Minggu, 23 September 2007

Sepenggal Kisah

Cerpen: Narsiti Rosyidah

Seorang gadis remaja berambut ikal sedang menari-nari gembira di depan cermin. Sesekali ia senyum-senyum sendiri mengagumi kecantikan dirinya. Sesekali ia menatap lekat-lekat bayangan wajahnya di cermin itu. Sekilas tampak ekspresi bingung dan ragu.
Tentu saja ekspresi itu muncul, sebab orang tua yang selama ini hidup dengannya tidak memiliki kemiripan sama sekali dengan dirinya. Hal ini ia sadari beberapa hari yang lalu setelah ia menerima pelajaran mengenai gen dan faktor keturunan.
Setiap manusia yang terlahir ke dunia ini, sedikit banyak akan membawa gen kedua orang tuanya. Ciri fisik yang ada pada orang tuanya akan terbawa pula oleh keturunannya. Entah bentuk rambut, hidung, mulut gigi, mata, kulit atau yang lainnya. Anak akan mewarisi salah satu atau lebih ciri-ciri fisik yang melekat pada ayah atau ibu. Itulah sepenggal materi yang didapat dari guru biologinya.
Dua hari setelah menerima pelajaran itu, dirinya merasa menjadi manusia yang asing di rumah sendiri. Makan tidak enak, tidur, belajar, bermain, semuanya menjadi tidak nyaman. Barangkali karena beban pikiran yang membuatnya demikian.
Ditambah lagi dengan obrolan-obrolan teman-teman sekelasnya yang selalu membicarakan dirinya masing-masing terkait dengan ciri-ciri fisik mereka.
“Kalau hidungku mirip banget sama ayah.”
“Kalau rambutku mirip dengan mama.”
“Kalau bibirku mirip dengan ibu. Rambutku mirip dengan rambut ayah, dan...hidungku seperti hidung ayah.”
Begitulah celoteh teman-temannya yang selalu membuat ia merasa tidak nyaman bila berkumpul bersama dengan mereka.
“Put, kalau kamu apa yang mirip dengan kedua orang tuamu?” tanya Mimi suatu ketika. Pertanyaan semacam ini sudah diduga akan muncul.
Walaupun begitu tetap saja ia kerepotan untuk menjawabnya. Sehingga ia menjadi gelisah dan takut. Takut diejek dan ditertawakan teman-temannya. Takut dianggap anak luar nikah atau anak pungut.
Untuk menepisnya, ia sengaja berkelit dengan tidak memberi jawaban langsung ke point pertanyaan.
“Hmm...apakah penting membicarakan masalah itu.”
“Tentu penting, Put. Sebab ini akan berpengaruh terhadap kepribadian kita di masa mendatang. Kamu masih ingat kan dengan teman kita, Sisi. Ia tumbuh menjadi gadis yang tidak percaya diri, dan minder. Itu semua gara-gara dia beda banget sama orang tuanya. Ia menjadi bahan omongan teman-temannya. Dianggap anak pungut lah, anak panti asuhan lah, dan macem-macem deh.” Dengan kecentilannya ia berkata penuh semangat.
Ada benarnya juga kata-kata Mimi. Menjadi manusia yang berbeda dalam keluarga dapat mnimbulkan masalah. Seperti yang dialami Sisi. Sisi adalah anak panti asuhan. Kemudian sebuah keluarga yang tidak memiliki anak, mengangkatnya menjadi seorang anak.
Tentu saja Sisi tumbuh berbeda jauh sekali dengan orang tua angkatnya. Sisi berkulit putih, berambut pirang dan bertubuh tinggi. Sementara orang tua angkatnya bertubuh pendek, berambut hitam dan berkulit hitam. Sebuah perbedaan yang sangat kontras. Jelas saja Sisi menjadi minder karenanya.
“Mi, saya kira nggak penting deh bicara yang gitu-gituan.”
“Lho, kata siapa tidak penting. Dengerin nih,” Mimi memperbaiki posisi duduknya, “jika ada anak yang seperti Sisi hidup di tengah-tengah kita, sudah pasti ia akan jadi parno alias paranoid. Di saat teman-temannya asyik membicarakan siapa dan bagaimana orang tua kita, eh...dia malah diam kaya patung. Kaya tidak punya orang tua yang dapat dijadikan bahan pembicaraaan. Mengerikan kan.”
“Tidak juga, Mi.”
“Dasar keras kepala, lho! Atau....jangan-jangan kamu...”
“Sudahlah, Mi. Apa pentingnya ngomongin kaya gitu.” Putri memotong kata-kata Mimi.
Sebagai gadis remaja yang tumbuh dalam keluarga yang religius, Putri tidak suka jika kekurangan atau kejelekan orang lain dibicarakan di depan umum. Maka dari itu, ketika Mimi mengajak untuk lebih jauh membicarakan masalah Sisi, Putri pergi meninggalkan Mimi.
Akan tetapi sikapnya itu membawa efek buruk bagi dirinya. Sejak saat itu ia menjadi bahan omongan dan cemoohan teman-teman sekelasnya. Ada yang menganggap ia anak pelacur, anak kolong jembatan, anak tukang sampah, dan lain-lain. Rupa-rupanya cemoohan ini berpengaruh terhadap kehidupannya. Semangat belajarnya menjadadi turun.
Beruntung ia memiliki orang tua yang memahami masalah remaja, sehingga masalah ini tidak berlanjut. Orang tua Putri segera mencari tahu akar masalahnya.
Merupakan hal yang sangat berat bagi mereka untuk memecahkan masalah Putri. Akan tetapi, walupun bagaimana mereka tetap harus memberi tahu mengenai jati diri Putri yang sebenarnya.
* * *

Sembilan belas tahun silam, seorang bayi orok ditemukan tergeletak di dekat selokan di depan rumah Yayah. Usut punya usut, bayi itu adalah anak seorang perempuan korban perkosaan. Perempuan itu tidak menghendaki bayinya lahir. Untuk itu, ketika ia melahirkan, ia membuang bayinya.
Merasa kasihan dengan keadaan bayi itu, keluarga Yayah mengambil bayi itu. Namun karena kondisi perekonomian mereka tidak mendukung untuk dapat merawatnya, keluarga Yayah menyerahkannya ke panti asuhan.
Nasib baik sepertinya berpihak padanya. Satu tahun setelah di panti asuhan, sebuah keluarga mengambilnya untuk dijadikan anak angkat. Dengan perawatan dan pengasuhan yang baik, ia tumbuh menjadi gadis remaja cantik dan energik. Tidak mudah menyerah dan mengeluh. Mandiri dan cerdas. Itulah Putri.
Mendengar penjelasan dari ayah, Putri menangis sesenggukan. Ia merasa saat ini dirinya adalah anak yang paling malang. Dalam hati Putri mengumpat seseorang yang memperkosa ibunya. Seseorang yang telah menjadikan dirinya terlahir ke dunia. Seseorang yang telah membuat dirinya hidup sebagai anak jadah. Tangisnya semakin meledak-ledak ketika ia mengingat ibunya yang telah tega membuangnya.
“Bunda yakin, kamu pasti sangat membenci ibumu atau orang yang telah memperkosanya. Itu adalah hakmu. Akan tetapi, alangkah baiknya apabila kamu memaafkan mereka. Sebagai seorang muslimah, tidak baik terlalu membenci.“
“Iya, Put. Bunda benar. Bagaimana pun, mereka adalah orang tuamu. Sebuah kesalahan jika kamu terlalu membenci mereka. Membenci boleh, akan tetapi ala kadarnya saja. Sebagai bentuk luapan emosi. Akan tetapi jika mengarah pada dendam, Ayah sarankan jangan.”
Putri tidak habis pikir dengan dua orang tua angkatnya. Begitu bijaksananya mereka itu.
“Ayah. Bunda. Putri malu pada teman-teman di sekolah. Karena perbedaan fisik yang aku miliki dengan ayah atau bunda, membuat Putri dicemooh. Dianggap anak jadah, anak pelacur, anak kolong jembatan. Putri benar-benar malu.” Putri berkata dengan sesekali disertai isak tangis.
“Wajar jika kamu malu. Akan tetapi bukan berarti karena kamu malu lantas kamu tidak mau belajar. Kamu jadi pemalas, suka menghabiskan waktu yang tidak ada gunanya. Jika kamu lemah seperti itu, lalu bagaimana dengan nasib orang-orang yang lebih menderita, orang-orang yang bernasib lebih buruk dari kamu. Mereka masih membuthkan uluran tanganmu. Untuk itu kamu harus kuat. Harus berani dan tegar.”
Mendengarnya, Putri jadi teringat anak-anak pemungut sampah di TPA Bantar Gebang. Demi sesuap nasi, mereka harus berjuang mati-matian memunguti sampah berebut dengan lalat-lalat hijau dan sapi-sapi.
“Aku harus bagaimana, Yah.”
“Kamu harus bangkit kembali. Jangan diambil hati omongan teman-temanmu. Tidak ada manfaatnya.”
Putri mengangguk pelan, membenarkan kata-kata ayahya. Ia memang harus bangkit. Tidak boleh terlalu terbawa oleh keadaan. Ia menjadi sadar, disesalipun tak ada gunanya. Toh semuanya memang benar-benar terjadi.
* * *
Dengan langkah gontai, Putri memasuki ruang kelas. Riuh rendah suara teman-temannya memenuhi ruang kelas. Masih seperti minggu kemarin, mereka mengejek dan mencemooh Putri. Barangkali mereka menganggap wajar saja apa yang mereka lakukan. Sebab mereka merasa dipermalukan dengan keberadaan Putri di sekolah.
Donatur terbesar di sekolah, tak lain adalah ayah angkat dari seorang anak yang tidak jelas asal-usulnya. Ini yang membuat mereka malu. Konon ceritanya, ini menjadi gengsi tersendiri bagi mereka. Semakin terhormat keberadaan seorang donatur di sekolah, semakin terpandang pula keberadaan siswa-siswinya di sekolah lain.
Putri tidak habis pikir. Ia menjadi heran sendiri dengan mereka.
Ejekan dan cemoohan masih terdengar samar-samar dari beberapa mulut mereka. Putri tak ambil peduli. Dengan santai dan tenang, Putri mengambil posisi duduk paling depan. Ia datang ke sekolah untuk belajar. Bukan untuk mendengarkan cemooh yang tak ada artinya.
Tipa-tiba saja sesuatu terjadi di luar dugannya. Jilbab putihnya ditarik paksa oleh Mimi. Sampai rambut ikalnya menjadi berantakan. Sontak suara tawa memenuhi ruangan.
“Lihat rambutnya. Ini sudah jelas-jelas membuktikan dia anak jadah. Anak pelacur barangkali. Memalukan sekali, masa sekolah kita yang terhormat, dikotori oleh anak pelacur. Nggak level dong!”
Putri merasa sakit hati. Dadanya seperti terbakar, mukanya merah. Barangkali kalau sekadar cemooh tidak menjadi maslah, akan tetapi kali ini Mimi sudah keterlaluan. Ia telah membuka aurat Putri di hadapan teman-temannya. Kemudian ia pergi ke ruang guru. Ia menghadap langsung ke kepala sekolah.
“Pak aku tidak terima dengan perlakukan Mimi. Aku memang anak jadah, salahkah jika aku ikut belajar di sini. Apa bedanya anak seorang jadah dengan anak seorang kepala sekolah, tapi sukanya menggunjing dan mencemooh?”
Kepala sekolah terkejut, sekaligus sedih. Ia menatap Putri seperti seorang ayah yang baru bertemu dengan anaknya.
“Ada apa, Put?”
“Mimi selalu menghina dan mencemoohku, tapi Bapak tidak pernah melakukan tindakan apa-apa padanya. Mulai hari ini aku keluar dari sekolah ini. Aku akan mencari sekolah yang dapat menerima keberadaanku.“ Ia berkata dengan tegas.
Kepala sekolah paham, keluarnya Putri sama artinya dengan hancurnya sekolah. Karena sudah pasti ayah Putri akan mencabut sumbangannya untuk selama-lamanya. Ini memang terjadi, ayah Putri mengundurkan diri sebagai donatur tetap di sekolah itu.
“Mengapa ayah mengundurkan diri menajdi donatur?”
“Hmmm...menurutmu, ayah salah?” Putri mengangguk.
“Tidak, Put. Ayah tidak salah. Sudah terlalu lama ayah menjadi donatur di sana. Sekarang ayah ingin memberikan sumbangan ke tempat lain yang lebih membutuhkan. Lagi pula, kepala sekolah di tempatmu, sepertinya tidak pernah ambil peduli dengan permasalahan-permasalahan kecil yang muncul.”
“Apa benar, Yah.”
“Menurutmu bagaimana?”
“Sepengetahuan Putri, tidak begitu. Ia perhatian banget sama Putri.”
“Lalu mengapa perselisihan antara kamu dan Mimi dibiarkan saja.”
“Mimi kan...anaknya. Barangkali karena alasan itu, pak kepala sekolah membiarkannya.”
Tidakkah kamu tahu, Put. Begitu banyak kemiripan antara kamu dan Mimi. Rambutmu, hidungmu, matamu. Tidakkah kau sadar, mengapa kepala sekolah sangat perhatian padamu, itu semua karena ia adalah ayahmu.
“Ayah, kok menatap Putri begitu. Kaya orang nggak pernah ketemu saja.”



Semarang, April 2007

Tidak ada komentar: