Sabtu, 4 April 2009. Anak-anak kelas IV SD Al Irsyad Al-Islamiyyah I Purwokerto, mengadakan kunjungan ke pabrik tahu Kalisari, Cilongok.
Disertai dengan 8 guru pendamping, sejumlah 151 anak, melakukan out door study. Out door study kali ini mengusung tema “Cintai Produk dalam Negeri”.
Dengan menggunakan 24 mobil milik orang tua wali murid, rombongan berangkat pukul 07.30 wib. Selama kurang lebih 30 menit, rombongan tiba di lokasi.
Desa Kecil yang Produktif
Kalisari adalah desa kecil, bagian dari wilayah Banyumas. Letaknya tidak begitu jauh dengan objek wisata Curug Cipendok. Bagi yang sudah pernah berkunjung ke objek wisata Jurug Cipendok, tentunya akan melewati desa ini.
Meskipun dibilang kecil, desa ini terbilang produktif. Sebanyak 460 kelompok produsen tahu, berdiri di wilayah ini. Jumlah yang bisa dibilang cukup besar.
Bisa dibilang, industri tahu adalah nafas kehidupan wilayah ini. Sebab hampir sebagian warganya berkecimpung dalam kegiatan ini.
Tahu sudah mampu memberi penghidupan layak bagi beberapa warga di daerah ini. Adalah bapak Taruno. Salah satu produsen tahu di daerah ini yang sejak 1987 menggeluti profesi sebagai produsen tahu.
Dengan usahanya, ia sudah mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang perguruan tinggi. Bahkan sudah mampu membeli mobil sendiri.
Tetap Semangat!
Meskipun di pabrik tahu udara terasa panas, tidak membuat anak-anak enggan untuk melakukan kegiatan ini.
Disebabkan rasa penasaran dan tuntutan tugas, mereka bersemangat mengamati proses pembuatan tahu dari awal sampai akhir.
Kami Cinta Produk Dalam Negeri
Dengan peluh bercucuran dan wajah merah merona, anak-anak melakukan kegiatan dengan penuh antusias.
Kurang lebih dua setengah jam anak-anak melakukan pengamatan, wawancara, dan mengerjakan tugas.
Setelah kegiatan selesai, acara dilanjutkan dengan ajang belanja dan menyantap tahu bersama. Siapa yang menyangka anak-anak begitu antusias membeli dan memakan produk dalam negeri ini? Yah, sebab kami mencintai produk dalam negeri.
Kamis, 16 Juli 2009
Kamus Bahasa “Gak-Guk”
“I am sorry. May I use your printer? Uridu an printout my file” (Maaf, bolehkah saya menggunakan printer kamu? Saya ingin…..)
“Yes. Tafadol.” (Ya, silakan).
“As al. Ustadz, are you know where is my mirsamah?” (Tanya. Ustad, apakah kamu tahu di mana penggaris saya?”
“La a’rif.” (Tidak tahu).
Siapa yang pernah mendengar percakapan semacam ini? Atau barangkali baru pernah membacanya?
Ini adalah percakapan yang terjadi antara saya dengan teman seprofesi. Orang yang belum tahu, mungkin akan memicingkan sebelah matanya terlebih dahulu atau mengerutkan dahi. Atau bertanya-tanya dalam hati, “orang ini ngomong apa?” Karena ini bahasa asing.
Bukan, ini sebenarnya bukan bahasa asing. Bahasa ini sudah sering kita jumpai. Bahsa Arab dan Inggris. Hanya saja penggunannya dicampur-campur. Kok bisa? Bisa saja. Kenyataannya di masyarakat ada.
Jangan bingung. Ini adalah perckapan bahasa inggris yang disisipi bahasa arab. Percakapan macam ini, terjadi antara guru-guru di salah satu sekolah dasar terbesar di Banyumas. Tepatnya di SD Al-Irsyad Al-Islamiyyah Purwokerto I.
Percakapan macam ini berlaku kepada semua staff pengajar mulai dari pukul 06.45 wib sampai jam sekolah selesai, 14.30 wib. Pemberlakuan ini terkait dengan peraturan dari sekolah yang mewajibkan bagi guru-gurunya untuk menggunakan dwilingual, bahasa inggris dan bahasa arab. Sebab bahasa Indonesia atau bahasa Jawa dianggap not allowed.
Pemberlakuan penggunaan dwilingual tersebut tentunya bukan karena sebab. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia.Sebab sekolah dapat bermutu tentunya karena sumber daya manusianya juga bermutu. Salah satunya penguasaan bahasa asing.
Terlebih, apabila sekolah tersebut sudah memiliki nama sebagai sekolah standar internasional. Tentunya harus selalu didukung dengan segala sesuatu yang serba bermutu. Selain SDM, juga kurikulum, proses pembelajaran, fasilitas sekolah, administrasi, dan lain-lainnya.
Dipandang sekilas, sungguh luar biasa sekolah ini! Namun, jika ditengok lebih jauh (baca; grammer) sungguh kacau. Sepanjang sepengetahuan saya, belum pernah saya menemui bahasa macam ini.
Satu lagi, berhubung sebagian besar guru masih sedikit yang mampu menggunakan secara aktif dua bahasa ini, maka kerap terjadi “gak-guk” antar pengguna.
Maka jangan heran jika sering dijumpai guru bercakap-cakap dengan megeluarkan kata “eeee…, apa yah” yang diulang berkali-kali sambil megang kepala atau menggerak-gerakkan tangan. Tanda ia sedang berpikir dan berusaha keras untuk mengungkapkan kata yang ia tidak mampu diucapkan dengan bahasa asing.
Beruntung masih ada toleransi penggunaan bahasa Jawa atau Indonesia untuk menerjemah kata yang tidak dipahami. Sehingga “gak-guk” tidak perlu terjadi terlalu lama.
Apapun bentuknya, ini adalah sebuah model baru yang unik. So, perlu dijaga agar tidak hilang. Mungkin sekolah perlu membuatkan kamus bahasa unik. Kalau saya boleh usul, saya akan mengusulkan, “Kamus Bahasa Gak-Guk”.
“Yes. Tafadol.” (Ya, silakan).
“As al. Ustadz, are you know where is my mirsamah?” (Tanya. Ustad, apakah kamu tahu di mana penggaris saya?”
“La a’rif.” (Tidak tahu).
Siapa yang pernah mendengar percakapan semacam ini? Atau barangkali baru pernah membacanya?
Ini adalah percakapan yang terjadi antara saya dengan teman seprofesi. Orang yang belum tahu, mungkin akan memicingkan sebelah matanya terlebih dahulu atau mengerutkan dahi. Atau bertanya-tanya dalam hati, “orang ini ngomong apa?” Karena ini bahasa asing.
Bukan, ini sebenarnya bukan bahasa asing. Bahasa ini sudah sering kita jumpai. Bahsa Arab dan Inggris. Hanya saja penggunannya dicampur-campur. Kok bisa? Bisa saja. Kenyataannya di masyarakat ada.
Jangan bingung. Ini adalah perckapan bahasa inggris yang disisipi bahasa arab. Percakapan macam ini, terjadi antara guru-guru di salah satu sekolah dasar terbesar di Banyumas. Tepatnya di SD Al-Irsyad Al-Islamiyyah Purwokerto I.
Percakapan macam ini berlaku kepada semua staff pengajar mulai dari pukul 06.45 wib sampai jam sekolah selesai, 14.30 wib. Pemberlakuan ini terkait dengan peraturan dari sekolah yang mewajibkan bagi guru-gurunya untuk menggunakan dwilingual, bahasa inggris dan bahasa arab. Sebab bahasa Indonesia atau bahasa Jawa dianggap not allowed.
Pemberlakuan penggunaan dwilingual tersebut tentunya bukan karena sebab. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia.Sebab sekolah dapat bermutu tentunya karena sumber daya manusianya juga bermutu. Salah satunya penguasaan bahasa asing.
Terlebih, apabila sekolah tersebut sudah memiliki nama sebagai sekolah standar internasional. Tentunya harus selalu didukung dengan segala sesuatu yang serba bermutu. Selain SDM, juga kurikulum, proses pembelajaran, fasilitas sekolah, administrasi, dan lain-lainnya.
Dipandang sekilas, sungguh luar biasa sekolah ini! Namun, jika ditengok lebih jauh (baca; grammer) sungguh kacau. Sepanjang sepengetahuan saya, belum pernah saya menemui bahasa macam ini.
Satu lagi, berhubung sebagian besar guru masih sedikit yang mampu menggunakan secara aktif dua bahasa ini, maka kerap terjadi “gak-guk” antar pengguna.
Maka jangan heran jika sering dijumpai guru bercakap-cakap dengan megeluarkan kata “eeee…, apa yah” yang diulang berkali-kali sambil megang kepala atau menggerak-gerakkan tangan. Tanda ia sedang berpikir dan berusaha keras untuk mengungkapkan kata yang ia tidak mampu diucapkan dengan bahasa asing.
Beruntung masih ada toleransi penggunaan bahasa Jawa atau Indonesia untuk menerjemah kata yang tidak dipahami. Sehingga “gak-guk” tidak perlu terjadi terlalu lama.
Apapun bentuknya, ini adalah sebuah model baru yang unik. So, perlu dijaga agar tidak hilang. Mungkin sekolah perlu membuatkan kamus bahasa unik. Kalau saya boleh usul, saya akan mengusulkan, “Kamus Bahasa Gak-Guk”.
Menjaga Tradisi Tidak Sekadar Biaya
Membaca artikel Chuby Tamansari berjudul “Karena Bangga juga Butuh Biaya” yang dimuat pada Radar Banyumas, edisi Minggu Wage, 27 Januari 2008, saya jadi teringat dengan artikel saya yang pernah dimuat di Suara Merdeka, edisi Senin, 07 Mei 2007, berjudul “Jankkis”. Kebetulan temanya sama, yiatu mengenai kebudayaan atau tradisi.
Dalam artikel tersebut, saya menulis mengenai musik tradisional “Jankkis”. Yaitu musik tradisional kentongan yang diciptakakan oleh sekolmpok anak muda dari Jalan Kissaran di salah satu wilayah di Banyumas.
Dari sebuah artikel yang saya unduh dari internet, munculnya musik ini berawal dari sebuah kebiasaan anak-anak muda bermain gitar sambil kongkow-kongkow tanpa ada tujuan yang jelas. Melihat hal demikian, seorang bapak yang merasa kasihan dengan mereka, mencetuskan ide untuk membuat paguyuban seni musik yang mana anggotanya adalah dari anak-anak muda tersebut.
Berawal dari modal yang sangat sederhana, maka berdirilah paguyban seni musik kentongan Jankkis. Seni musik ini dinamakan Jankiss, diambil dari nama jalan di mana anak-anak muda tersebut suka kongkow-kongkow. Yaitu Jalan Kissaran, yang kemudian disingkat menjadi Jankiss.
Perlahan-lahan, bulan demi bulan, paguyuban seni musik ini mulai unjuk gigi. Barangkali karena orang yang melihat merasa nyaman dan senang dengan musik ini, maka beberapa kali paguyuban seni musik ini dimintai untuk tampil dalam rangka meramaikan acara-acara resepsi.
Paguyuban seni musik ini juga berulang kali menjuarai berbagai macam lomba musik tradisional yang pernah diadakan di Banyumas. Bahkan dalam sebuah artikel disebutkan, paguyuban seni musik ini pernah diundang untuk meramaikan acara di beberapa hotel di Banyumas.
Paguyuban seni musik tradisional Jankiss boleh dikatakan sudah mulai mendapatkan tempat di sebagian hati masyarakat, khususnya Banyumas. Maka jangan sampai kesenian ini nantinya hilang sia-sia begitu saja. Maka perlu adanya pewarisan atau regenerasi.
Chuby mengatakan, bangga (baca=menjaga) membutuhkan biaya. Namun pendapat saya mengatakan, selain biaya, untuk melestarikan budaya termasuk paguyuban seni musik Jankiss, juga dibutuhkan adanya proses pewarisan kepada generasi yang akan datang.
Meskipun biaya ada, namun tidak ada proses regenerasi/pewarisan pada generasi selanjutnya, niscaya sebuah tradisi atau budaya dapat eksis keberadaannya. Lihatlah seperti tradisi Doger, Angguk, permainan anak Nini Thowok, sampai sekarang sudah tidak ada bekasnya.
Jika saya bertanya pada anak-anak di sekitar rumah saya, mereka hampir tidak mengenal istilah tersebut. Padahal dulunya Doger, Angguk, dan permainan anak Ninik Thowok pernah menjadi hal yang faforit di hati masyarakat.
Saya sendiri juga mengalaminya. Jika saya ditanya bagaimana bentuk dan cara memainkannya, pasti saya tidak tahu. Salah satu sebabnya karena saya tidak pernah dikenalkan oleh orang tua atau orang-orang sebelum saya.
Maka saya sependapat dengan seorang Antropolog Indonesia, Koentjaraningrat, yang mengatakan bahwa, kebudayaan itu perlu adanya sistem pewarisan. Jadi, satu hal yang menjadi penyebab hilangnya tradisi ini karena tidak adanya proses pewarisan budaya dari generasi sebelumnya ke generasi yang berikutnya.
Memang tidak dapat disalahkan, adanya globalisasi dan modernisasi, membuat masyarakat—Indonesia—lebih cenderung untuk lebih melirik pada budaya asing yang dianggap lebih “nendang” di kalangan generasi muda. Sedang sesuatu yang berbau masa alau dianggap kuno.
Padahal ketiga macam tradisi ini, jika diuri-uri keberadaannya bisa menjadi sesuatu yang sangat berharga. Dan dapat menjadi “harta karun” yang tiada duanya. Jika dijual sebagai aset wisata, bukan tidak mungkin banyak orang yang “meliriknya”.
Terutama di mancanegara yang sangat mengagumi kebudayaan Indonesia yang mereka katakan sebagai sesuatu yang unik dan “wah”.
Siapa sih orangnya yang mau kehilangan produk atau hasil karya sendiri? Tidak ada, kecuali orang-orang bodoh yang tidak dapat menghargai hasil karya sendiri. Atau barangkali masyarakat kita semakin bodoh?
So, bukan hanya biaya yang dapat melanggengkan sebuah tradisi atau budaya. Namun, perlu adanya sebuah pewarisan budaya.
Dalam artikel tersebut, saya menulis mengenai musik tradisional “Jankkis”. Yaitu musik tradisional kentongan yang diciptakakan oleh sekolmpok anak muda dari Jalan Kissaran di salah satu wilayah di Banyumas.
Dari sebuah artikel yang saya unduh dari internet, munculnya musik ini berawal dari sebuah kebiasaan anak-anak muda bermain gitar sambil kongkow-kongkow tanpa ada tujuan yang jelas. Melihat hal demikian, seorang bapak yang merasa kasihan dengan mereka, mencetuskan ide untuk membuat paguyuban seni musik yang mana anggotanya adalah dari anak-anak muda tersebut.
Berawal dari modal yang sangat sederhana, maka berdirilah paguyban seni musik kentongan Jankkis. Seni musik ini dinamakan Jankiss, diambil dari nama jalan di mana anak-anak muda tersebut suka kongkow-kongkow. Yaitu Jalan Kissaran, yang kemudian disingkat menjadi Jankiss.
Perlahan-lahan, bulan demi bulan, paguyuban seni musik ini mulai unjuk gigi. Barangkali karena orang yang melihat merasa nyaman dan senang dengan musik ini, maka beberapa kali paguyuban seni musik ini dimintai untuk tampil dalam rangka meramaikan acara-acara resepsi.
Paguyuban seni musik ini juga berulang kali menjuarai berbagai macam lomba musik tradisional yang pernah diadakan di Banyumas. Bahkan dalam sebuah artikel disebutkan, paguyuban seni musik ini pernah diundang untuk meramaikan acara di beberapa hotel di Banyumas.
Paguyuban seni musik tradisional Jankiss boleh dikatakan sudah mulai mendapatkan tempat di sebagian hati masyarakat, khususnya Banyumas. Maka jangan sampai kesenian ini nantinya hilang sia-sia begitu saja. Maka perlu adanya pewarisan atau regenerasi.
Chuby mengatakan, bangga (baca=menjaga) membutuhkan biaya. Namun pendapat saya mengatakan, selain biaya, untuk melestarikan budaya termasuk paguyuban seni musik Jankiss, juga dibutuhkan adanya proses pewarisan kepada generasi yang akan datang.
Meskipun biaya ada, namun tidak ada proses regenerasi/pewarisan pada generasi selanjutnya, niscaya sebuah tradisi atau budaya dapat eksis keberadaannya. Lihatlah seperti tradisi Doger, Angguk, permainan anak Nini Thowok, sampai sekarang sudah tidak ada bekasnya.
Jika saya bertanya pada anak-anak di sekitar rumah saya, mereka hampir tidak mengenal istilah tersebut. Padahal dulunya Doger, Angguk, dan permainan anak Ninik Thowok pernah menjadi hal yang faforit di hati masyarakat.
Saya sendiri juga mengalaminya. Jika saya ditanya bagaimana bentuk dan cara memainkannya, pasti saya tidak tahu. Salah satu sebabnya karena saya tidak pernah dikenalkan oleh orang tua atau orang-orang sebelum saya.
Maka saya sependapat dengan seorang Antropolog Indonesia, Koentjaraningrat, yang mengatakan bahwa, kebudayaan itu perlu adanya sistem pewarisan. Jadi, satu hal yang menjadi penyebab hilangnya tradisi ini karena tidak adanya proses pewarisan budaya dari generasi sebelumnya ke generasi yang berikutnya.
Memang tidak dapat disalahkan, adanya globalisasi dan modernisasi, membuat masyarakat—Indonesia—lebih cenderung untuk lebih melirik pada budaya asing yang dianggap lebih “nendang” di kalangan generasi muda. Sedang sesuatu yang berbau masa alau dianggap kuno.
Padahal ketiga macam tradisi ini, jika diuri-uri keberadaannya bisa menjadi sesuatu yang sangat berharga. Dan dapat menjadi “harta karun” yang tiada duanya. Jika dijual sebagai aset wisata, bukan tidak mungkin banyak orang yang “meliriknya”.
Terutama di mancanegara yang sangat mengagumi kebudayaan Indonesia yang mereka katakan sebagai sesuatu yang unik dan “wah”.
Siapa sih orangnya yang mau kehilangan produk atau hasil karya sendiri? Tidak ada, kecuali orang-orang bodoh yang tidak dapat menghargai hasil karya sendiri. Atau barangkali masyarakat kita semakin bodoh?
So, bukan hanya biaya yang dapat melanggengkan sebuah tradisi atau budaya. Namun, perlu adanya sebuah pewarisan budaya.
Kentongan, Kreatifitas Baru Mencari Rejeki
Kretivitas muncul manakala kesulitan menghadang. Minimnya jumlah lapangan kerja, menimbulkan banyaknya pengagguran.
Ironisnya, jumlah pengangguran yang ada, tidak hanya dari kalangan orang-orang usia senja, namun dari usia muda juga tak kalah banyaknya.
Sebagai daerah agraris, Banyumas memiliki banyak sekali pengangguran. Dikatakan oleh bupati Banyumas, bahwa jumlah pengangguran di Banyumas sudah mencapai 400 ribu jiwa.
Tentunya dengan jumlah pengangguran sebanyak ini, dapat menimbulkan dampak buruk bagi pemkab Banyumas. Bisa jadi angka kemiskinan dan kriminalitas meningkat. Sebab ini selalu berbanding lurus dengan jumlah pengangguran.
Melalui kreatifitas sekelompok pemuda di Banyumas, musik kentongan, dapat menjadi alternatif pengurangan angka pengangguran.
Musik Unik yang Menjadi Teman Ronda
Kesenian musik kentongan merupakan musik khas masyarakat Banyumas, Jawa Tengah. Musik ini dimainkan oleh 10 hingga 20 orang, dengan dipimpin seorang atau dua orang mayoret. Biasanya pertunjukkan musik ini dilakukan di tempat-tempat wisata, festival daerah Banyumasan dan juga pada acara-acara daerah.
Awal terbentuknya musik kentongan ini pada mulanya adalah dari ide beberapa orang yang menjaga malam (ronda) di suatu daerah Banyumas. Mereka biasanya membawa alat dari bambu untuk dibunyikan sebagai tanda penjagaan dan juga menunjukkan waktu.
Dalam pergelaran musik kentongan, biasanya disertakan alat yang menyerupai gitar. Namun suaranya bukan dihasilkan dari petikan senar, namun dari bambu yang digesek. Juga ditambah dengan angklung, samba, dan bas yang terbuat dari drum plastik yang dilapisi karet ban mobil.
Kemudian alat ini dibunyikan beraturan sehingga menimbulkan suara yang merdu, lalu mereka memainkan kentongan ini meniru lagu-lagu daerah Banyumasan dan juga musik lagu jaman sekarang.
Pada dasarnya ini untuk menghilangkan kejenuhan saat ronda, kemudian berkembang menjadi alat musik khas Banyumas. Kesenian kentongan ini dapat mengiringi semua jenis lagu, namun lebih pas lagi bila mengiringi lagu-lagu daerah atau lagu yang religius.
Musik Serba Guna
Musik kentongan tergolong musik yang sangat unik, sebab musik ini dapat digunakan dalam acara resmi maupun non resmi. Tak kalah hebatnya dengan musik-musik pop modern.
Kesenian ini dapat disewa, apabila menginginkannya. Misalkan pada acara pernikahan, khitanan, atau hanya ingin sekadar tahu saja. Kesenian ini cukup terkenal juga di wilayang Jawa Tengah, terbukti setiap festival kesenian kentongan di Banyumas pesertanya bukan hanya dari daerah Banyumas saja tetapi ada juga dari luar Banyumas.
Dalam sosialisasi pemilihan Gubernur Jawa Tengah, di kabupaten Banyumas diselenggarakan dengan menampilkan kesenian kentongan dengan berkeliling pasar dan pusat-pusat keramaian.
Dalam kesempatan lain, musik kentongan juga pernah menyambut atlet Banyumas dalam Porda Jateng 2005, yang keluar sebagai juara umum.
Tampil Nyrntrik
Saat tampil di depan public, dalam acara perlombaan atau pertunjukkan, grup kentongan ini akan tampil dengan nyentrik dengan dandanan dan pakaian seragam yang nentrik pula.
Ratusan kelompok kentongan telah ada di Banyumas. Dalam sebuah artikel on line disebutkan terdapat 300 kelompok musik kentongan.
Sarana Mengais Rejeki
Kentongan sudah bisa dijadikan sebagai saran mengais rejeki yang dikelola dengan kegiatan ngamen.
Pengamen bukan peminta-minta. Mereka adalah penjual suara, sama halnya dengan artis atau grup band yang menjual suaranya. Bedanya, pengamen tempatnya di pinggiran jalan, di bus-bus, di terminal, dan tempat-tempat keraiaman.
Grup band memiliki tempat khusus, di panggung-panggung hiburan, di karaoke, dan tempat-temapat yang lebih layak lainnya. Mereka sama-sama mendapat uang setelah “aksi” nyanyinya selesai.
Grup Mahatidana Budaya, salah satu dari sekian banyak brup kentongan yang sudah mampu menikmati hasil dari trampilan yang mereka miliki.
Dari hasil ngamen, mereka mamapu membuka berbagai unit usaha, yang terkadang tidak beralian dengan seni kentongan. Ini adalah asset besar bagi pemerintah Banyumas. Setidaknya mereka dapat meringankan beban pemkab Banumas dalam penyediaan lapangan kerja.
Jika dilakukan dengan serius, bukan tak mungkin lagi grup musik ini dapat membuka lapangan kerja. Membuka bengkel pelatihan untuk masyarakat di luar Banyumas yang berminat belajar musik kentongan.
Seperti yang dilakukan oleh grup musik kentongan Mahatidana. Dari keseriusan yang mereka lakukan, mereka mampu mengumpulkan uang lebih dari 20 juta rupiah.
Dari hasil tersebut, mereka sudah memiliki unit usaha seperti keterampilan menjahit, pembuatan paving blok. Dari berbagai hasil unit usaha ini, kelompok ini dapat mengaryakan anggotanya yang semula menganggur.
Jika main di dalam kota, sekali main mereka mamapu memeroleh pemasukan minimal 1.5 juta rupiah. Di wilayah pinggiran Banyumas sekitar 2.5 juta rupiah, sedangkan di luar Banyumas sampai 3 juta rupiah.
Bagi masyarakat yang menghendaki hiburan menarik tapi dananya sedikit, dapat juga menyaksiskan perunjukkan musik ini. Sebab dengan hanya memberi seribu rupiah, dapat menikmati musik ini selama kurang lebih 15 menit.
Tentunya, jika pertunjukkan musik ini eksis dan makin berkembang, pedagang bambu akan mengalami permintaan tinggi. Dengan begitu, masyarakat akan meproduksi bamboo yang cukup guna memenuhi kebutuhan pasar. Maka terbukalah sebuah peluang usaha baru yang tentunta mamapu menyerap tenaga kerja baru.
Segala sesuatau yang ada di masyarakat sifatnya tidak pernah langgeng. Tentunya keberadaan music ini suatu saat akan mengalami kemunduran. Mengingat music ini bukan jenis music pop modern yang banyak disukai oleh kalangan anak muda sekarang.
Barangkali musik ini dapat dijadikan dalam satu paket wisata BATURADEN apabila menghendaki keberadaannya tetap eksis, seperti halnya kuda lumping, dan lengger yang sampai sekarang masih tetap ekis di Banyumas meskipun usianya sudah sangat tua.
Alternatifnya lainnya adalah, pengelola harus pintar-pintar memberikan sentuhan lebih pada jenis musik ini agar masyarakat tetap melirik pada musik ini. Misalnya dengan memasukkan alat musik modern ke dalamnya namun tidak mnghilangkan jenis musik aslinya.
Untuk menghindari adanya hal demikain, barangkali pemerintah ahrus memberikan perhatian khusus terhadap keberadaan musik ini. Jangan sampai, karena kurang perhatian, kemudian musik ini hilang di tengah masyarakat.
Ironisnya, jumlah pengangguran yang ada, tidak hanya dari kalangan orang-orang usia senja, namun dari usia muda juga tak kalah banyaknya.
Sebagai daerah agraris, Banyumas memiliki banyak sekali pengangguran. Dikatakan oleh bupati Banyumas, bahwa jumlah pengangguran di Banyumas sudah mencapai 400 ribu jiwa.
Tentunya dengan jumlah pengangguran sebanyak ini, dapat menimbulkan dampak buruk bagi pemkab Banyumas. Bisa jadi angka kemiskinan dan kriminalitas meningkat. Sebab ini selalu berbanding lurus dengan jumlah pengangguran.
Melalui kreatifitas sekelompok pemuda di Banyumas, musik kentongan, dapat menjadi alternatif pengurangan angka pengangguran.
Musik Unik yang Menjadi Teman Ronda
Kesenian musik kentongan merupakan musik khas masyarakat Banyumas, Jawa Tengah. Musik ini dimainkan oleh 10 hingga 20 orang, dengan dipimpin seorang atau dua orang mayoret. Biasanya pertunjukkan musik ini dilakukan di tempat-tempat wisata, festival daerah Banyumasan dan juga pada acara-acara daerah.
Awal terbentuknya musik kentongan ini pada mulanya adalah dari ide beberapa orang yang menjaga malam (ronda) di suatu daerah Banyumas. Mereka biasanya membawa alat dari bambu untuk dibunyikan sebagai tanda penjagaan dan juga menunjukkan waktu.
Dalam pergelaran musik kentongan, biasanya disertakan alat yang menyerupai gitar. Namun suaranya bukan dihasilkan dari petikan senar, namun dari bambu yang digesek. Juga ditambah dengan angklung, samba, dan bas yang terbuat dari drum plastik yang dilapisi karet ban mobil.
Kemudian alat ini dibunyikan beraturan sehingga menimbulkan suara yang merdu, lalu mereka memainkan kentongan ini meniru lagu-lagu daerah Banyumasan dan juga musik lagu jaman sekarang.
Pada dasarnya ini untuk menghilangkan kejenuhan saat ronda, kemudian berkembang menjadi alat musik khas Banyumas. Kesenian kentongan ini dapat mengiringi semua jenis lagu, namun lebih pas lagi bila mengiringi lagu-lagu daerah atau lagu yang religius.
Musik Serba Guna
Musik kentongan tergolong musik yang sangat unik, sebab musik ini dapat digunakan dalam acara resmi maupun non resmi. Tak kalah hebatnya dengan musik-musik pop modern.
Kesenian ini dapat disewa, apabila menginginkannya. Misalkan pada acara pernikahan, khitanan, atau hanya ingin sekadar tahu saja. Kesenian ini cukup terkenal juga di wilayang Jawa Tengah, terbukti setiap festival kesenian kentongan di Banyumas pesertanya bukan hanya dari daerah Banyumas saja tetapi ada juga dari luar Banyumas.
Dalam sosialisasi pemilihan Gubernur Jawa Tengah, di kabupaten Banyumas diselenggarakan dengan menampilkan kesenian kentongan dengan berkeliling pasar dan pusat-pusat keramaian.
Dalam kesempatan lain, musik kentongan juga pernah menyambut atlet Banyumas dalam Porda Jateng 2005, yang keluar sebagai juara umum.
Tampil Nyrntrik
Saat tampil di depan public, dalam acara perlombaan atau pertunjukkan, grup kentongan ini akan tampil dengan nyentrik dengan dandanan dan pakaian seragam yang nentrik pula.
Ratusan kelompok kentongan telah ada di Banyumas. Dalam sebuah artikel on line disebutkan terdapat 300 kelompok musik kentongan.
Sarana Mengais Rejeki
Kentongan sudah bisa dijadikan sebagai saran mengais rejeki yang dikelola dengan kegiatan ngamen.
Pengamen bukan peminta-minta. Mereka adalah penjual suara, sama halnya dengan artis atau grup band yang menjual suaranya. Bedanya, pengamen tempatnya di pinggiran jalan, di bus-bus, di terminal, dan tempat-tempat keraiaman.
Grup band memiliki tempat khusus, di panggung-panggung hiburan, di karaoke, dan tempat-temapat yang lebih layak lainnya. Mereka sama-sama mendapat uang setelah “aksi” nyanyinya selesai.
Grup Mahatidana Budaya, salah satu dari sekian banyak brup kentongan yang sudah mampu menikmati hasil dari trampilan yang mereka miliki.
Dari hasil ngamen, mereka mamapu membuka berbagai unit usaha, yang terkadang tidak beralian dengan seni kentongan. Ini adalah asset besar bagi pemerintah Banyumas. Setidaknya mereka dapat meringankan beban pemkab Banumas dalam penyediaan lapangan kerja.
Jika dilakukan dengan serius, bukan tak mungkin lagi grup musik ini dapat membuka lapangan kerja. Membuka bengkel pelatihan untuk masyarakat di luar Banyumas yang berminat belajar musik kentongan.
Seperti yang dilakukan oleh grup musik kentongan Mahatidana. Dari keseriusan yang mereka lakukan, mereka mampu mengumpulkan uang lebih dari 20 juta rupiah.
Dari hasil tersebut, mereka sudah memiliki unit usaha seperti keterampilan menjahit, pembuatan paving blok. Dari berbagai hasil unit usaha ini, kelompok ini dapat mengaryakan anggotanya yang semula menganggur.
Jika main di dalam kota, sekali main mereka mamapu memeroleh pemasukan minimal 1.5 juta rupiah. Di wilayah pinggiran Banyumas sekitar 2.5 juta rupiah, sedangkan di luar Banyumas sampai 3 juta rupiah.
Bagi masyarakat yang menghendaki hiburan menarik tapi dananya sedikit, dapat juga menyaksiskan perunjukkan musik ini. Sebab dengan hanya memberi seribu rupiah, dapat menikmati musik ini selama kurang lebih 15 menit.
Tentunya, jika pertunjukkan musik ini eksis dan makin berkembang, pedagang bambu akan mengalami permintaan tinggi. Dengan begitu, masyarakat akan meproduksi bamboo yang cukup guna memenuhi kebutuhan pasar. Maka terbukalah sebuah peluang usaha baru yang tentunta mamapu menyerap tenaga kerja baru.
Segala sesuatau yang ada di masyarakat sifatnya tidak pernah langgeng. Tentunya keberadaan music ini suatu saat akan mengalami kemunduran. Mengingat music ini bukan jenis music pop modern yang banyak disukai oleh kalangan anak muda sekarang.
Barangkali musik ini dapat dijadikan dalam satu paket wisata BATURADEN apabila menghendaki keberadaannya tetap eksis, seperti halnya kuda lumping, dan lengger yang sampai sekarang masih tetap ekis di Banyumas meskipun usianya sudah sangat tua.
Alternatifnya lainnya adalah, pengelola harus pintar-pintar memberikan sentuhan lebih pada jenis musik ini agar masyarakat tetap melirik pada musik ini. Misalnya dengan memasukkan alat musik modern ke dalamnya namun tidak mnghilangkan jenis musik aslinya.
Untuk menghindari adanya hal demikain, barangkali pemerintah ahrus memberikan perhatian khusus terhadap keberadaan musik ini. Jangan sampai, karena kurang perhatian, kemudian musik ini hilang di tengah masyarakat.
Tembang Jawa ada di PAUD
Lha kae pak guru…
Rawuh ngasta buku
Karo mesem ngguyu, tanda tresna karo aku.
Pak guru sing gagah
Mulang bocah-bocah
Sing sregep sekolah tahun ngarep mesti munggah
Bait tulisan di atas bukanlah lagu macapat, bukan pangkur, bukan pula dandang gula. Tembang di atas adalah sebuah lagu anak daerah. Pada tahun 80-an, lagu ini masih kerap didendangkan di sekolah-sekolah dasar, di daerah Banyumas, terutama sekolah dasar yang ada dipedesaan. Lagu-lagu ini diajarkan saat anak-anak masih berada di lefel satu sampai tiga.
Syairnya sangat sederhana, namun bila dicermati, lagu ini mengandung nasihat yang luar biasa. Bertutur menenai nasehat orang tua kepada anaknya bahwa siapa yang rajin belajar pasti dapat naik kelas.
Sebagai individu yang pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar selama enam tahun, saya mendapatkan materi lagu ini di kelas tiga. Di usianya yang sudah renta, guru saya mengajarkan dengan baik. Berkali-kali guru saya menyanyikannya, sampai akhirnya saya dan teman-teman dapat menghafal.
Setiap hari Sabtu, lagu ini dinyanyikan bersama-sama di kelas. Saat saya mengalami kesulitan menghafal, saya meminta kepada orang tua untuk mengajarkannya. Dengan bimbingan tambahan ini, dalam waktu dua hari, saya sudah mampu menghafalnya.
Dalam sebuah pembelajaran home schooling bahasa Inggris di rumah prestasi “Rumah Keong”, yang terletak di salah satu daerah di Banyumas, lagu ini digubah menjadi lagu berbahasa inggris dengan syairnya menunjukkan anggota tubuh. Tujuannya adalah agar anak-anak peserta home schooling lebih mudah menghafal anggota badan, tanpa harus dipusingkan dengan hafalan teks biasa.
Hasilnya memang luar biasa. Dengan cepat anak-anak mampu menghafal bagian tubuh yang jarang diucapkan. Seperti, siku, kening, pusar, tenggorokan, tengkuk, kuku, jari tengah, telunjuk, ibu jari, jari manis, jari kelingking, pantat, paha dan lain-lain.
Terlepas dari masalah materi menggubah lagu. Saat anak-anak ditanya, "pernah mendengar lagu ini ?" (sambil saya menyebutkan judul lagu serta lirik lagunya), serentak anak-anak menjawab, “tidak”. Tidak ada satu pun yang menjawab pernah.
Sungguh memprihatinkan! Jika anak-anak sekarang tidak mengetahui lagu-lagu tradisional masa lalu, bisa dipastikan, lambat laun lagu-lagu tradisional akan menghilang dari masyarakat. Tak ubahnya seperti dolanan anak yang semakin ditinggalkan oleh masyarakat.
Memang tidak bisa disalahkan, arus globalisasi menuntut semua orang harus berubah secara cepat, bergerak cepat, dan berpikir cepat, praktis, dan solutif. Jika tidak, maka akan tertinggal bahkan bisa jadi tidak diterima dalam kelompok masyarakat.
Barangkali hal inilah yang membentuk watak manusia sekarang semakin meninggalkan hal-hal yang dianggap kurang ngetrend, atau dengan kata lain, kuno. Sebab ada anggapan, yang kuno tidak memberi solusi, lamban, dan terkesan bertele-tele. Salah satunya adalah lagu-lagu tradisional daerah. Meskipun dalam lagu-lagu daerah terkandung nilai-nilai pendidikan.
Terkait dengan masalah PAUD yang akhir-akhir ini sedang marak dibicarakan, sepertinya tidak ada salahnya apabila kurikulum PAUD, di dalamnya disispkan materi lagu-lagu anak daerah. Meskipun dalam kurikulumnya, barang kali tidak ada materi lagu daerah, tidak ada salahnya apabila dari pihak pengajar sekali waktu menyisipkan lagu-lagu daerah.
Tujuannya, selain mengenalkan lebih dini nilai-nilai luhur tradisional, juga dapat menjadi antisipasi dini menghilangnya lagu tradisional (baca; tembang jawa) di masyarakat.
Permasalahnnya, mampukah PAUD melakukan yang demikian? Mengingat belum tentu semua pengajar di PAUD menguasai lagu-lagu tradisional. Bukan berarti mengabaikan kemampuan mereka, akan tetapi apakah mereka memiliki pengetahuan cukup terkait dengan materi budaya lokal seperti lagu-lagu daerah?
Ini menjadi PR bersama. Diharapkan tenaga pengajar PAUD di luar TPA/Q, memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya nilai-nilai budaya masa lalu, sehingga dengan senang hati mengajarkan dan mengenalkannya.
Rawuh ngasta buku
Karo mesem ngguyu, tanda tresna karo aku.
Pak guru sing gagah
Mulang bocah-bocah
Sing sregep sekolah tahun ngarep mesti munggah
Bait tulisan di atas bukanlah lagu macapat, bukan pangkur, bukan pula dandang gula. Tembang di atas adalah sebuah lagu anak daerah. Pada tahun 80-an, lagu ini masih kerap didendangkan di sekolah-sekolah dasar, di daerah Banyumas, terutama sekolah dasar yang ada dipedesaan. Lagu-lagu ini diajarkan saat anak-anak masih berada di lefel satu sampai tiga.
Syairnya sangat sederhana, namun bila dicermati, lagu ini mengandung nasihat yang luar biasa. Bertutur menenai nasehat orang tua kepada anaknya bahwa siapa yang rajin belajar pasti dapat naik kelas.
Sebagai individu yang pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar selama enam tahun, saya mendapatkan materi lagu ini di kelas tiga. Di usianya yang sudah renta, guru saya mengajarkan dengan baik. Berkali-kali guru saya menyanyikannya, sampai akhirnya saya dan teman-teman dapat menghafal.
Setiap hari Sabtu, lagu ini dinyanyikan bersama-sama di kelas. Saat saya mengalami kesulitan menghafal, saya meminta kepada orang tua untuk mengajarkannya. Dengan bimbingan tambahan ini, dalam waktu dua hari, saya sudah mampu menghafalnya.
Dalam sebuah pembelajaran home schooling bahasa Inggris di rumah prestasi “Rumah Keong”, yang terletak di salah satu daerah di Banyumas, lagu ini digubah menjadi lagu berbahasa inggris dengan syairnya menunjukkan anggota tubuh. Tujuannya adalah agar anak-anak peserta home schooling lebih mudah menghafal anggota badan, tanpa harus dipusingkan dengan hafalan teks biasa.
Hasilnya memang luar biasa. Dengan cepat anak-anak mampu menghafal bagian tubuh yang jarang diucapkan. Seperti, siku, kening, pusar, tenggorokan, tengkuk, kuku, jari tengah, telunjuk, ibu jari, jari manis, jari kelingking, pantat, paha dan lain-lain.
Terlepas dari masalah materi menggubah lagu. Saat anak-anak ditanya, "pernah mendengar lagu ini ?" (sambil saya menyebutkan judul lagu serta lirik lagunya), serentak anak-anak menjawab, “tidak”. Tidak ada satu pun yang menjawab pernah.
Sungguh memprihatinkan! Jika anak-anak sekarang tidak mengetahui lagu-lagu tradisional masa lalu, bisa dipastikan, lambat laun lagu-lagu tradisional akan menghilang dari masyarakat. Tak ubahnya seperti dolanan anak yang semakin ditinggalkan oleh masyarakat.
Memang tidak bisa disalahkan, arus globalisasi menuntut semua orang harus berubah secara cepat, bergerak cepat, dan berpikir cepat, praktis, dan solutif. Jika tidak, maka akan tertinggal bahkan bisa jadi tidak diterima dalam kelompok masyarakat.
Barangkali hal inilah yang membentuk watak manusia sekarang semakin meninggalkan hal-hal yang dianggap kurang ngetrend, atau dengan kata lain, kuno. Sebab ada anggapan, yang kuno tidak memberi solusi, lamban, dan terkesan bertele-tele. Salah satunya adalah lagu-lagu tradisional daerah. Meskipun dalam lagu-lagu daerah terkandung nilai-nilai pendidikan.
Terkait dengan masalah PAUD yang akhir-akhir ini sedang marak dibicarakan, sepertinya tidak ada salahnya apabila kurikulum PAUD, di dalamnya disispkan materi lagu-lagu anak daerah. Meskipun dalam kurikulumnya, barang kali tidak ada materi lagu daerah, tidak ada salahnya apabila dari pihak pengajar sekali waktu menyisipkan lagu-lagu daerah.
Tujuannya, selain mengenalkan lebih dini nilai-nilai luhur tradisional, juga dapat menjadi antisipasi dini menghilangnya lagu tradisional (baca; tembang jawa) di masyarakat.
Permasalahnnya, mampukah PAUD melakukan yang demikian? Mengingat belum tentu semua pengajar di PAUD menguasai lagu-lagu tradisional. Bukan berarti mengabaikan kemampuan mereka, akan tetapi apakah mereka memiliki pengetahuan cukup terkait dengan materi budaya lokal seperti lagu-lagu daerah?
Ini menjadi PR bersama. Diharapkan tenaga pengajar PAUD di luar TPA/Q, memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya nilai-nilai budaya masa lalu, sehingga dengan senang hati mengajarkan dan mengenalkannya.
Senin, 06 Juli 2009
Mengajar Tak Sekadar Teori
Oleh: Rosyidah Purwo
Menjadi guru adalah cita-citaku sejak SMA. Maka ketika saya diterima sebagai tenaga pengajar di sebuah sekolah dasar di Purwokerto, saya senang luar biasa.
Dengan berbekal ijazah SI pendidikan Sosiologi Antropologi, saya mendaftarkan diri sebagai tenaga pengajar di sana.
Apabila dilihat, sebenarnya tidak nyambung sama sekali antara back ground pendidikan dengan pekerjaan. Mengingat Sosiologi dan Antropologi adalah ilmu yang dipakai di sekolah-sekolah menengah atas. Namun saya tetap saja percaya diri. Mengapa? Sebab ada embel-embel pendidikannya, jadi setidak-tidaknya pekerjaan saya tidak melenceng terlalu jauh.
Hari pertama mengajar, saya begitu percaya diri. Yah, memang harus ada rasa percaya diri, kalau tidak bagaimana dapat menghadapi anak-anak.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu!”
Saya begitu lantang menyampaikan salam. Tujuannya adalah agar semua anak dapat mendengar.
Namun apa yang terjadi? Anak-anak tidak menjawab salam saya. Bahkan terkesan ogah-ogahan menerima saya di dalam kelas. Saya mengulang salam sekali lagi. Anak-anak masih ogah-ogahan menjawabnya.
Seorang guru senior masuk ke dalam kelas.. Dengan sedikit kata-kata darinya, anak-anak langsung diam dan tenang. Gaya bahasanya, mimic mukanya, gerakannya, sungguh luar biasa. Seperti satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Luwes dan bersahaja.
Guru senior itu kemudian pergi meninggalkan kelas. Kemudian kelas saya pegang. Apa yang terjadi? Anak-anak kembali rebut.
Dari sini aku berpikir,”mengajar bukan hanya sekadar teori, namun butuh ketrampilan dan pelatihan.”
Jadi latar pendidikan apapun, untuk menghadapi sebuah kelas yang besar dibutuhkan sebiah ketrampilan. Pengkondisisan anak, penguasaan materi, dan ketrampilan.
Jangan bangga menjadi seorang guru, jika hanya teori yang dimiliki.
Menjadi guru adalah cita-citaku sejak SMA. Maka ketika saya diterima sebagai tenaga pengajar di sebuah sekolah dasar di Purwokerto, saya senang luar biasa.
Dengan berbekal ijazah SI pendidikan Sosiologi Antropologi, saya mendaftarkan diri sebagai tenaga pengajar di sana.
Apabila dilihat, sebenarnya tidak nyambung sama sekali antara back ground pendidikan dengan pekerjaan. Mengingat Sosiologi dan Antropologi adalah ilmu yang dipakai di sekolah-sekolah menengah atas. Namun saya tetap saja percaya diri. Mengapa? Sebab ada embel-embel pendidikannya, jadi setidak-tidaknya pekerjaan saya tidak melenceng terlalu jauh.
Hari pertama mengajar, saya begitu percaya diri. Yah, memang harus ada rasa percaya diri, kalau tidak bagaimana dapat menghadapi anak-anak.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu!”
Saya begitu lantang menyampaikan salam. Tujuannya adalah agar semua anak dapat mendengar.
Namun apa yang terjadi? Anak-anak tidak menjawab salam saya. Bahkan terkesan ogah-ogahan menerima saya di dalam kelas. Saya mengulang salam sekali lagi. Anak-anak masih ogah-ogahan menjawabnya.
Seorang guru senior masuk ke dalam kelas.. Dengan sedikit kata-kata darinya, anak-anak langsung diam dan tenang. Gaya bahasanya, mimic mukanya, gerakannya, sungguh luar biasa. Seperti satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Luwes dan bersahaja.
Guru senior itu kemudian pergi meninggalkan kelas. Kemudian kelas saya pegang. Apa yang terjadi? Anak-anak kembali rebut.
Dari sini aku berpikir,”mengajar bukan hanya sekadar teori, namun butuh ketrampilan dan pelatihan.”
Jadi latar pendidikan apapun, untuk menghadapi sebuah kelas yang besar dibutuhkan sebiah ketrampilan. Pengkondisisan anak, penguasaan materi, dan ketrampilan.
Jangan bangga menjadi seorang guru, jika hanya teori yang dimiliki.
Langganan:
Postingan (Atom)