumlah buku-buku menumpuk di atas kardus yang dijadikan alas duduk. Sayu, nama gadis itu.
“Halo. Sudah lama menunggu?”
“Lumayan.”
“Bagaimana dengan diskusi kita kali ini, sudah siapkah?”
“Yap.” Jawab Sayu sambil menunjuk sejumlah buku-buku yang dari tadi dibiarkan menumpuk di sebelahnya.
“Bagaimana kalau kita pindah tempat.” Ajak Yahya sambil melangkah ke tempat di mana ia memarkirkan mobilnya.
“Ok. Tidak masalah.”
Mobil melaju menuju ke sebuah taman indah di sebuah bilangan di Jakarta. Sayu belum pernah melihatnya.
Sayu adalah satu-satunya teman Yahya yang paling unik. Ia adalah anak kolong jembatan. Yahya sengaja menjadikannya sebagai teman. Itulah dunia, penuh dengan hal-hal unik. Di saat semua orang menyingkirkan anak-anak kolong jembatan. Yahya justru memilih untuk berteman.
Hari ini adalah giliran Sayu untuk menentukan tema diskusi. Sebagai seorang teman, Sayu ingin menjadikan teman diskusinya senang. Sayu tahu kalau Yahya sangat menyukai masalah reproduksi. Untuk itu, ia membuat tema diskusi mengenai reproduksi.
“Aku tahu kamu menyukai masalah reproduksi. Untuk itu, kita akan mendiskusikannya.”
“Nah, gadis pintar.”
“Ngomong-ngomong masalah reproduksi, apakah kamu percaya adanya anak ajaib?” Sayu membuka diskusi.
“Maksudnya?”
“Anak yang dilahirkan tanpa melalui proses pembuahan.”
Tentu saja Yahya tidak percaya dengan hal itu. Sebagai penganut paham rasionalis sejati, Yahya menolaknya mentah-mentah.
“Apa alasan kamu menolaknya?”
“Jelas aku menolaknya. Mana ada manusia lahir tanpa melalui proses pembuahan. Di jaman sekarang, tidak mungkin ada, Say,” Yahya berhenti sebentar untuk membetulkan duduknya, “barangkali kalau yang kamu bicarakan adalah Mariam, ibunya nabi Isa, aku percaya. Sebab cerita mereka ada di dalam Quran. Aku percaya Quran.”
Sayu menggelengkan kepala.
“Bukan Mariam maksud kamu?”
“Ya, yang aku maksud adalah bayi ajaib jaman sekarang.”
“No, no, no. Tidak ada sejarahnya aku percaya yang gitu-gituan. Ndak ilmiah, tahu nggak.”
“Kalau aku percaya.”
Yahya tersedak oleh ludahnya sendiri.
“Apa! Kamu percaya?” Matanya melotot karena heran, “alasanmu apa?”
“Di kampung halamanku ada.” Jawabnya enteng.
“What...?”
* * *
Dua puluh lima tahun yang lalu. Sesorang yang di desa Sayu akrab dipanggil Simbah, memiliki seseorang cucu laki-laki. Anak perempuan Simbah yang bernama Puput, melahirkan. Menurut Simbah, anak itu adalah anak ajaib. Sebab proses kelahirannya sangat aneh, usia di dalam kandungan hanya dua bulan. Satu hal lagi, Puput belum pernah bersebadan dengan laki-laki.
Orang-orang kampung memanggilnya Gus. Sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Sayu tidak begitu setuju dengan panggilan itu. Menurut Sayu, orang yang dipanggil Gus biasanya adalah anak-anaknya kiai atau ulama besar. Sedangkan anak itu, tidak tahu anaknya siapa.
Suatu ketika ibu Sayu, membantah di depan sahabat dekatnya Simbah, saat mereka hendak sowan.(1)
“Simbah punya cucu ajaib.”
“Apa maksudnya?”
“Moso, Jeng ora ngerti. (2) Kabar ini sudah lama lho.”
“Bagaimana ceritanya?”
“Tidak bisa diakal memang. Tapi memang begitulah. Mbak Puput dua minggu yang lalu memiliki anak. Ia belum pernah bersebadan dengan laki-laki tapi bisa hamil. Terus itu lho, Jeng, hebatnya usia kandungannya hanya dua bulan.” Tamu itu bercerita penuh semangat.
“Moso! Aku ndak percaya.”
“Hati-hati lho, Jeng, sikapmu bisa membawa petaka.”
Memang pengaruh Simbah luar biasa hebatnya. Terbukti, semua orang percaya dengan ceritanya, mengenai keberadaan cucunya. Termasuk tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat. Kecuali ibu Sayu.
Kelebihannya yang dapat mengetahui hal-hal gaib, dapat menebak dengan pasti mengenai hal-hal buruk dan baiknya seseorang. Mengetahui datangnya malaikat Jibril, dan lailatul qodar, membuat banyak orang kepencut(3) untuk menjadi anak buah atau muridnya.
Ini tebukti dengan berdirinya jamaah al-Oldri yang pesertanya hampir sebagian besar adalah orang-orang yang pernah menjadi pasiennya, alias meminta tolong untuk diramalkan mengenai nasib hidupnya. Pesertanya pun tak tanggung-tanggung. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang kaya dan berpengaruh di masyarakat.
Bagi Sayu, keberadaan Simbah tak lebih dari seorang dukun. Menurutnya apa yang dapat dilakukan olehnya adalah hal-hal mustahil yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh manusia. Kecuali manusia itu menjadi budak jin atau setan. Sedikit banyak Sayu pernah mengaji pada seorang ustadz mengenai masalah-masalah gaib tersebut.
“Selain nabi, manusia, siapapun dia, sehebat apapun dirinya, mereka tidak akan pernah bisa mengetahui keberadaan malaikat, datangnya lailatul qodar, meramal masa depan dan lain-lainnya terkait dengan hal-hal gaib. Kecuali ia mendapat bisikan dari setan.”
* * *
“Ya, aku mau tanya nih.”
“Bagaimana kalau kamu yang menjadi cucunya Simbah itu?” Lama sayu tidak mendengar jawaban. Ia memperhatikan Yahya yang kamitenggengen.(4)
Tentu saja Yahya begitu, sebab cerita Sayu mirip sekali dengan cerita masa lalunya. Yahya merasa tidak nyaman hidup di lingkungan tanah kelahirannya, Semarang. Di satu pihak Yahya diagung-agungkan, di sisi lain Yahya tersisih.
Jika ia bersama dengan jamaah al-Oldri, siapapun memuji dan mengelu-elukan dirinya. Siapapun ingin memuliakannya, menghormati dan berunggah-ungguh padanya. Namun ketika bersama teman-teman sekolahnya, ia sama saja dengan mereka. Bahkan lebih buruk, sebab Yahya tak lebih dari seorang anak jadah yang tidak memiliki ayah.
Di sekolah ia stres karena menjadi bulan-bulanan teman-temannya. Predikat anak jadah atau anak haram melekat di buku raportnya. Beruntung Yahya memiliki seorang kakek yang dapat melindunginya. Sehingga Yahya masih dapat berani menghadapi teman-teman dan orang kebanyakan.
Yahya masih memiliki orang yang mau menghormati dirinya. Bahkan mengelu-elukan bagai manusia agung. Akan tetapi kehidupan ini bukanlah jamaah al-Odri, yang mau menerima keadaan Yahya dengan titel anak ajaibnya. Tidak semua orang mau menerima Yahya. Orang kebanyakan menganggap Yahya adalah anak jadah yang dilahirkan dari seorang perempuan tidak bersuami.
Sebagai manusia yang berhati nurani dan berakal, Yahya tidak mau terus-terusan hidup dalam lindungan kakeknya. Sebab tidak selamanya kakek hidup di dunia.
Tidak selamanya pula kakeknya dapat melindungi dirinya dengan doktrin-doktrinnya. Tidak selamanya pula jammah al-Oldri mengelu-elukan dan memujinya. Suatu saat, semua itu akan hancur, dan Yahya barangkali akan ikut hancur. Untuk itu ia lebih menerima dirinya sebagai anak jadah, seperti orang kebanyakan menyebutnya.
“Say, kalau boleh tahu, siapa nama anak itu.”
“Menurut cerita ibuku, namannya Yahya Muhaimin. Tapi orang-orang biasa memenggilnya Gus Aya.”
“Apakah ibumu bernama Anya?”
“Kok tahu.” Jawab Sayu heran.
Jelas saja Yahya tahu, sebab ibu Sayu dengan ibu Yahya dulunya adalah teman dekat. Karena sama-sama mengalami kecelakaan, hamil di luar nikah, mereka berpisah. Hingga nasib mempertemukan anak-anak mereka hari ini.
Ah..., ternyata kau dan aku sama-sama anak jadah. Hanya saja nasibku jauh lebih beruntung darimu, Say. Yahya membatin.


NB:
1. Berkunjung
2. Masa, Nona tidak tahu.
3. Tertarik
4. Terheran-heran

Semarang, 12 April 2007

Tidak ada komentar: