Oleh: Rosyidah Purwo
Pagi hari itu, aku bersama teman-teman bersenda gurau sambil memerhatikan lalu lalang anak-anak kecil yang riang berangkat sekolah.
Seorang ibu tua dengan seorang gadis berjalan bersama. Gadis itu berjalan sambil menggandeng ibu tua. Sambil menampakkan mimik muka…..entahlah (bahagiakah, senangkah¬, bencikah, atau marahkah?) Aku tidak tahu. Gadis itu berjalan sedikit tergesa.
Aku melihatnya seksama. Aku tahu siapa dia. Aku pernah melihatnya. Di sebuah tempat yang biasa ia kunjungi. Aku mengenalnya. Ia gadis berumur tiga puluh satu tahun.
Setelahnya aku abai dengannya. Sebab sepertinya tidak ada lagi yang mesti aku perhatikan tentangnya. Aku-pun menyibukkan diri dengan teman-teman untuk jagongan pagi.
“Hi.” Aku menyapa seorang teman. Aku bercanda dan bergurau seperti biasa. Lalu lalang anak-anak kecil menghalangi andanganku dari orang-orang yang berjalan di depanku. Tatap mataku menangkap sebuah baju unik. Biru cerah dan berukuran panjang se mata kaki.
Aku memerhatikan orang itu. Lagi-lagi gadis berumur tiga puluh satu tahun. Sedikit kaget melihatnya. Menurut pendapatku, tak biasanya ia mengenakan kostum semacam itu. Pikiranmacam-macam langsung aku hapus baik-baik dalam benakku. Aku melempar senyum padanya. Jabatan tangannya luar biasa. Ganas!
Dasar orang rese, aku melirik teman duduk sebelahku. Gadis berumur tiga puluh satu tahun berlalu begitu saja sambil menggandeng tangan tua ibu tua itu.
Pagi hari yang cerah itu menjadi catatan muram untuk gadis berumur tiga puluh satu tahun. Pertemuan dengannya yang tak disangka dan tek diduga telah menoreh luka dalam di hatinya.
Purwokerto, 290310
Minggu, 28 Maret 2010
Selasa, 23 Maret 2010
Nenek Tua dan Sarang Semut
Oleh: Rosyidah Purwo
Suatu sore, setelah kepulangannya dari rumah sakit Santa Elishabet, nenek tua bertemu dengan salah satu pasien di rumah sakit tersebut.
Ia bercerita mengenai sakit yang diderita cucunya, yaitu tentang benjolan di salah satu bagian anggota tubuhnya.
Atas saran dari kawan baru tersebut, nenek tua menelpon dan berkonsultasi ulang dengannya. Lalu kawan baru itu memberikan sebungkus obat tradisional.
Menurut cerita dari nenek tua, yang sempat saya tanya tentang bungkusan itu, bahwa bungkusan tersebut adalah sarang semut hutan Irian Jaya.
Aku geleng-geleng kepala. Ada-ada saja manusia ini. Sarang semut bisa dijadikan obat. Weleh, weleh, weleh.
Pojok Istana Mungil, 23-03-10
Suatu sore, setelah kepulangannya dari rumah sakit Santa Elishabet, nenek tua bertemu dengan salah satu pasien di rumah sakit tersebut.
Ia bercerita mengenai sakit yang diderita cucunya, yaitu tentang benjolan di salah satu bagian anggota tubuhnya.
Atas saran dari kawan baru tersebut, nenek tua menelpon dan berkonsultasi ulang dengannya. Lalu kawan baru itu memberikan sebungkus obat tradisional.
Menurut cerita dari nenek tua, yang sempat saya tanya tentang bungkusan itu, bahwa bungkusan tersebut adalah sarang semut hutan Irian Jaya.
Aku geleng-geleng kepala. Ada-ada saja manusia ini. Sarang semut bisa dijadikan obat. Weleh, weleh, weleh.
Pojok Istana Mungil, 23-03-10
Tikus vs Maling
Oleh: Rosyidah Purwo*)
Di sebuah rumah yang cukup besar, tinggal seorang nenek tua bersama suaminya. Dalam usianya yang sudah renta, nenek tua ini sangat setia menjaga suaminya yang tengah terbaring sakit. Dalam kurun waktu lima tahun, nenek tua ini disiplin sekali dengan urusan menjaga suami tercintanya.
Di rumah model Jawa yang cukup besar ini, tinggal pula seorang anak gadis nan cantik jelita, yang tak lain dan tak bukan adalah cucu dari si nenek. Cucu ini sangat pendiam dan tertutup. Praktis rumah besar, teduh, dan lapang ini terkesan sunyi senyap.
Jika malam datang, hampir tak ada kehidupan.Yang terdengar hanya gaduh suara tikus yang mencuri makanan milik si nenek tua, atau suara jangrik yang mengikrik, atau suara cicak yang berdecak, ada juga suara kendaraan bermotor yang terkadang lewat. Atau suara radio yang sepanjang hari menemani nenek tua.
Selain suami dan cucu, di rumah ini juga tinggal dua anak gadis. Mereka adalah anak-anak yang memanfaatkan kamar kosong milik nenek tua. Alias nge-kost.
Yah, nenek tua ini memang kreatif. Meskipun sudah berumur, namun otak bisnisnya tetap jalan. Barangkali karena sayang, dua kamar besarnya dibiarkan kosong, maka nenek ini menjadikan dua kamar di rumah besarnya sebagai kost-kostan.
Dengan kondisi rumah yang sunyi sepi, keberadaan dua gadis ini menjadi “lentera” bagi si nenek. Jika sedang ada masalah, sudah bisa ditebak, si nenek tua ini akan bercerita panjang lebar mengenai masalahnya kepada dua anak kost-nya.
Mau tak mau, meskipun dalam keadaan lelah setelah seharian melaksanakan tanggung jawab mengajarnya, dua gadis dewasa ini dengan setia dan tekun mendengarkan tuturan dari si nenek.
O iya, nenek tua ini benar-benar seorang nenek yang luar biasa hebat. Dalam kondisi sunyi sepi, menghadapi suaminya yang terbaring tak berdaya, ia masih mampu berkomunikasi dengan suami tercintanya.
Suatu saat, dalam sebuah moment, aku diundang masuk ke kamar pribadinya guna diperkenalkan dengan suami tercintanya yang konon ceritanya dulu adalah anak seorang patih yang kelak saat besar menjabat menjadi seorang wedana.
Aku itu bingung, kaget, kagum, dan tercengang. Begitu masuk ke kamar, aku melihat sesosok laki-laki tua bertubuh jangkung, putih dan besar serta beruban tergeletak di atas tempat tidur. Aku mendekatkan diri untuk menyalaminya.
Aku terlonjak kaget saat laki-laki tua tinggi besar itu mengeluarkan suaranya. Sungguh, siapapun pasti akan kaget dan bingung. Sebab saraf-saraf bicaranya telah digerogoti stroke, semua kata yang dikeluarkan tidak terdengar jelas. Ditambah kuku panjangnya yang sepertinya tidak pernah dipotong. Menambah rasa takutku saat itu.
Sebagai orang jawa asli, aku berusaha sebisa mungkin untuk menjaga keramah-tamahan di kamar setengah mayat itu. Namun begitu, sebagai anak muda yang sedang getol-getolnya mencarai jati diri sesungguhnya, aku tak mampu juga menyembunyikan kepalsuan ramah-tamah itu, nyatanya si nenek langsung angkat bicara saat aku sedang geligapan. Ia menerjemahkan bahasa “planet” suami tercintanya. Nenek ini luar biasa hebat.
Rumah besar ini memiliki ruang tengah yang memiliki tiga pintu. Pintu menuju dapur dan halaman belakang, yang dijadikan jalan raya tikus-tikus kecil yang selalu mencuri makanan. Ke dua, pintu keluar bagian belakang yang menghubungkan menuju halaman samping dan halaman depan, dan terakhir adalah pintu menuju ruang tamu. Yang menjadi masalah bagi si nenek adalah masalah pintu menuju dapur.
Salah satu anak kostnya memiliki kebiasaan baik, ia selalu memerlakukan dengan baik, pintu keluar bagian belakang. Adalah dengan menutupnya rapat-rapat dan mengunci baik-baik pintu tersebut. Ini sudah refleks, ia selalu melakukannya. Entah waktunya pagi, siang, sore, atau malam.
Ternyata kebiasaan ini, menurut nenek tua tidak perlu dilakukan. Menurut nenek, yang perlu diperlakukan seperti itu, adalah pintu menuju dapur. Nah, ini berkebalikan sekali dengan kebiasaan anak kostnya. Hampir dipastikan, setiap kali anak kost ini membuka pintu menuju dapur, ia tidak pernah menutup, apalagi menguncinya. Tentu saja ini menjadi masalah bagi si Nenek.
Ternyata si Nenek memiliki alasan tersendiri mengapa ia mewanti-wanti anak kostnya untuk rajin menutup pintu menuju dapur. Alasannya adalah, jika pintu ini tidak ditutup, maka tikus-tikus kecil yang imut dan nakal akan masuk dan mencuri persediaan makan milik Nenek.
Sementara pintu belakang bagian luar tidak perlu untuk dikunci rapat-rapat. Sebab sepanjang sepengetahuan nenek, meskipun pintu ini tidak dikunci atau ditutup tetap aman-aman saja.
Pikiran ini rupa-rupanya berkebalikan dengan anak kostnya. Menurutnya, aturannya yang ditutup rapat-rapat adalah pintu keluarnya. Dan yang tidak perlu ditutup rapat-rapat adalah pintu menuju dapur.
Anak kostnya ini punya alasan tersendiri. Jika pintu luar tidak dikunci, dikhawatirkan ada orang jahil alias maling yang masuk rumah dan mengambil barang-barang milik nenek. Sementara pintu menuju dapur tidak perlu ditutup, sebab sudah pasti aman dari orang-orang jahil alias maling.
Dalam pikiran si anak kost sudah tertanam “maling lebih berbahaya dari pada tikus.” Sementara di hati si nenek tua sudah tertanam dengan kuat pikiran, “tikus lebih berbahaya dari pada maling.” Ternyata si nenek tua ini lebih takut kepada tikus dari pada maling. Aksi tegur-menegur tentang tutup-menutup pintu pun terjadilah setiap hari.
Purwokerto, 21 Maret 2010
Di sebuah rumah yang cukup besar, tinggal seorang nenek tua bersama suaminya. Dalam usianya yang sudah renta, nenek tua ini sangat setia menjaga suaminya yang tengah terbaring sakit. Dalam kurun waktu lima tahun, nenek tua ini disiplin sekali dengan urusan menjaga suami tercintanya.
Di rumah model Jawa yang cukup besar ini, tinggal pula seorang anak gadis nan cantik jelita, yang tak lain dan tak bukan adalah cucu dari si nenek. Cucu ini sangat pendiam dan tertutup. Praktis rumah besar, teduh, dan lapang ini terkesan sunyi senyap.
Jika malam datang, hampir tak ada kehidupan.Yang terdengar hanya gaduh suara tikus yang mencuri makanan milik si nenek tua, atau suara jangrik yang mengikrik, atau suara cicak yang berdecak, ada juga suara kendaraan bermotor yang terkadang lewat. Atau suara radio yang sepanjang hari menemani nenek tua.
Selain suami dan cucu, di rumah ini juga tinggal dua anak gadis. Mereka adalah anak-anak yang memanfaatkan kamar kosong milik nenek tua. Alias nge-kost.
Yah, nenek tua ini memang kreatif. Meskipun sudah berumur, namun otak bisnisnya tetap jalan. Barangkali karena sayang, dua kamar besarnya dibiarkan kosong, maka nenek ini menjadikan dua kamar di rumah besarnya sebagai kost-kostan.
Dengan kondisi rumah yang sunyi sepi, keberadaan dua gadis ini menjadi “lentera” bagi si nenek. Jika sedang ada masalah, sudah bisa ditebak, si nenek tua ini akan bercerita panjang lebar mengenai masalahnya kepada dua anak kost-nya.
Mau tak mau, meskipun dalam keadaan lelah setelah seharian melaksanakan tanggung jawab mengajarnya, dua gadis dewasa ini dengan setia dan tekun mendengarkan tuturan dari si nenek.
O iya, nenek tua ini benar-benar seorang nenek yang luar biasa hebat. Dalam kondisi sunyi sepi, menghadapi suaminya yang terbaring tak berdaya, ia masih mampu berkomunikasi dengan suami tercintanya.
Suatu saat, dalam sebuah moment, aku diundang masuk ke kamar pribadinya guna diperkenalkan dengan suami tercintanya yang konon ceritanya dulu adalah anak seorang patih yang kelak saat besar menjabat menjadi seorang wedana.
Aku itu bingung, kaget, kagum, dan tercengang. Begitu masuk ke kamar, aku melihat sesosok laki-laki tua bertubuh jangkung, putih dan besar serta beruban tergeletak di atas tempat tidur. Aku mendekatkan diri untuk menyalaminya.
Aku terlonjak kaget saat laki-laki tua tinggi besar itu mengeluarkan suaranya. Sungguh, siapapun pasti akan kaget dan bingung. Sebab saraf-saraf bicaranya telah digerogoti stroke, semua kata yang dikeluarkan tidak terdengar jelas. Ditambah kuku panjangnya yang sepertinya tidak pernah dipotong. Menambah rasa takutku saat itu.
Sebagai orang jawa asli, aku berusaha sebisa mungkin untuk menjaga keramah-tamahan di kamar setengah mayat itu. Namun begitu, sebagai anak muda yang sedang getol-getolnya mencarai jati diri sesungguhnya, aku tak mampu juga menyembunyikan kepalsuan ramah-tamah itu, nyatanya si nenek langsung angkat bicara saat aku sedang geligapan. Ia menerjemahkan bahasa “planet” suami tercintanya. Nenek ini luar biasa hebat.
Rumah besar ini memiliki ruang tengah yang memiliki tiga pintu. Pintu menuju dapur dan halaman belakang, yang dijadikan jalan raya tikus-tikus kecil yang selalu mencuri makanan. Ke dua, pintu keluar bagian belakang yang menghubungkan menuju halaman samping dan halaman depan, dan terakhir adalah pintu menuju ruang tamu. Yang menjadi masalah bagi si nenek adalah masalah pintu menuju dapur.
Salah satu anak kostnya memiliki kebiasaan baik, ia selalu memerlakukan dengan baik, pintu keluar bagian belakang. Adalah dengan menutupnya rapat-rapat dan mengunci baik-baik pintu tersebut. Ini sudah refleks, ia selalu melakukannya. Entah waktunya pagi, siang, sore, atau malam.
Ternyata kebiasaan ini, menurut nenek tua tidak perlu dilakukan. Menurut nenek, yang perlu diperlakukan seperti itu, adalah pintu menuju dapur. Nah, ini berkebalikan sekali dengan kebiasaan anak kostnya. Hampir dipastikan, setiap kali anak kost ini membuka pintu menuju dapur, ia tidak pernah menutup, apalagi menguncinya. Tentu saja ini menjadi masalah bagi si Nenek.
Ternyata si Nenek memiliki alasan tersendiri mengapa ia mewanti-wanti anak kostnya untuk rajin menutup pintu menuju dapur. Alasannya adalah, jika pintu ini tidak ditutup, maka tikus-tikus kecil yang imut dan nakal akan masuk dan mencuri persediaan makan milik Nenek.
Sementara pintu belakang bagian luar tidak perlu untuk dikunci rapat-rapat. Sebab sepanjang sepengetahuan nenek, meskipun pintu ini tidak dikunci atau ditutup tetap aman-aman saja.
Pikiran ini rupa-rupanya berkebalikan dengan anak kostnya. Menurutnya, aturannya yang ditutup rapat-rapat adalah pintu keluarnya. Dan yang tidak perlu ditutup rapat-rapat adalah pintu menuju dapur.
Anak kostnya ini punya alasan tersendiri. Jika pintu luar tidak dikunci, dikhawatirkan ada orang jahil alias maling yang masuk rumah dan mengambil barang-barang milik nenek. Sementara pintu menuju dapur tidak perlu ditutup, sebab sudah pasti aman dari orang-orang jahil alias maling.
Dalam pikiran si anak kost sudah tertanam “maling lebih berbahaya dari pada tikus.” Sementara di hati si nenek tua sudah tertanam dengan kuat pikiran, “tikus lebih berbahaya dari pada maling.” Ternyata si nenek tua ini lebih takut kepada tikus dari pada maling. Aksi tegur-menegur tentang tutup-menutup pintu pun terjadilah setiap hari.
Purwokerto, 21 Maret 2010
Ana Rega, Ana Rupa (Kisah Seorang Ibu dan Anak Laki-Lakinya yang Bersenang Hati)
Oleh: Rosyidah Purwo
Sebuah cerita disampaikan kepada saya. Dalam sebuah senda gurau, seorang teman bercerita kepada saya tentang seorang anak laki-laki yang menjadi anak didiknya.
Anak laki-laki ini merupakan anak satu-satunya dalam sebuah keluarga yang dilahirkan setelah lima belas tahun usia pernikahannya. Praktis, si Ibu sangat menyayangi anak laki-laki ini.
Sayangnya, barangkali karena pola asuh yang kurang tepat di rumahnya, anak laki-laki ini tumbuh menjadi seorang anak yang memiliki daya intelegensi rendah. Di lingkungan rumah maupun sekolah, ia dikenal sebagai anak yang memiliki daya ingat rendah.
Guru kelasnya juga pernah bercerita bahwa ia anak yang menerima perlakuan khusus di kelas. Ia mendapat prioritas perhatian yang lebih tinggi dibandingkan teman-teman yang lain.
Seorang guru mata pelajaran juga pernah menyampaikan unek-unek tentang anak ini. Ia merasa keberatan jika harus memegang anak ini sendirian. Namun begitu, guru ini tetap mengajarnya dengan tekun.
Tidak ada anak yang dilahirkan dalam keadaan yang bodoh. Semua anak dilahirkan dalam keadaan yang suci seperti kertas putih yang masih bersih. Masalah kertas ini mau berubah menjadi hitam, putih, biru, kuning dan sebagainya tergantung pada si empunya kertas mau memberikan warna apa.
Seperti halnya seorang anak. Ia akan menjadi pintar atau bodoh, tergantung bagaimana orang-orang di sekitar memerlakukannya. Jika ia selalu dicemooh “kamu anak bodoh”, lama-lama anak akan tumbuh menjadi bodoh. Jika orang dilingkungan sekitar tinggal, sekolah dan rumah, melabel sebagai anak yang bodoh, dengan sendirinya anak akan menganggap dirinya sebagai anak yang bodoh.
Barangkali jika semua guru di sekolahnya selalu melabel anak ini sebagai anak yang bodoh dan tidak perlu diperhatikan, anak ini akan tumbuh menjadi anak yang benar-benar bodoh. Padahal sudah tahu sendiri bukan?
Setelah melalui proses pendidikan yang luar biasa hebat di sekolahnya, anak ini berubah seratus delapan puluh derajat. Anak yang tadinya tidak tahu huruf hijaiyyah, anak yang tadinya tidak mampu membaca sama sekali, dalam hitungan bulan, anak ini telah mampu membaca dengan baik. Anak yang tadinya tidak mampu merespon setiap gurauan yang dilontarkan teman-teman sekelasnya, sekarang berubah menjadi anak yang cekatan dan tanggap.
Orang tuanya juga terheran-heran. Ia sempat bercerita, setiap adzan berkumandang, anak ini mengajak orang tuanya untuk melaksanakan sholat. Kepada orang tuanya, ia menjadi patuh dan baik hati.
Sebab merasa penasaran, menurut sebuah cerita, seorang ibu rumah tangga mecoba mengetes kemampuan anak ini. Saat kunjungan ke puskesmas setempat, ibu rumah tangga ini memerhatikan si anak yang dengan fasih membaca tulisan dalam sebuah surat kabar, dan sebuah kalimat di pintu masuk, “kamar untuk putra”. Si ibu ini terkagum-kagum luar biasa.
Sebab merasa bangga dengan kemampuan anak semata wayangnya ini, si Ibunya anak bercerita kepada gurunya di sekolah.
“Wah, memang ana rega ana rupa.” Maksud ibu ini adalah, sekolah mahal tidak menjadi masalah, yang penting anaknya bisa. Sekolah mahal pasti berkualitas.
Catatan: Sekolah yang baik adalah sekolah yang memerlakukan anak didiknya sebagai manusia. Atau dengan kalimat lebih kerennya adalah “Proses memanusiakan manusia”. Anak ini boleh dikatakan anak yang beruntung. Dalam rangka menciptakan anak yang cerdas, pandai, berhati nurani,berperi kemanusiaan, baik hati, jujur, dan tidak sombong, berbakti kepada orang tua, orang tua anak ini menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah dasar swasta paling baik saat ini di Banyumas.
Pojok Sekolah, 14 Maret 2010
Sebuah cerita disampaikan kepada saya. Dalam sebuah senda gurau, seorang teman bercerita kepada saya tentang seorang anak laki-laki yang menjadi anak didiknya.
Anak laki-laki ini merupakan anak satu-satunya dalam sebuah keluarga yang dilahirkan setelah lima belas tahun usia pernikahannya. Praktis, si Ibu sangat menyayangi anak laki-laki ini.
Sayangnya, barangkali karena pola asuh yang kurang tepat di rumahnya, anak laki-laki ini tumbuh menjadi seorang anak yang memiliki daya intelegensi rendah. Di lingkungan rumah maupun sekolah, ia dikenal sebagai anak yang memiliki daya ingat rendah.
Guru kelasnya juga pernah bercerita bahwa ia anak yang menerima perlakuan khusus di kelas. Ia mendapat prioritas perhatian yang lebih tinggi dibandingkan teman-teman yang lain.
Seorang guru mata pelajaran juga pernah menyampaikan unek-unek tentang anak ini. Ia merasa keberatan jika harus memegang anak ini sendirian. Namun begitu, guru ini tetap mengajarnya dengan tekun.
Tidak ada anak yang dilahirkan dalam keadaan yang bodoh. Semua anak dilahirkan dalam keadaan yang suci seperti kertas putih yang masih bersih. Masalah kertas ini mau berubah menjadi hitam, putih, biru, kuning dan sebagainya tergantung pada si empunya kertas mau memberikan warna apa.
Seperti halnya seorang anak. Ia akan menjadi pintar atau bodoh, tergantung bagaimana orang-orang di sekitar memerlakukannya. Jika ia selalu dicemooh “kamu anak bodoh”, lama-lama anak akan tumbuh menjadi bodoh. Jika orang dilingkungan sekitar tinggal, sekolah dan rumah, melabel sebagai anak yang bodoh, dengan sendirinya anak akan menganggap dirinya sebagai anak yang bodoh.
Barangkali jika semua guru di sekolahnya selalu melabel anak ini sebagai anak yang bodoh dan tidak perlu diperhatikan, anak ini akan tumbuh menjadi anak yang benar-benar bodoh. Padahal sudah tahu sendiri bukan?
Setelah melalui proses pendidikan yang luar biasa hebat di sekolahnya, anak ini berubah seratus delapan puluh derajat. Anak yang tadinya tidak tahu huruf hijaiyyah, anak yang tadinya tidak mampu membaca sama sekali, dalam hitungan bulan, anak ini telah mampu membaca dengan baik. Anak yang tadinya tidak mampu merespon setiap gurauan yang dilontarkan teman-teman sekelasnya, sekarang berubah menjadi anak yang cekatan dan tanggap.
Orang tuanya juga terheran-heran. Ia sempat bercerita, setiap adzan berkumandang, anak ini mengajak orang tuanya untuk melaksanakan sholat. Kepada orang tuanya, ia menjadi patuh dan baik hati.
Sebab merasa penasaran, menurut sebuah cerita, seorang ibu rumah tangga mecoba mengetes kemampuan anak ini. Saat kunjungan ke puskesmas setempat, ibu rumah tangga ini memerhatikan si anak yang dengan fasih membaca tulisan dalam sebuah surat kabar, dan sebuah kalimat di pintu masuk, “kamar untuk putra”. Si ibu ini terkagum-kagum luar biasa.
Sebab merasa bangga dengan kemampuan anak semata wayangnya ini, si Ibunya anak bercerita kepada gurunya di sekolah.
“Wah, memang ana rega ana rupa.” Maksud ibu ini adalah, sekolah mahal tidak menjadi masalah, yang penting anaknya bisa. Sekolah mahal pasti berkualitas.
Catatan: Sekolah yang baik adalah sekolah yang memerlakukan anak didiknya sebagai manusia. Atau dengan kalimat lebih kerennya adalah “Proses memanusiakan manusia”. Anak ini boleh dikatakan anak yang beruntung. Dalam rangka menciptakan anak yang cerdas, pandai, berhati nurani,berperi kemanusiaan, baik hati, jujur, dan tidak sombong, berbakti kepada orang tua, orang tua anak ini menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah dasar swasta paling baik saat ini di Banyumas.
Pojok Sekolah, 14 Maret 2010
Senin, 15 Maret 2010
Sesungging Senyum yang Tertunda di Sudut Bibir Mungil Gadis Kecil
By: Rosyidah Purwo
Sore hari itu, Jumat, 18 Desember 2009. Aku berjalan menyusuri sepanjang trotoar jalan Masjid, Purwokerto. Panas matahari sore itu sangat menyengat. Baju hitam yang saya kenakan basah oleh keringat.
Alun-alun Putwokerto dipadati oleh pasangan muda-mudi yang sekadar cari angin, atau sengaja mencari hiburan. Beberapa anak-anak kecil berlari-lari riang. Angin bertiup semilir. Mencegah lelah yang berkepanjangan.
Riuh-rendah bising suara kendaraan, mengurangi eloknya pemandangan alun-alun sore hari itu. Beberapa peluit tukang parkir, berbunyi menyetop beberapa kendaraan roda dua dan roda empat yang hendak parkir di pinggiran alun-alun. Aku berjalan cepat. Sore hari yang panas, membuatku ingin cepat-cepat sampai di kost-kostan.
Seorang bapak dengan tiga anak kecilnya. Berjalan santai di sepanjang trotoar jalan masjid. Satu anak laki-lakinya, barangkali yang terkecil, sebab jika dilihat dari bentuk tubuh dan wajahnya, rasa-rasanya ia adalah anak yang paling kecil, digendong tanpa menggunakan kain.
Anak laki-laki yang agak besar berjalan paling depan. Mendahului si bapak dan anaknya si bapak yang perempuan. Dengan mengenakan baju koko, dan pecis, anak laki-laki itu berjalan riang. Sejenak aku melihat ia memerhatikanku.
Gadis kecil itu menoleh kepadaku. Sesungging senyuman ia lempar kepadaku. Jika kamu melihatnya, sungguh bahagia rasanya menerima senyuman itu. Tulus….manis…bahagia…gembira… meskipun hanya beberapa detik saja.
‘Ah, cantik sekali gadis kecil itu,’ batinku. Aku tersenyum tipis. Jilbab ungunya terlampau besar untuk ukuran gadis sekecil itu.
‘Ah, kurang pas buat dia,’ protesku dalam hati.
‘Si bapak bagaimana si.’ Protesku lagi. Aku sedikit ketus. Ini aku berbicara pada diri sendiri.
Aku memerhatikan seksama pada si bapak. Jenggot panjangnya tidak cocok untuk ukuran tubuhnya. Kecil, kurus, hitam. Baju yang dikenakan juga tidak enak dipandang menurut saya.
Baju putihnya terlampau panjang, ujung celana panjangnya terlampau tinggi. Ah, pemandangan yang tidak perlu untuk dilihat.
Gadis kecil itu, berjalan riang meninggalkan bapaknya di belakang. Ia menoleh ke arahku. Senyuman itu ia lempar setulus-tulusnya. Gigi-gigi kecilnya terliat putih, bersih, dan indah.
Andaikan siapapun melihatnya, sungguh senang sekali rasanya. Namun, kebahagiannku sore itu, rupa-rupanya tidak diijinkan untuk berlama-lama. Beberapa detik setelah jarak antara saya dan gaadis kecil itu berdekatan, senyuman itu tiba-tiba hilang dan berupah menjadi wajah gadis kecil yang penuh derita dan sedih.
Aku kaget. ‘Why?’ Tanyaku. Sepanjang perjalanan setelah kejadian itu, aku lebih banyak menoleh ke belakang. Memerhatikan gadis kecil itu. Senyum tulus itu hilang dalam sekejap. Senyum bahagia itu hilang dalam beberapa langkah.
Adakah gadis kecil itu berpikir sesuatu tentangku? Adakah aku adalah seseorang yang tidak perlu mendpat senyuman itu? Adakah …adakah…tanya itu menggelayut di pikiran di sepanjang perjalanan menuju kost-kostan.
Gadis kecil…
Purwokerto, 181209
Sore hari itu, Jumat, 18 Desember 2009. Aku berjalan menyusuri sepanjang trotoar jalan Masjid, Purwokerto. Panas matahari sore itu sangat menyengat. Baju hitam yang saya kenakan basah oleh keringat.
Alun-alun Putwokerto dipadati oleh pasangan muda-mudi yang sekadar cari angin, atau sengaja mencari hiburan. Beberapa anak-anak kecil berlari-lari riang. Angin bertiup semilir. Mencegah lelah yang berkepanjangan.
Riuh-rendah bising suara kendaraan, mengurangi eloknya pemandangan alun-alun sore hari itu. Beberapa peluit tukang parkir, berbunyi menyetop beberapa kendaraan roda dua dan roda empat yang hendak parkir di pinggiran alun-alun. Aku berjalan cepat. Sore hari yang panas, membuatku ingin cepat-cepat sampai di kost-kostan.
Seorang bapak dengan tiga anak kecilnya. Berjalan santai di sepanjang trotoar jalan masjid. Satu anak laki-lakinya, barangkali yang terkecil, sebab jika dilihat dari bentuk tubuh dan wajahnya, rasa-rasanya ia adalah anak yang paling kecil, digendong tanpa menggunakan kain.
Anak laki-laki yang agak besar berjalan paling depan. Mendahului si bapak dan anaknya si bapak yang perempuan. Dengan mengenakan baju koko, dan pecis, anak laki-laki itu berjalan riang. Sejenak aku melihat ia memerhatikanku.
Gadis kecil itu menoleh kepadaku. Sesungging senyuman ia lempar kepadaku. Jika kamu melihatnya, sungguh bahagia rasanya menerima senyuman itu. Tulus….manis…bahagia…gembira… meskipun hanya beberapa detik saja.
‘Ah, cantik sekali gadis kecil itu,’ batinku. Aku tersenyum tipis. Jilbab ungunya terlampau besar untuk ukuran gadis sekecil itu.
‘Ah, kurang pas buat dia,’ protesku dalam hati.
‘Si bapak bagaimana si.’ Protesku lagi. Aku sedikit ketus. Ini aku berbicara pada diri sendiri.
Aku memerhatikan seksama pada si bapak. Jenggot panjangnya tidak cocok untuk ukuran tubuhnya. Kecil, kurus, hitam. Baju yang dikenakan juga tidak enak dipandang menurut saya.
Baju putihnya terlampau panjang, ujung celana panjangnya terlampau tinggi. Ah, pemandangan yang tidak perlu untuk dilihat.
Gadis kecil itu, berjalan riang meninggalkan bapaknya di belakang. Ia menoleh ke arahku. Senyuman itu ia lempar setulus-tulusnya. Gigi-gigi kecilnya terliat putih, bersih, dan indah.
Andaikan siapapun melihatnya, sungguh senang sekali rasanya. Namun, kebahagiannku sore itu, rupa-rupanya tidak diijinkan untuk berlama-lama. Beberapa detik setelah jarak antara saya dan gaadis kecil itu berdekatan, senyuman itu tiba-tiba hilang dan berupah menjadi wajah gadis kecil yang penuh derita dan sedih.
Aku kaget. ‘Why?’ Tanyaku. Sepanjang perjalanan setelah kejadian itu, aku lebih banyak menoleh ke belakang. Memerhatikan gadis kecil itu. Senyum tulus itu hilang dalam sekejap. Senyum bahagia itu hilang dalam beberapa langkah.
Adakah gadis kecil itu berpikir sesuatu tentangku? Adakah aku adalah seseorang yang tidak perlu mendpat senyuman itu? Adakah …adakah…tanya itu menggelayut di pikiran di sepanjang perjalanan menuju kost-kostan.
Gadis kecil…
Purwokerto, 181209
Tentang Gadis Berumur 31 Tahun (Catatan Pojok Sekolah)
Oleh: Rosyidah Purwo
Adalah sebuah kisah. Ini disampaikan oleh teman saya kepada saya, mengenai seorang gadis berumur 31 tahun. Saya tidak paham mengapa ia bercerita demikian tentang gadis itu kepadaku.
Sungguh, jika kamu bertemu dirinya kamu akan menyaksikan sebuah wajah yang sudah hampir menua. Sedikit dipenuhi keriput. Kecil, dan sedikit kurus. Tatapan matanya sungguh menusuk dan menyayat.
Kata-katanya tajam seperti suara ranting kering yang patah. Penuh misteri dan penuh rahasia. Ia suka mengatur dan sedikit angkuh. Sekali watu ia akan baik hati kepada semua orang, sekali waktu ia akan “membunuh” orang-orang yang ia kenal.
Jangan sekali-kali berkata yang membuat ia tersakiti, atau membuat ia merasa rendah di hadapan orang. Siap-siap saja kamu akan “dilahap”-nya. Aku kasihan kepadanya. Seharusnya ia cepat-cepat mengubah status kesinggle-annya. Agar ia mampu memperbaiki diri. (Saya tidak paham dengan bait kalimat yang terakhir: mengubah status kesingle-annya?).
O iya,Ia tidak mau orang lain lebih unggul dari padanya. Jangan salah, kamu tidak akan pernah “dilihat” sepandai apapun, sejenius apapun, setangkas apapun, segesit apapun, secerdas apapun, seaktif apapun. Ia selalu merasa dirinya sebagai orang yang paling hebat diantara teman-temannya. (Saya sempat bergidik dengan cerita ini).
Sebagai teman, saya berusaha mendengarkan dengan baik setiap kata yang meluncur dari bibir mungilnya yang imut dan indah. Sejenak rasa kasihan muncul dalam diriku. Saya berpikir, “apakah ia bagitu menderitanya berteman dengan gadis ini?”
Sebagai teman yang baik hati, jujur, tidak sombong, suka menabung, patuh, hormat kepada orang tua, hemat, cermat, dan bersahaja (he he he), saya berusaha sekuat mungkin untuk tidak memerlihatkan ekspresi -kasihan- padanya. Dengan patuh dan ta’dzim, saya mendengarkan setiap detail ceritanya, meskipun lelah ini sudah mendera.
Memang, masalah ngomong, teman saya yang satu ini, luar biasa hebatnya. Jika diladeni terus, sehari tidak bakal habis cerita meluncur dari bibir mungilnya.
Tentang gadis berumur 31 tahun. Saya pernah mendengar sekilas cerita tentangnya.
Sekali waktu saya juga pernah akrab dan bertegur sapa dengannya, bahkan bercengkerama. Dan saya tidak paham kalau gadis berumur 31 tahun sebegitu menakutkannya bagi teman saya. Bagi saya sendiri, keberadaannya sekadar fariasi dalam dunia dongengan saya. Meskipun saya tahu sendiri bagaimana tentang dirinya.
Hari ini aku mendengar suara lantangnya. Dengan mikrofon yang membuat suaranya terlihat lebih menyayat dan menusuk.
Tentangnya aku sudah banyak mendengar kisahnya. Salah satunya adalah sebuah kisah mengenai pertemanannya yang hancur di tengah jalan, sebab masalah yang terlihat sepele bagi saya.
Sebab teman dekatnya hendak menikah, ia rela menghancurkan sebuah hubungan pertemanan yang sudah terjalin sekian lama. Sebab pastinya belum jelas, namun menurut sebuah sumber yang sempat saya dengar dari seorang nenek tua yang sempat bercerita kepadaku, hubungan mereka retak sebab teman dekatnya tidak memberi kabar saat hendak menikah. Wow, sebegitu parahkah?
Bukan maksud ingin mencocok-cocokkan masalah. Saya sedang merenung saja. Saat kemarin, satu bulan yang lalu tepatnya, teman saya melangsungkan akad nikah, ia tidak hadir dalam resepsi itu. Apakah karena sebuah kebetulan? Saya tidak tahu, hatilah yang mengetahui.
Seorang gadis berumur 31 tahun. Hari itu, adalah hari resepsinya. Kebetulan saya dimintai tolong oleh teman saya. Dengan segenap tenaga dan pikiran yang saya miliki, saya mengikuti acara itu dengan seksama.
Dalam waktu yang begitu panjang, saya melewati setiap kegiatan demi kegiatan. Sungguh melelahkan. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.30 wib, tamu undangan sudah semakin sedikit yang hadir. Dalam kurun waktu 6 jam, saya memerhatikan setiap tamu undangan yang hadir. Beberapa tamu undangan ada yang saya kenal dengan baik. Banyak pula teman-teman yang satu profesi dengan saya.
Sebab saya mengetahui tentang teman dekat orang yang diceritakan oleh teman saya itu, saya menunggu-nunggu kedatangannya. Waktu sudah selesai, tamu undangan sudah pulang satu-persatu. Rumah sudah mulai kosong. Orang yang saya tunggu-tunggu tak kunjung datang.
Sudah saatnya saya berpamitan dengan tuan rumah. Buku tamu saya tutup. Dalam hati saya berkata, “selamat jalan wahai Gadis, mengapa kamu tidak hadir dalam acara sepenting ini? Tidakkah kau tahu, ini adalah acara resespsi teman dekat kamu yang sempat kamu hadirkan dalam hatimu? Bukankah kamu sudah pernah menganggap ia sebagai bagian dari kehidupanmu?”
Aku berpamitan. Pikiranku melayang-layang. Teringat akan sebuah cerita masa lalu dari seorang nenek yang menceritakan sebuah kisahnya. Adalah kisah yang sama seperti hari ini. Saya berpikir, “apakah kisah itu akan terulang lagi pada hari ini?” Mudah-mudahan tidak, sebab, sungguh menderita sekali. Gadis itu sudah 31 tahun.
Pojok Sekolah, 12 Maret 2010
Adalah sebuah kisah. Ini disampaikan oleh teman saya kepada saya, mengenai seorang gadis berumur 31 tahun. Saya tidak paham mengapa ia bercerita demikian tentang gadis itu kepadaku.
Sungguh, jika kamu bertemu dirinya kamu akan menyaksikan sebuah wajah yang sudah hampir menua. Sedikit dipenuhi keriput. Kecil, dan sedikit kurus. Tatapan matanya sungguh menusuk dan menyayat.
Kata-katanya tajam seperti suara ranting kering yang patah. Penuh misteri dan penuh rahasia. Ia suka mengatur dan sedikit angkuh. Sekali watu ia akan baik hati kepada semua orang, sekali waktu ia akan “membunuh” orang-orang yang ia kenal.
Jangan sekali-kali berkata yang membuat ia tersakiti, atau membuat ia merasa rendah di hadapan orang. Siap-siap saja kamu akan “dilahap”-nya. Aku kasihan kepadanya. Seharusnya ia cepat-cepat mengubah status kesinggle-annya. Agar ia mampu memperbaiki diri. (Saya tidak paham dengan bait kalimat yang terakhir: mengubah status kesingle-annya?).
O iya,Ia tidak mau orang lain lebih unggul dari padanya. Jangan salah, kamu tidak akan pernah “dilihat” sepandai apapun, sejenius apapun, setangkas apapun, segesit apapun, secerdas apapun, seaktif apapun. Ia selalu merasa dirinya sebagai orang yang paling hebat diantara teman-temannya. (Saya sempat bergidik dengan cerita ini).
Sebagai teman, saya berusaha mendengarkan dengan baik setiap kata yang meluncur dari bibir mungilnya yang imut dan indah. Sejenak rasa kasihan muncul dalam diriku. Saya berpikir, “apakah ia bagitu menderitanya berteman dengan gadis ini?”
Sebagai teman yang baik hati, jujur, tidak sombong, suka menabung, patuh, hormat kepada orang tua, hemat, cermat, dan bersahaja (he he he), saya berusaha sekuat mungkin untuk tidak memerlihatkan ekspresi -kasihan- padanya. Dengan patuh dan ta’dzim, saya mendengarkan setiap detail ceritanya, meskipun lelah ini sudah mendera.
Memang, masalah ngomong, teman saya yang satu ini, luar biasa hebatnya. Jika diladeni terus, sehari tidak bakal habis cerita meluncur dari bibir mungilnya.
Tentang gadis berumur 31 tahun. Saya pernah mendengar sekilas cerita tentangnya.
Sekali waktu saya juga pernah akrab dan bertegur sapa dengannya, bahkan bercengkerama. Dan saya tidak paham kalau gadis berumur 31 tahun sebegitu menakutkannya bagi teman saya. Bagi saya sendiri, keberadaannya sekadar fariasi dalam dunia dongengan saya. Meskipun saya tahu sendiri bagaimana tentang dirinya.
Hari ini aku mendengar suara lantangnya. Dengan mikrofon yang membuat suaranya terlihat lebih menyayat dan menusuk.
Tentangnya aku sudah banyak mendengar kisahnya. Salah satunya adalah sebuah kisah mengenai pertemanannya yang hancur di tengah jalan, sebab masalah yang terlihat sepele bagi saya.
Sebab teman dekatnya hendak menikah, ia rela menghancurkan sebuah hubungan pertemanan yang sudah terjalin sekian lama. Sebab pastinya belum jelas, namun menurut sebuah sumber yang sempat saya dengar dari seorang nenek tua yang sempat bercerita kepadaku, hubungan mereka retak sebab teman dekatnya tidak memberi kabar saat hendak menikah. Wow, sebegitu parahkah?
Bukan maksud ingin mencocok-cocokkan masalah. Saya sedang merenung saja. Saat kemarin, satu bulan yang lalu tepatnya, teman saya melangsungkan akad nikah, ia tidak hadir dalam resepsi itu. Apakah karena sebuah kebetulan? Saya tidak tahu, hatilah yang mengetahui.
Seorang gadis berumur 31 tahun. Hari itu, adalah hari resepsinya. Kebetulan saya dimintai tolong oleh teman saya. Dengan segenap tenaga dan pikiran yang saya miliki, saya mengikuti acara itu dengan seksama.
Dalam waktu yang begitu panjang, saya melewati setiap kegiatan demi kegiatan. Sungguh melelahkan. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.30 wib, tamu undangan sudah semakin sedikit yang hadir. Dalam kurun waktu 6 jam, saya memerhatikan setiap tamu undangan yang hadir. Beberapa tamu undangan ada yang saya kenal dengan baik. Banyak pula teman-teman yang satu profesi dengan saya.
Sebab saya mengetahui tentang teman dekat orang yang diceritakan oleh teman saya itu, saya menunggu-nunggu kedatangannya. Waktu sudah selesai, tamu undangan sudah pulang satu-persatu. Rumah sudah mulai kosong. Orang yang saya tunggu-tunggu tak kunjung datang.
Sudah saatnya saya berpamitan dengan tuan rumah. Buku tamu saya tutup. Dalam hati saya berkata, “selamat jalan wahai Gadis, mengapa kamu tidak hadir dalam acara sepenting ini? Tidakkah kau tahu, ini adalah acara resespsi teman dekat kamu yang sempat kamu hadirkan dalam hatimu? Bukankah kamu sudah pernah menganggap ia sebagai bagian dari kehidupanmu?”
Aku berpamitan. Pikiranku melayang-layang. Teringat akan sebuah cerita masa lalu dari seorang nenek yang menceritakan sebuah kisahnya. Adalah kisah yang sama seperti hari ini. Saya berpikir, “apakah kisah itu akan terulang lagi pada hari ini?” Mudah-mudahan tidak, sebab, sungguh menderita sekali. Gadis itu sudah 31 tahun.
Pojok Sekolah, 12 Maret 2010
Minggu, 07 Maret 2010
Miss Tomorrow
Oleh: Rosyidah Purwo
Hey, aku menangis!
Gara-garanya tu gini ni….niatan awal adalah ingin menulis tentang Mpok Minah yang pernah ke Meja Hijau sebab mengambil 3 batang Kakao.
Setelah mencoba bikin tulisan, ternyata buntu di tengah jalan. Lalu aku OL. Saat sedang OL, tiba-tiba teringat karyaku yang masih menggantung alias masih mentah, lalu aku membuka “mbah Google” untuk mencari berita tentang Mpok Minah. Lalu aku menemukan sebuah blog yang mem-posting gambar beserta beritanya.
Waduuuuuuh….sungguh, keterlaluan banget deh!
Gak tahu tu siapa yang keterlaluan. Baca aja deh beritanya! Kalau kamu mengaku sebagai orang yang masih berhati nurani, bakalan dimenangis. Wajahnya innocent banget. Kulitnya keriput. Masih harus menghadapi pak Hakim yang segar bugar. Belum dengan ketukan palunya!
Hiks, hiks, hiks! Sabar ya, Mpok….
Aku juga keterlaluan sekali. Mendengar beritanya dari jaman baheula, baru punya greget menulis sekarang! Memang Miss Tomorrow!
Hey, aku menangis!
Gara-garanya tu gini ni….niatan awal adalah ingin menulis tentang Mpok Minah yang pernah ke Meja Hijau sebab mengambil 3 batang Kakao.
Setelah mencoba bikin tulisan, ternyata buntu di tengah jalan. Lalu aku OL. Saat sedang OL, tiba-tiba teringat karyaku yang masih menggantung alias masih mentah, lalu aku membuka “mbah Google” untuk mencari berita tentang Mpok Minah. Lalu aku menemukan sebuah blog yang mem-posting gambar beserta beritanya.
Waduuuuuuh….sungguh, keterlaluan banget deh!
Gak tahu tu siapa yang keterlaluan. Baca aja deh beritanya! Kalau kamu mengaku sebagai orang yang masih berhati nurani, bakalan dimenangis. Wajahnya innocent banget. Kulitnya keriput. Masih harus menghadapi pak Hakim yang segar bugar. Belum dengan ketukan palunya!
Hiks, hiks, hiks! Sabar ya, Mpok….
Aku juga keterlaluan sekali. Mendengar beritanya dari jaman baheula, baru punya greget menulis sekarang! Memang Miss Tomorrow!
Tentang “Pasar Tiban” dan Pak Mabes POLRI
Oleh: Rosyidah Purwo
Dalam sebuah event besar yang diselenggarakan oleh sekolah dasar Maju Banget, seorang bapak dipercaya sebagai koordinator kegiatan bazaar ibu-ibu dan orang tua wali murid. Berkat kelihaian dan keahlian si Bapak ini, kegiatan bazar dapa berjalan dengan sukses dan lancar. Terbukti banyak sekali orang tua wali murid dan ibu-ibu yang mendaftar sebagai peserta bazaar.
Hari-H datang. “Pasar Tiban”-pun muncullah. Halaman sekolah tumpah ruah oleh pedagang-pedagang senior dan juniaor. Pedagang senior adalah mereka yang kegiatan kesehariannya memang benar-benar sebagai penjual di rumah atau di pasar atau di kios miliknya. Pedagang Junior adalah mereka yang menjadi pedagang dadakan sebab tanggung jawabnya untuk ikut meramaikan event sekolah.
Beraneka jenis makanan, pakaian, bahkan sampai dengan perabot rumah tangga tersedia lengkap di “Pasar Tiban” ini. Tidak sekadar makanan, pakaian, perabot rumah tangga, bahkan rumah juga tersedia di sini, pulsa, internet, juga tersedia. Masing-masing stand memiliki ciri dan jenis dagangan yang berbeda. Ada beberapa yang menjual barang dagangan yang sama.
Stand pak Panjul menjual Bakso, stand Bu Tuki menjual pakaian dalam anak dan dewasa, Stan Ipin-Upin menjual Burger dan aneka makan cepat saji, stand Bu Dika menjual es buah dan es campur, stand bu Iin menjual Karpet dan sejenisnya, stand bu Mamik menjual aneka makanan pengenyang perut, stand bu Khasna menjual aneka buah segar, stand bu Ani menjual mie goreng dan mie-mie lainnya. Stand bu Catur memasarkan rumah beserta fasilitasnya. Stand bu Bekti menjual aneka Nuget. Dan masih ada beberapa stand lainnya yang tak kalah meriah dan serunya.
Hari-H itu sekolah dipenuhi oleh riuh rendah suara penjual dan pembeli, serta celoteh anak-anak dan tamu undangan yang hadir. Ajaib, dalam sekejap, sekolah yang biasanya hanya dipenuhi suara anak dan guru, kini berubah seperti pasar tradisional yang modern.
Sepertinya nasib si Bapak ketua ini sedang mujur. Sebab peserta “Pasar Tiban” ini patuh dan tunduk pada perundang-undangan yang berlaku. Hampir tidak ada satu-pun peserta yang ngeyel dan ngedel. Namun konon ceritanya, ada salah satu peserta yang kurang cocok dengan perundang-undangan "Pasar Tiban". Namun karena perundang-undangan “Pasar Tiban” ini sudah terlanjur diketok palu, ke-ngeyelan dan kengedelan si Ibu ini kurang didengar oleh si Bapak ketua.
Rupa-rupanya si Ibu ini memang orang yang berhati besar, tangguh, dan pantang menyerah. Maka, apa yang dilarang dilakukanlah, oleh karena itu yang terjadi, terjadilah. Si Ibu tetap teguh pendirian pada prinsip ngeyel dan ngedel.
Setiap prinsip, keputusan, dan pilihan pasti akan dihadapkan pada ujian. Dan si Ibu ini-pun harus menghadapi ujian tersebut. Datanglah si Bapak ketua memeriksa setiap stand. Dari semua stand yang dicek, ternyata tidak ada masalah. Tibalah pada stand si ibu Prinsip Ngeyel-Ngedel. Sebab ketajaman indra serta ketelitiannya, si bapak Ketua menemukan kejanggalan di stand si Ibu Prisnsip Ngeyel-Ngedel.
Terkenalah pasal Undang-Undang “Pasar Tiban”. Memang dasarnya si ibu ini ngeyel dan ngedel, sudah jelas salah, tetap saja masih ngeyel dan ngedel. Maka dikenakanlah sanksi ringan. Dua buah roti dagangannya diambil oleh si bapak ketua.
Beberapa hari setelah kejadian, seorang bapak yang mengaku sebagai pak MABES POLRI menelpon si Bapak ketua. Mujur benar sekolah Maju Banget ini. Sikap tegas dan berani membela yang benar milik pak Ketua ini, memang T O P B G T! Sikapnya telah menyiutkan hati si Ibu Ngeyel Ngedel.
“Kita bicarakan dulu masalah sebenarnya apa. Sesuai dengan pasal yang berlaku dalam UU Pasar Tiban, tidak boleh seperti ini. Tapi si Ibu maunya tetap seperti ini. Pelanggaran harus diberi sanksi. Saya memberi sanksi dengan mengambil dua potong roti milik si Ibu. Apakah itu terlalu berat jika dibandingkan dengan ketidak adilan yang sudah diciptakan oleh si Ibu?”
Begitulah si bapak Ketua kegiatan bazaar menjelaskan masalah sebenarnya. Manggut-manggut tanda mengerti. Itulah ekspresi pak MABES POLRI.
Sebagai penutup, si Bapak ketua berucap, “saya berani mati demi membela yang benar! Saya pernah ditodong pistol karena membela yang benar, Pak!”
Istana Mungil di sudut Kota Purwokerto, 07-03-10
(08.57wib)
Dalam sebuah event besar yang diselenggarakan oleh sekolah dasar Maju Banget, seorang bapak dipercaya sebagai koordinator kegiatan bazaar ibu-ibu dan orang tua wali murid. Berkat kelihaian dan keahlian si Bapak ini, kegiatan bazar dapa berjalan dengan sukses dan lancar. Terbukti banyak sekali orang tua wali murid dan ibu-ibu yang mendaftar sebagai peserta bazaar.
Hari-H datang. “Pasar Tiban”-pun muncullah. Halaman sekolah tumpah ruah oleh pedagang-pedagang senior dan juniaor. Pedagang senior adalah mereka yang kegiatan kesehariannya memang benar-benar sebagai penjual di rumah atau di pasar atau di kios miliknya. Pedagang Junior adalah mereka yang menjadi pedagang dadakan sebab tanggung jawabnya untuk ikut meramaikan event sekolah.
Beraneka jenis makanan, pakaian, bahkan sampai dengan perabot rumah tangga tersedia lengkap di “Pasar Tiban” ini. Tidak sekadar makanan, pakaian, perabot rumah tangga, bahkan rumah juga tersedia di sini, pulsa, internet, juga tersedia. Masing-masing stand memiliki ciri dan jenis dagangan yang berbeda. Ada beberapa yang menjual barang dagangan yang sama.
Stand pak Panjul menjual Bakso, stand Bu Tuki menjual pakaian dalam anak dan dewasa, Stan Ipin-Upin menjual Burger dan aneka makan cepat saji, stand Bu Dika menjual es buah dan es campur, stand bu Iin menjual Karpet dan sejenisnya, stand bu Mamik menjual aneka makanan pengenyang perut, stand bu Khasna menjual aneka buah segar, stand bu Ani menjual mie goreng dan mie-mie lainnya. Stand bu Catur memasarkan rumah beserta fasilitasnya. Stand bu Bekti menjual aneka Nuget. Dan masih ada beberapa stand lainnya yang tak kalah meriah dan serunya.
Hari-H itu sekolah dipenuhi oleh riuh rendah suara penjual dan pembeli, serta celoteh anak-anak dan tamu undangan yang hadir. Ajaib, dalam sekejap, sekolah yang biasanya hanya dipenuhi suara anak dan guru, kini berubah seperti pasar tradisional yang modern.
Sepertinya nasib si Bapak ketua ini sedang mujur. Sebab peserta “Pasar Tiban” ini patuh dan tunduk pada perundang-undangan yang berlaku. Hampir tidak ada satu-pun peserta yang ngeyel dan ngedel. Namun konon ceritanya, ada salah satu peserta yang kurang cocok dengan perundang-undangan "Pasar Tiban". Namun karena perundang-undangan “Pasar Tiban” ini sudah terlanjur diketok palu, ke-ngeyelan dan kengedelan si Ibu ini kurang didengar oleh si Bapak ketua.
Rupa-rupanya si Ibu ini memang orang yang berhati besar, tangguh, dan pantang menyerah. Maka, apa yang dilarang dilakukanlah, oleh karena itu yang terjadi, terjadilah. Si Ibu tetap teguh pendirian pada prinsip ngeyel dan ngedel.
Setiap prinsip, keputusan, dan pilihan pasti akan dihadapkan pada ujian. Dan si Ibu ini-pun harus menghadapi ujian tersebut. Datanglah si Bapak ketua memeriksa setiap stand. Dari semua stand yang dicek, ternyata tidak ada masalah. Tibalah pada stand si ibu Prinsip Ngeyel-Ngedel. Sebab ketajaman indra serta ketelitiannya, si bapak Ketua menemukan kejanggalan di stand si Ibu Prisnsip Ngeyel-Ngedel.
Terkenalah pasal Undang-Undang “Pasar Tiban”. Memang dasarnya si ibu ini ngeyel dan ngedel, sudah jelas salah, tetap saja masih ngeyel dan ngedel. Maka dikenakanlah sanksi ringan. Dua buah roti dagangannya diambil oleh si bapak ketua.
Beberapa hari setelah kejadian, seorang bapak yang mengaku sebagai pak MABES POLRI menelpon si Bapak ketua. Mujur benar sekolah Maju Banget ini. Sikap tegas dan berani membela yang benar milik pak Ketua ini, memang T O P B G T! Sikapnya telah menyiutkan hati si Ibu Ngeyel Ngedel.
“Kita bicarakan dulu masalah sebenarnya apa. Sesuai dengan pasal yang berlaku dalam UU Pasar Tiban, tidak boleh seperti ini. Tapi si Ibu maunya tetap seperti ini. Pelanggaran harus diberi sanksi. Saya memberi sanksi dengan mengambil dua potong roti milik si Ibu. Apakah itu terlalu berat jika dibandingkan dengan ketidak adilan yang sudah diciptakan oleh si Ibu?”
Begitulah si bapak Ketua kegiatan bazaar menjelaskan masalah sebenarnya. Manggut-manggut tanda mengerti. Itulah ekspresi pak MABES POLRI.
Sebagai penutup, si Bapak ketua berucap, “saya berani mati demi membela yang benar! Saya pernah ditodong pistol karena membela yang benar, Pak!”
Istana Mungil di sudut Kota Purwokerto, 07-03-10
(08.57wib)
Senin, 01 Maret 2010
Tentang Sebuah Desa di Kabupaten Madukara, Banjarnegara
By: Rosyidah Purwo
Bau tanah basah dan sedap rumput basah yang dibakar itu mengingatkanku akan masa lalu di mana aku masih kecil. Hidup di sebuah desa dengan masyarakat yang masih bersahaja. Ramah tamah, gotong royong, dan saling bantu adalah norma utama yang masih dijunjung tinggi.
Siang hari di Minggu itu aku menginjakkan kaki di sebuah tempat yang….maha indah. Tempat di mana aku dulu pernah merasakan suasana seperti ini. Basah, sejuk, dingin, harum, menawan, hangat, dan harmonis.
Perjalananku hari ini adalah petualang yang maha indah. Adalah sebuah petualangan yang…aku tidak mampu menguraikannya dengan kata-kata, hanya mampu untuk aku rasakan.
Kebun salak itu, pohon-pohon rindang itu, orang-orang itu, ramah-tamah itu, kolam ikan itu, adalah de javu hari ini. Aku pernah merasakannya dulu. Bukan dalam mimpi, namun sebuah kenyataan hidup, sebuah pengalaman masa lalu.
Bapak setengah tua itu menyapa kami dengan logat ngapaknya. Suara dan senyumannya hangat, akrab, dan ramah. Aku menyukai ini. Seorang ibu setengah tua, hampir seumuran dengan mama, menyapa dengan cara yang sama. Hangat, ramah, tulus.
Jarum jam menunjukkan pukul 11.12wib. namun begitu, terik matahari tak terasa panas, mekipun terik matahari ini sudah mampu mengeringkan baju milik temanku yang pagi tadi dicuci.
Sebab penasaran dengan pohon-pohon salak yang tumbuh hampir di sepanjang jalan, kami menyusuri sepanjang jalan beraspal sebatas jangkauan kami. Sungguh kawan, ini sangat indah. Indah sekali. Sejuk, sepi, hangat, ramah, dan…..damai!
Salak adalah denyut nadi kehidupan masayar akat ini. Salak adalah sumber penghidupan mereka. Hampir 99% masayarakat di sana hidup dengan bermata pencaharian sebagai petani salak.
Termasuk seorang bapak yang hari ini rumahnya aku kunjungi. Ia dapat menyekolahkan dan menghidupi keluarganya yang berjumlah 5 orang, dari bertani salak. Dari cerita yang dilontarkan oleh anak perempuannya, tanaman salak sangat menguntungkan dibandingkan padi.
Salak hanya membutuhkan sekali waktu tanam. Sementara padi berkali-kali waktu tanam. Dengan perawatan yang tidak perlu terlalu rumit dan njlimet, seorang petani salak mampu memeroleh hasil panen setiap tiga bulan sekali dengan jumlah yang cukup banyak.
Jika sukses, maka 2 hektar tanah mampu menghasilkan tujuh ton salak dengan harga per kilonya adalah 3-7 ribu rupiah. Jika harga sedang murah, salak dapat mencapai harga 2 ribu rupiah per kilonya. Dapat dibayangkan, jika setiap rumah memiliki sedikitnya 0,5 hektar kebun salak, maka dapat dipastikan, mereka tidak perlu lagi menjadi buruh bangunan, atau TKW di Negara tetangga.
Tempat ini sangat indah. Alami, sejuk, damai, dan tidak bising. Tempat ini juga memiliki potensi yang baik untuk budi daya ikan air tawar dan lele. Bebrapa rumah penduduk memiliki tempat penyemaian bibit lele dan ikan air tawar. Ini saya dapatkan saat berkunjung di desa tetangga yaitu, Rakit, Banjarnegara.
Di sana, selain penduduknya bertani salak, dan padi, juga membudidayakan ikan air tawar dan lele. Seorang penduduk yang sempat kami singgahi rumahnya, membudidayakan lele dan air tawar sebagai penghasilan tambahan selain ia juga memiliki kebun salak.
Menurut informasi dari anak perempuan si empunya rumah, jika sedang untung maka dapat memanen ikan lele dan air tawar dengan jumlah yang banyak. Kebetulan ia tidak menyebutkan jumlah pastinya. Dari panen salak dan ikan air twar serta lele inilah, masyarakat di sini dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, bahkan menyekolahkan anak-anak mereka.
Cerita dari seorang anak perempuan yang aku singgahi rumahnya hari ini, banyak dari masyarakat setempat yang menyekolahkan anak-anak mereka dari hasil bertani salak. Hampir sebagian besar masyarakat di desa ini menyekolahkan anak-anak mereka sampai jenjang SMU. Bayangkan, ini ukuran sebuah desa. Di mana belum ada transportasi umum yang masuk (angkot, koprades, dan semacamnya).
Beberapa orang yang sadar akan pentingnya pendidikan, menyekolahkan anak-anak mereka sampai jenjang pendidikan perguruan tinggi. Namun, beberapa masyarakat yang (menurut info: masih menganggap harta benda adalah tujuan utama, mereka hanya menyekolahkan anaknya sampai jenjang SMU).
Mereka Enggan Bertani Padi.Pohon salak hanya dengan sekali tanam, kemudian untuk selanjutnya hanya butuh perawatan. Dari awal masa tanam sampai dapat berbuah untuk pertama kalinya membutuhkan massa tiga tahun. Setelah itu, untuk dapat memeroleh panen selanjutnya, pohon salak tidak perlu ditanam lagi pohon salak yang baru. Cukup dengan perawatan teratur, pohon salak dapat menghasilkan buah salak yang baik, berkualitas, dan hasil produksi juga banyak. Ini yang membuat mereka enggan menanam padi.
Menurut mereka, padi tidak praktis dan tidak efektif. Pohon padi membutuhkan penanaman kembali setelah masa panen. Setelah ditanam membutuhkan perawatan yang njlimet. Mencangkul, menyemai bibit, memupuk, membersihkan laha, memupuk kembali, kemudian masa tunggu untuk waktu panen, setelah masa panen datang masih perlu lagi perawatan, padi harus dirontokkan dari tangkai, lalu disellip.
Dengab perawatan yang njlimet ini belum tentu dapat menghasilkan panen yang baik. Belum tentu jumlah pengeluaran untuk perawatan sebanding dengan hasil yang diperoleh. Bahkan bias jadi rugi banyak. Inilah yang membuat masyarakat di sini enggan menanam padi.
Petani Kreatif, Inovatif, Tangguh, Ulet, dan Cerdas. Merasa bosan dengan tanaman salak, beberapa orang mencoba untuk mengganti tanaman di lahan mereka denga padi. Namun, setelah mereka menempuh proses dan massa perawatan, hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan tenaga dan modal yang mereka keluarkan. Lalu mereka mengganti dengan tanaman salak lagi.
Jika dilihat dari cara mereka melakukan usaha, mereka sebenarnya adalah petani yang kreatif, Inovatif, dan cerdas. Mereka kreatif dan inovatif dengan mengganti tanaman salak ke tanaman padi. Mencari perbandingan tanaman mana yang lebih banyak mendatangkan income. Selain itu, untuk meningkatkan taraf hidup mereka, mereka mencari penghasilan lain dengan bertani lele dan ikan air tawar.
Pola pikir mereka untuk mengganti tanaman salak ke tanaman padi, menciptakan lapangan pekerjaan baru dengan memelihara ikan air tawa dan lele membuktikan mereka adalah petani yang kreatif, inovatif, tangguh, ulet, dan cerdas.
Tidak akan memiliki keberanian bagi seseorang yang tidak memiliki sifat tersebut untuk melakukan hal-hal menantang. Dikatakan menantang sebab, mereka berani mengganti tanaman salak yang sudah jelas-jelas mendatangkan penghasilan yang baik ke tanaman padi. Mereka berupaya menciptakan sumber penghasilan lain dengan memelihara ikan lele dan iar tawar. Pola seperti Ini tidak akan dimiliki oleh orang-orang yang pola pikirannya sudah stag, yang menganggap cukup dengan hanya bertanam salak.
Memlihara tanaman salak, memelihara lele, dan ikan air tawar butuh keuletan dan budaya kerja keras yang tinggi. Sebab jika tidak, bukan tidak mungkin lagi hasil panen tidak dapat diperoleh dengan baik. Ini hanya dimiliki oleh merek ayang memiliki kecerdasan, keuletan, tangguh. Tak mudah goyah oleh rasa lelah. Teguh pendirian pada produksi pangan.
Harus Diperhatikan. Melihat pola hidup semacam ini. Pemerintah harus memerhaitkankehidupan mereka. Mereka adalah petani-petani produktif. Pemerintah harus memebrikan “perlindungan” atas kinerja mereka. Jika tidak, bias jadi suatu saat sistem seperti ini menjadi hilang akibatnya adalah pemerintah akan kehilangan lapangan pekerjaan. Efek buruknya adalah semakin bertambahnya pengangguran.
Pemerintah dapat memberikan perhatian dengan cara melindungi hasil produksi mereka dari para tengkulak yang sewaktu-waktu dapat memainkan harga dengan seenak perut sendiri tanpa memerhatikan proses produksi, dan efek dari sistem pemberian harga yang mereka lakukan.
Purwokerto,Minggu, 0 3 Januari 2010
Bau tanah basah dan sedap rumput basah yang dibakar itu mengingatkanku akan masa lalu di mana aku masih kecil. Hidup di sebuah desa dengan masyarakat yang masih bersahaja. Ramah tamah, gotong royong, dan saling bantu adalah norma utama yang masih dijunjung tinggi.
Siang hari di Minggu itu aku menginjakkan kaki di sebuah tempat yang….maha indah. Tempat di mana aku dulu pernah merasakan suasana seperti ini. Basah, sejuk, dingin, harum, menawan, hangat, dan harmonis.
Perjalananku hari ini adalah petualang yang maha indah. Adalah sebuah petualangan yang…aku tidak mampu menguraikannya dengan kata-kata, hanya mampu untuk aku rasakan.
Kebun salak itu, pohon-pohon rindang itu, orang-orang itu, ramah-tamah itu, kolam ikan itu, adalah de javu hari ini. Aku pernah merasakannya dulu. Bukan dalam mimpi, namun sebuah kenyataan hidup, sebuah pengalaman masa lalu.
Bapak setengah tua itu menyapa kami dengan logat ngapaknya. Suara dan senyumannya hangat, akrab, dan ramah. Aku menyukai ini. Seorang ibu setengah tua, hampir seumuran dengan mama, menyapa dengan cara yang sama. Hangat, ramah, tulus.
Jarum jam menunjukkan pukul 11.12wib. namun begitu, terik matahari tak terasa panas, mekipun terik matahari ini sudah mampu mengeringkan baju milik temanku yang pagi tadi dicuci.
Sebab penasaran dengan pohon-pohon salak yang tumbuh hampir di sepanjang jalan, kami menyusuri sepanjang jalan beraspal sebatas jangkauan kami. Sungguh kawan, ini sangat indah. Indah sekali. Sejuk, sepi, hangat, ramah, dan…..damai!
Salak adalah denyut nadi kehidupan masayar akat ini. Salak adalah sumber penghidupan mereka. Hampir 99% masayarakat di sana hidup dengan bermata pencaharian sebagai petani salak.
Termasuk seorang bapak yang hari ini rumahnya aku kunjungi. Ia dapat menyekolahkan dan menghidupi keluarganya yang berjumlah 5 orang, dari bertani salak. Dari cerita yang dilontarkan oleh anak perempuannya, tanaman salak sangat menguntungkan dibandingkan padi.
Salak hanya membutuhkan sekali waktu tanam. Sementara padi berkali-kali waktu tanam. Dengan perawatan yang tidak perlu terlalu rumit dan njlimet, seorang petani salak mampu memeroleh hasil panen setiap tiga bulan sekali dengan jumlah yang cukup banyak.
Jika sukses, maka 2 hektar tanah mampu menghasilkan tujuh ton salak dengan harga per kilonya adalah 3-7 ribu rupiah. Jika harga sedang murah, salak dapat mencapai harga 2 ribu rupiah per kilonya. Dapat dibayangkan, jika setiap rumah memiliki sedikitnya 0,5 hektar kebun salak, maka dapat dipastikan, mereka tidak perlu lagi menjadi buruh bangunan, atau TKW di Negara tetangga.
Tempat ini sangat indah. Alami, sejuk, damai, dan tidak bising. Tempat ini juga memiliki potensi yang baik untuk budi daya ikan air tawar dan lele. Bebrapa rumah penduduk memiliki tempat penyemaian bibit lele dan ikan air tawar. Ini saya dapatkan saat berkunjung di desa tetangga yaitu, Rakit, Banjarnegara.
Di sana, selain penduduknya bertani salak, dan padi, juga membudidayakan ikan air tawar dan lele. Seorang penduduk yang sempat kami singgahi rumahnya, membudidayakan lele dan air tawar sebagai penghasilan tambahan selain ia juga memiliki kebun salak.
Menurut informasi dari anak perempuan si empunya rumah, jika sedang untung maka dapat memanen ikan lele dan air tawar dengan jumlah yang banyak. Kebetulan ia tidak menyebutkan jumlah pastinya. Dari panen salak dan ikan air twar serta lele inilah, masyarakat di sini dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, bahkan menyekolahkan anak-anak mereka.
Cerita dari seorang anak perempuan yang aku singgahi rumahnya hari ini, banyak dari masyarakat setempat yang menyekolahkan anak-anak mereka dari hasil bertani salak. Hampir sebagian besar masyarakat di desa ini menyekolahkan anak-anak mereka sampai jenjang SMU. Bayangkan, ini ukuran sebuah desa. Di mana belum ada transportasi umum yang masuk (angkot, koprades, dan semacamnya).
Beberapa orang yang sadar akan pentingnya pendidikan, menyekolahkan anak-anak mereka sampai jenjang pendidikan perguruan tinggi. Namun, beberapa masyarakat yang (menurut info: masih menganggap harta benda adalah tujuan utama, mereka hanya menyekolahkan anaknya sampai jenjang SMU).
Mereka Enggan Bertani Padi.Pohon salak hanya dengan sekali tanam, kemudian untuk selanjutnya hanya butuh perawatan. Dari awal masa tanam sampai dapat berbuah untuk pertama kalinya membutuhkan massa tiga tahun. Setelah itu, untuk dapat memeroleh panen selanjutnya, pohon salak tidak perlu ditanam lagi pohon salak yang baru. Cukup dengan perawatan teratur, pohon salak dapat menghasilkan buah salak yang baik, berkualitas, dan hasil produksi juga banyak. Ini yang membuat mereka enggan menanam padi.
Menurut mereka, padi tidak praktis dan tidak efektif. Pohon padi membutuhkan penanaman kembali setelah masa panen. Setelah ditanam membutuhkan perawatan yang njlimet. Mencangkul, menyemai bibit, memupuk, membersihkan laha, memupuk kembali, kemudian masa tunggu untuk waktu panen, setelah masa panen datang masih perlu lagi perawatan, padi harus dirontokkan dari tangkai, lalu disellip.
Dengab perawatan yang njlimet ini belum tentu dapat menghasilkan panen yang baik. Belum tentu jumlah pengeluaran untuk perawatan sebanding dengan hasil yang diperoleh. Bahkan bias jadi rugi banyak. Inilah yang membuat masyarakat di sini enggan menanam padi.
Petani Kreatif, Inovatif, Tangguh, Ulet, dan Cerdas. Merasa bosan dengan tanaman salak, beberapa orang mencoba untuk mengganti tanaman di lahan mereka denga padi. Namun, setelah mereka menempuh proses dan massa perawatan, hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan tenaga dan modal yang mereka keluarkan. Lalu mereka mengganti dengan tanaman salak lagi.
Jika dilihat dari cara mereka melakukan usaha, mereka sebenarnya adalah petani yang kreatif, Inovatif, dan cerdas. Mereka kreatif dan inovatif dengan mengganti tanaman salak ke tanaman padi. Mencari perbandingan tanaman mana yang lebih banyak mendatangkan income. Selain itu, untuk meningkatkan taraf hidup mereka, mereka mencari penghasilan lain dengan bertani lele dan ikan air tawar.
Pola pikir mereka untuk mengganti tanaman salak ke tanaman padi, menciptakan lapangan pekerjaan baru dengan memelihara ikan air tawa dan lele membuktikan mereka adalah petani yang kreatif, inovatif, tangguh, ulet, dan cerdas.
Tidak akan memiliki keberanian bagi seseorang yang tidak memiliki sifat tersebut untuk melakukan hal-hal menantang. Dikatakan menantang sebab, mereka berani mengganti tanaman salak yang sudah jelas-jelas mendatangkan penghasilan yang baik ke tanaman padi. Mereka berupaya menciptakan sumber penghasilan lain dengan memelihara ikan lele dan iar tawar. Pola seperti Ini tidak akan dimiliki oleh orang-orang yang pola pikirannya sudah stag, yang menganggap cukup dengan hanya bertanam salak.
Memlihara tanaman salak, memelihara lele, dan ikan air tawar butuh keuletan dan budaya kerja keras yang tinggi. Sebab jika tidak, bukan tidak mungkin lagi hasil panen tidak dapat diperoleh dengan baik. Ini hanya dimiliki oleh merek ayang memiliki kecerdasan, keuletan, tangguh. Tak mudah goyah oleh rasa lelah. Teguh pendirian pada produksi pangan.
Harus Diperhatikan. Melihat pola hidup semacam ini. Pemerintah harus memerhaitkankehidupan mereka. Mereka adalah petani-petani produktif. Pemerintah harus memebrikan “perlindungan” atas kinerja mereka. Jika tidak, bias jadi suatu saat sistem seperti ini menjadi hilang akibatnya adalah pemerintah akan kehilangan lapangan pekerjaan. Efek buruknya adalah semakin bertambahnya pengangguran.
Pemerintah dapat memberikan perhatian dengan cara melindungi hasil produksi mereka dari para tengkulak yang sewaktu-waktu dapat memainkan harga dengan seenak perut sendiri tanpa memerhatikan proses produksi, dan efek dari sistem pemberian harga yang mereka lakukan.
Purwokerto,Minggu, 0 3 Januari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)