Minggu, 23 September 2007

Kekerasan Pada Perempuan dalam Poligami

Oleh: Rosyidah Purwo

Akhir-akhir ini marak pemberitaan seputar pemberian anugrah “Poligami Award” terhadap para suami yang dinilai “sukses” berpoligami. Wacana yang dikembangkan adalah adanya dikotomi poligami yang baik dan benar atau sesuai dengan 'ajaran' Islam dan sebaliknya poligami yang tidak baik atau tidak murni sesuai syariat.

Wacana ini disatu sisi hanya mengekspos bagaimana poligami dilakukan oleh mereka yang berpoligami, tanpa sama sekali mempertimbangkan perspektif perempuan sebagai korban poligami.

Disisi lain dikotomisasi baik-buruk, benar-salah dalam berpoligami mengaburkan masalah mendasar dari institusi poligami itu sendiri sebagai praktek diskriminasi dan kekerasan terhadap salah satu kelompok atas dasar perbedaan jenis kelaminnya.

Pada dasarnya poligami diperbolehkan baik dalam agama ataupun budaya tertentu. Beberapa agama membenarkan dilakukannya poligami. Hal itu dikuatkan pula dengan ketentuan yang kemudian dijadikan dasar pembenaran (legitimasi) bagi laki-laki untuk melakukan poligami dan bahkan dijadikan penguatan bagi perempuan untuk menerima suaminya berpoligami.

Ketentuan tersebut adalah UU No. 7 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 3 ayat 2 yang menyatakan: Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Artinya seorang suami boleh memiliki istri lebih dari seorang.

Namun bukan berarti poligami diperbolehkan untuk semua orang, dalam artian yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melakukan poligami. Akan tetapi ketentuan ini telah banyak disalah gunakan bagi kaum laki-laki.

Alasan yang digunakan lebih banyak pada masalah yang tidak prinsipil. Menyelamatkan perempuan dari kemaksiatan, alasan memperoleh pahala dari tuhan dan yang lainnya.
Jika demikian, maka poligami akan lebih banyak menindas dan menganiaya kaum perempuan. Padahal Nabi Muhammad SAW saja sangat selektif dalam melakukan poligami. Artinya, ketika Nabi akan berpoligami, maka dirinya melihat dulu bagaimana kondisi permpuannya. Ia seorang yang teraniaya, rendah derajatnya, janda mati, yatim piatu atau justru sebaliknya.

Mekanisme beristeri lebih dari satu wanita yang diterapkan Nabi adalah strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Pada kasus pernikahan lebih dari satu wanita yang dilakukan Nabi SAW, sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Namun menikahi wanita lebih dari satu hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman.

Dalam Pasal 3, 4 dan 5 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pada pokoknya menyebutkan bahwa seorang suami boleh beristri lebih dengan izin Pengadilan. Izin ini dikeluarkan bila istri yang bersangkutan sakit dan tidak dapat melayani suami, tidak dapat memiliki keturunan atau tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai istri karena alasan lain. Ini berbeda sekali dengan apa yang talah dilakukan oleh Nabi.

Pernyataan pasal tersebut mencerminkan bahwa perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kepentingan biologis dan kepentingan mendapatkan ahli waris/keturunan dari salah satu jenis kelamin, dan diiringi dengan asumsi bahwa salah satu pihak tersebut selalu siap sedia atau tidak akan pernah bermasalah dengan kemampuan fisik/biologisnya.

Hal ini menunjukkan bahwa poligami pada hakekatnya merupakan bentuk pengunggulan kaum laki-laki dan penegasan bahwa fungsi istri dalam perkawinan adalah hanya untuk melayani suami.

Ini bisa terlihat dari alasan yang dapat dipakai oleh Pengadilan Agama untuk memberi izin suami melakukan poligami (karena istri cacat badan, tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dan tidak dapat melahirkan keturunan).

Jika demikian alasan yang digunakan, jelas poligami lebih banyak membawa kerugian bagi perempuan sebab, perempuan menjadi merasa inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.

Hal ini sudah mengarah pada bentuk rindak kekerasan pada perempuan yaitu adanya kekerasan secara seksual dan psikologis.

Pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).

Dan manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami.

Tidak ada komentar: