Minggu, 23 September 2007

Poligami= Penindasan Kaum Perempuan?

Oleh:Rosyidah Purwo

”…nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi (sebanyak) dua, tiga, atau empat. Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka nikahilah satu orang (perempuan) saja…”[QS. 4:3].
Kalimat tersebut merupakan kutipan ayat Al-quran yang sering menjadi sumber rujukan poligami.

Akhir-akhir ini, semenjak muncul “kasus” poligaminya AA Gym, masalah poligami menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat.

Komentarpun bermunculan seiring dengan berkembangnya masalah tersebut. Banyak yang mengatakan poligami itu sah dan boleh-boleh saja karena agama membolehkan, ada pula yang mengatakan poligami dilarang karena menindas kaum perempuan.

Pada dasarnya poligami diperbolehkan baik dalam agama ataupun budaya tertentu. Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis, karena dianggap sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita

Dalam agama-agama yang ada di dunia, poligami menjadi sebuah ikhtilaf / perdebatan. Agama Hindu tidak melarang maupun menyarankan poligami. Yudaisme, walaupun kitab-kitab kuno agama Yahudi menandakan bahwa poligami diizinkan, berbagai kalangan Yahudi kini melarang poligami.

Agama Kristen, menentang praktek poligami. Gereja-gereja Kristen umumnya (Protestan, Katolik, Ortodoks, dan lain-lain) menentang praktek poligami. Namun beberapa gereja memperbolehkan poligami berdasarkan kitab-kitab kuno agama Yahudi.Gereja Katolik merevisi pandangannya sejak masa Paus Leo XIII pada tahun 1866 yakni dengan melarang poligami yang berlaku hingga sekarang.

Agama Islam memperbolehkan seorang laki-laki menikahi lebih dari satu sampai empat orang wanita dengan persyaratan laki-laki tersebut harus mampu berbuat adil kepada wanita-wanita yang dinikahi.

QS An-Nisa, 4:2-3 Satu-satunya ayat yang berbicara tentang menikahi lebih dari satu wanita sebenarnya lebih meletakkan pernikahan lebih dari satu wanita pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan (ketiganya ulama terkemuka Al Azhar Mesir) lebih memilih memperketat penafsirannya. Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.

Dengan dasar pemikiran bahwa poligami berbeda dengan hukum pernikahan lebih dari satu wanita yang diperbolehkan dalam Islam, di mana poligami hanya didasarkan pada perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu wanita, namun hukum pernikahan lebih dari satu sampai empat wanita yang ada pada Islam hanya akan terjadi bila pernikahan ini sah hukumnya beserta syarat-syarat dan rukun-rukunnya.

Lebih jauh, Syekh Muhammad Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar, namun menikahi wanita lebih dari satu hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar,4/287).

Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami.

Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus. (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049).
Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.

Poligami Nabi Muhammad SAW
Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Nabi lebih lama bermonogami dari pada beristeri lebih dari satu wanita.

Saat itu monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap beristeri lebih dari satu wanita adalah lumrah. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau.
Sunah beristeri lebih dari wanita, seperti yang didefinisikan Imam Syafi’i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus pernikahan lebih dari satu wanita yang dilakukan Nabi SAW, sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim.

Menurut kitab Jami’ al-Ushul karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), ditemukan bukti bahwa kehidupan rumah tangga Nabi SAW dengan beristeri lebih dari satu wanita adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.

Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakar RA.

Dalam kitab Ibn al-Atsir, sikap beristeri lebih dari satu wanita yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (merujuk pada Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme beristeri lebih dari satu wanita yang diterapkan Nabi adalah strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Sebaliknya, Nabi membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam beristeri lebih dari satu wanita.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Teks-teks hadis beristeri lebih dari satu wanita sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Teks hadis riwayat para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah binti Muhammad SAW, akan dimadu oleh Ali bin Abi Thalib.

“Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Sudah jelas bahwa poligami pada dasarnya diperbolehkan jika ada sebab-sebab ternentu yang benar-benar darurat. Jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.

Pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).

Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami.