Minggu, 23 September 2007

Orasi Untuk Pertama Kali

Oleh: Rosyidah Purwo

Sesutu yang tidak pernah terbayangkan olehku adalah berbicara di depan massa yang banyak. Terlebih ketika harus melakukan orasi, mengajak dan memengaruhi orang banyak agar mereka tertarik dan memiliki niat untuk melakukan apa yang menjadi keinginan dan tujuan kita.

Suatu ketika, menjelang dilaksanakannya PILKADES di desa di mana aku tinggal, Banjarsari Wetan, dilaksanakan sebuah kampanye calon kepala desa. Tepatnya tanggal 24 Juni 2007. Waktu itu, jadwal kampanye adalah untuk calon kepala desa dengan lambang ketela dan padi.

Iseng-iseng, sebagai seorang yang bermimpi menjadi penulis lepas yang produktif, aku berniat untuk mengikuti kampanye tersebut. Tujuannya adalah untuk mengamati bagaimana kampanye calon kepala desa dilaksanakan. Barangkali dengan begitu muncul ide yang dapat dijadikan sebagai bahan tulisan.

Ini juga adalah kali pertamanya aku melihat dan mengetahui dengan jelas bagaimana situasi atau kondisi politik terkait dengan pemilihan kepala desa di desa di mana aku tinggal. Sebelumnya aku tidak pernah melihat, dan mengetahui secara jelas (sejak berumur 15 tahun sampai umur 23 tahun aku merantau ke luar daerah untuk belajar).

Di pagi hari menjelang dilaksanakan kampanye, tepatnya pukul 08.00 wib, aku berkunjung ke rumah salah satu calon kepala desa terkuat. Dengan membawa tape recorder, pen, dan blok note (perlengkapan yang selalu dibawa setiap bepergian).

Sampai di sana pukul 08.10 wib. Yah kebetulan jarak rumahku berdekatan.

Kampanye yang awalnya direncanakan start pukul 08.00 wib, diundur menjadi pukul 08.45 wib. Karena para simpatisan dari calon kepala desa dengan lambang ketela, belum selesai melakukan persiapan-persiapan untuk berkampanye.

Di sini berarti ada jeda waktu menunggu yang bisa dibilang lama. Untuk mengisi kekosongan waktu, aku merekam semua kegiatan yang berlangsung.

Di depanku, seorang laki-laki, salah satu dari simpatisan calon kepala desa dengan lambang ketela, tiba-tiba berkata demikian, “Bu, mbak ini dijadikan jurkam saja. Mewakili suara perempuan.” Kata-kata ini ditujukan kepada istri dari calon kepala desa yang ia dukung.

Ternyata kata-katanya mendapat sambutan hangat. Istri calon kepala desa itu berkata, ”ya, ndak papa. Itung-itung mempraktekan ilmu yang sudah didapat.” Untuk itu, ia menunjukku untuk menjadi jurukam (juru kampanye) mewakili suara perempuan. Tentu saja aku sangat terkejut dan bingung.
Terkejut, karena penunjukkan ini terlalu mendadak. Tidak ada persiapan sama sekali. Bingung, karena aku berada dalam dua pilihan. Menolak atau menerima.

Jika menolak, mau ditaruh di mana harga diriku. Mengingat aku adalah seorang mahasiswa. Di desa, biasanya seorang mahasiswa dianggap sebagai orang yang serba bisa. Sebagai orang yang dituntut mampu melakukan segala sesuatu. Apalah jadinya jika aku menolaknya.

Jika menerima, bagaimana aku melakukan kampanye atau orasi? Mengingat aku tidak pernah berorasi di depan massa yang sangat banyak.

Setelah melalui proses pemikiran yang cukup lama, dan meminta pertimbangan dari beberapa teman-teman, saudara, dan orang-orang kepercayaanku, akhirnya aku menerima tawaran tersebut.

Kampanye mulai berjalan. Satu, dua jurkam mulai melakukan orasinya. Dan akhirnya..... tibalah giliranku untuk berorasi.

Detik-detik menjelang orasi, muncul perasaan takut, was-was, gugup dan cemas. Jantung berdegup sangat kencang. Keringat dingin keluar, muka merah. Barangkali jika keadaanku saat itu dishow terlihat menggelikan.

Akhirnya aku melakukan orasi juga. Tak disangka ternyata aku bisa melakukannya. Memang bahasanya masih belepotan. Yah, inilah orasi pertama kaliku.

Tidak ada komentar: