Minggu, 23 September 2007

RORO, NAMA PEREMPUAN ITU

Cerpen: Rosyidah Purwo

“Tidak! Aku tidak menyerah, Ayah. Dia yang memaksaku. Aku melakukannya untuk harga diriku.”
”Baguslah jika begitu. Ayah hanya takut keluargamu hancur.”
”Percayalah pada Roro, Ayah. Roro tidak akan kegabah mengambil keputusan.”
Sinar bulan purnama malam itu menjadi saksi atas mereka. Sepasang anak dan ayah sedang berada dalam pergolakan batin. Hal yang mereka takutkan selama bertahun-tahun akhirnya terjadi.
Perusahaan besar yang telah bertahun-tahun dipimpinnya, akhirnya jatuh di tangan musuh bebuyutannya. Bondo, seorang arsitek muda berbakat, namun culas dan kejam, kini memegang perusahaan itu.
Kini Bondo sedang menjadi seorang pangeran. Pangeran yang konon tidak bisa dikalahkan oleh apapun dan siapapun. Kekuasaan, harta, kecerdasan, tampan, juga gagah. Semuanya ia miliki.
Pertemuan siang ini adalah penentuan nasib hidup Roro selanjutnya. Adalah merupakan dilema baginya. Harus memilih harga diri, keluarga atau perusahaan milik ayahnya. Jika ia menolak ajakan Bondo, berarti perusahaan hilang. Jika ia menerima, berarti ia harus kehilangan suami, harga diri dan teman-temannya. Siang ini Bondo akan meminta dirinya untuk menjadi istrinya.
* * *
”Aku tahu kau telah berkuasa kini. Kau telah menguasai semuanya. Tapi tidak untuk diriku.” Perempuan bernama Roro itu berkata dengan mata berkaca-kaca.
”Aku pasti bisa memilikimu. Kamu hanya seorang perempuan. Apa yang dimiliki seprang perempuan? Tidak ada, kecualiii....”
”Kecuali apa.”
”Kemampuan untuk menggoda laki-laki.”
Dadanya bergemuruh mendengar kata-katanya. Andaikan ia gunung berapi, ia sudah memuntahkan lavanya untuk menghancurkan apa saja.
”Apakah kamu yakin bisa mendapatkan diriku?”
”Aku yakin sekali. Apa saja bisa aku lakukan.”
Perempuan itu semakin diliputi rasa benci pada laki-laki yang kini berdiri tegak di depannya. Ketegaran hatinya terpancar dalam dirinya.
”Perintahkan apa saja padaku. Aku akan lakukan. Aku benar-benar ingin menikahimu.”
”Kalau aku menolak?”
”Kau tidak akan bisa menolak. Sebab kamu sudah menjadi milikku. Ingat, perusahaan ayahmu sudah di tanganku.”
”Baik, aku akan perintahkan kamu.”
”Perintahkanlah, akan aku lakukan.”
Tuhan, bukan aku menyerah pada ketakberdayaanku. Aku terjepit. Benar-benar terjepit. Aku terpaksa. Aku berada dalam dilema. Tuhan, andaikan pilihanku untuk menikah dengan laki-laki itu, menjadi sebab murkamu padaku, lakukan apa saja padaku.
Kau tahu bagaimana kedudukan perempuan di mata laki-laki? Tidak lebih dari seorang yang lemah dan tak berdaya. Seorang yang hanya mengenal dapur, kasur, dan sumur. Sungguh tidak adil, Tuhan.
Aku meyakini adanya dirimu, Tuhan. Aku meyakini pula pada firman-firmanmu. Semua makhluk diciptakan sama di hadapanmu. Tinggi rendahnya, kuat lemahnya, ditentukkan oleh kadar ketaatan padamu. Kali ini aku kalah. Bukan aku merasa kalah. Tapi aku benar-benar kalah. Aku kalah dihadapan laki-laki itu. Sungguh naif.
Kemudian perempuan itu melenggang pergi meninggalkan Bondo untuk kemudian kembali lagi padanya. Ketegaran dirinya semakin membuat cantik dirinya. Bondo semakin tergila-gila pada dirinya.
”Baiklah, aku bersedia menjadi istrimu, tapi ada syarat yang harus kau penuhi. Jika syarat itu gagal kau laksanakan, itu berarti kau gagal memiliki diriku.”
”Katakan. Katakan, apa syaratnya.” Bondo tergesa ingin segera mengetahui persyaratan yang diajukan perempuan itu. Dengan tubuh yang lemah, air mata yang hampir menetes, dengan bibir yang gemetar namun tidak menunduk, Roro berucap.
”Buatkan 1001 lukisan diriku. Kau harus bisa menyelesaikannya dalam waktu satu malam. Sebelum fajar harus sudah selesai. Jika tidak, berarti kau gagal.”
”Sendiko dawuh, tuan putri. Demi dirimu, akan aku lakukan syarat itu. Aku berjanji akan menyelesaikannya dalam waktu satu malam.” Layaknya seorang budak kepada tuannya, Bondo menyembah pada Roro.
Bondo memeras otak untuk mendapatkan ide. Apa yang harus aku lakukan? Oh, god! Please, tolong aku! Bagaikan oase di pandang tandus, ide itu tiba-tiba muncul. Menjernihkan pikirannya yang buntu.
“Baiklah, akan aku cari 1001 pelukis terkenal di sini. Akan aku bayar mereka, berapapun mereka meminta.”
Seluruh pegawai di perusahaan miliknya dikerahkan semua untuk mencari pelukis-pelukis itu. Setelah terkumpul, mereka segera melaksanakan perintah Bondo. Hanya dengan menunjukkan selembar foto Roro dalam ukuran 10 R, pelukis-pelukis itu dengan terampil mengerjakan pekerjaan mereka.
”Untuk apa Pak Bondo membuat lukisan sebanyak ini?” tanya salah satu dari mereka.
”Apalagi kalau bukan perempuan. Betul, Pak Bondo?” kata pelukis yang lain.
Bondo tersenyum malu-malu mendengar celoteh mereka.
Sebuah keindahan alami tidak mudah untuk digambarkan, untuk ditiru, atau dibuat replika. Dibutuhkan sentuhan-sentuhan khusus. Kelembutan serta penyatuan hati dan pikiran. Itulah yang dialami seorang pelukis diantara 1001 pelukis yang hadir.
”Terlalu indah untuk dilukiskan.” Katanya.
”Ya, ia terlalu indah, terlalu cantik.” Bondo tanpa sadar menimpali.
“Tidak sembarang orang yang bisa mendapatkannya.”
”Ya, ia terlalu sempurna. Bahkan untuk diriku.”
”Ia hanya untuk orang yang berjiwa sejati. Hanya untuk yang memiliki kebeningan hati.”
Setelah berkata demikian, pelukis itu menunduk. Aku tidak akan mampu melukiskan dirimu, kau terlalu sempurna.
Waktu terus berjalan. Bondo mulai gelisah. Ia tahu dan sadar kalau dirinya tidak akan mampu memenuhi persyaratan itu.
”Dengarkan, kalian harus bisa menyelesaikan lukisan ini sebelum fajar!”
Aku tidak mau tahu, aku harus mendapatkanmu, apapun caranya. Seolah mengetahui isi hati Bondo, salah satu pelukis itu berkata.
”Bukan laki-laki sejati apabila ia menggunakan paksaan untuk mendapatkan sesuatu. Bukan manusia apabila ia selalu mengandalkan akal dan nafsu dalam melakukan sesuatu. Pikiran dan hati adalah milik kita, gunakanlah. Itu lebih baik. Keindahan akan menjadi rusak bila cara mendapatkannya tidak benar.” Bondo terhenyak mendengar kata-kata pelukis itu.
”Apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkannya?”
”Miliki hati yang bijak dan lembut.”
”Bukan itu yang ia minta. Ia memintaku untuk membuatkan 1001 lukisan.”
Waktu terus berjalan. Fajar hampir terbit. Sementara lukisan itu baru selesai 1000 buah.
”Maaf, Pak Bondo, aku tidak bisa melukisnya. Mintalah pada yang lain. Aku benar-benar tidak mampu. Ia terlalu sempurna untuk dilukis.”
”Aku harus bagaimana?”
Waktu terus berjalan dan terus berjalan. Bondo marah-marah pada semua pelukis yang ada di situ. Kemarahannya telah membuat waktu terbuang.
”Siapa yang mampu menyelesaikan satu lukisan lagi, akan aku beri imbalan sebesar apapun ia minta!” Namun, seribu pelukis yang ada di sana tidak ada yang mau untuk melakukannya.
”Biarkan ia berada dalam kehidupannya.” Setelah berucap demikian, pelukis itu pergi.
* * *
”Andaikan ia mampu menyelesaikannya, apakah kamu akan tetap mau menjadi istrinya?”
”Aku tidak mau menjilat ludah yang telah aku keluarkan. Aku bukan pula seorang pembohong. Aku tetap akan menikah dengannya.”
”Pantas jika ia menginginkan dirimu. Pendirianmu begitu kuat. Ayah hanya bisa berdoa, semoga...”
“Semoga ia tidak mampu menyelesaikannya...? Tidak ayah. Itu pikiran yang picik. Biarkan Ia menyelesaikannya. Aku sudah pasrah pada alam.”
”Ayah tidak begitu yakin. Ia mampu menyelesaikannya.”
Fajar telah terbit, degup jantung Roro semakin kuat. Ia takut Bondo bisa memenuhi syarat itu. Fajar semakin menyingsing, namun orang yang ditunggu tidak juga datang. Akhirnya alam menjawabnya. Kemenangan ada pada pihak yang benar.
”Roro! Kau telah menipuku! Kau membohongiku! Kau licik, culas!” Bondo berteriak-teriak dari depan rumahnya. Kelegaan hati yang baru didapat sedetik, kini berubah menjadi kekhawatiran.
“Apakah kau tidak mampu menyelesaikannya? Sungguh naif, seorang laki-laki kuat, terkenal, pemberani, dan berkuasa tidak bisa meyelesaikan pekerjaan kecil yang bisa diselesaikan oleh seorang perempuan.” Roro memperlihatkan 1001 lukisannya yang telah ia buat selama satu tahun, dan hari ini adalah finishnya.
Laki-laki itu tidak mempercayai apa yang sedang dilihatnya sekarang.
”Aku telah membuatnya selama satu tahun. Ini semua adalah hasil karyaku.”
”Kau membohongiku!”
”Tidak, aku tidak pernah bohong padamu. Kegagalanmu akibat kesombongan dan keculasanmu. Andaikan kau jeli, kau teliti, kau pasti bisa mendapatkan diriku. Sayang sekali, otakmu selalu dipenuhi amarah, dan nafsu sehingga tak mampu membaca alam di sekitarmu. Kini kau kalah, kau tidak berhak atas diriku.”
”Aku serahkan kembali perusahaan ayahmu. Aku akui kau hebat.”
Ketika yang dianggap tak berdaya mampu menaklukan rimba raya, maka apa yang bisa dilakukan alam padanya? Alam akan memberikan apa saja. Bila perempuan telah mampu menaklukan laki-laki, maka apa yang akan diberikan laki-laki untuknya? Semuanya.
”Ayah, aku menang.”






Semarang, akhir November 2006.

Tidak ada komentar: