
Rabu, 29 Juni 2011
Sakit; Ujian atau Adzab Tuhan?

Senin, 27 Juni 2011
Tulus Menerima atau Berharap untuk Diberi?

Suatu pagi yang cerah. Saya tergopoh pergi ke sekolah dengan menenteng tas cangklek biru laut pemberian mama lima tahun lalu. Meskipun sudah cukup lama, tas itu masih terlihat baru. Karena jarang sekali digunakan. Menurut saya tas tersebut kurang simple dikenakan. Teralu besar untuk ukuran tubuh saya yang cukup kecil. Tas itu sengaja dibeli oleh mama karena saya sedang mengerjakan skripasi. Biar tidak ribet menenteng skripsi, kata Mama.
Sampai di gerbang sekolah, seorang kawan menyapa sambil melontarkan pertanyaan, “tasnya bagus. Dari siapa?” Tentu saja saya berbahagia sekali mendapat sambutan hangat seprti itu. Apalagi sampai pada barang yang saya kenakan. Hanya saja ada sedikit rasa aneh dari pertanyaan “dari siapa”. Menurut saya, dari siapa tas yang saya pakai adalah urusan pribadi yang tidak perlu ditanyakan oleh orang lain. Kecuali jika memang saya menghendaki untuk memberi tahu.
Wajar memang jika pertanyaan semacam itu muncul, sebab di sekolah tempat saya mengajar, seorang guru diberi hadiah oleh wali murid sudah menjadi hal biasa dan lumrah. Terlebih jika musim kelulusan dan kenaikan kelas tiba, bisa jadi seorang guru mendapat lebih dari sepuluh macam hadiah.
Barangkali saja kawan saya memiliki anggapan bahwa tas saya yang terlihat bagus di matanya adalah pemberian juga. Ada betulnya memang kalau ada anggapan semacam itu, karena memang tas cangklek warna biru milik saya itu adalah hasil pemberian, bukan hasil saya beli dari uang sendiri. Hasil pemberian mama saya tercinta yang sangat perhatian dan lucu.
Bukanlah sebuah kesalahan menerima hadiah. Sebab, menolak pemberian juga tidak dibenarkan. Namun, jika menerima pemberian sudah berubah menjadi ‘budaya menerima’, dan berujung pada ‘harapan untuk diberi’ ini yang perlu diwaspadai.
Rosulullah SAW tidak pernah melarang untuk menerima pemberian. Bahkan rosul juga pernah menerima pemberian sebidang kebun kurma dari Abu Thalhah Al-Anshari seorang hartawan dikalangan Anshar. Pemberian itu diterima oleh Rasulullah SAW dengan baik dan memuji keikhlasannya
|
لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ وَمَاتُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللهَ بِه عَلِيْمٌ
(Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya).
Jadi, tidak ada salahnya menerima pemberian dari teman, sebab rosul tidak melarang. Namun perlu berhati-hati, jangan sampai penerimaan itu berubah menjadi harapan untuk diberi. Bukankah tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah?
Allohu Akbar itu Jahat, Subhanallah itu Nyumpahin

Oleh: Rosyidah Purwo*)
Suatu hari di siang yang cukup panas. Sepulang dari berbagi ilmu dengan anak-anak, perasaan lelah sungguh terasa sekali. Segera saya pulang ke rumah kost. Ingin cepat-cepat berjumpa dengan bantal dan kasur agak empuk yang sudah satu tahun tak kunjung dijemur.
Saya rebahan di atas kasur agak empuk tanpa berganti pakaian terlebih dahulu. Lalu saya melakukan registrasi layanan obrol siang yang diberikan oleh Indosat kepada pelanggan GSM Mentari dengan tujuan supaya biaya telepon tidak terlalu mahal. Dengan membayar Rp 1000,00 saya dapat ngobrol selama 60 menit.
Hari itu ‘penyakit’ (kangen) saya sedang kambuh. Seperti biasa, jika sudah begitu, pasti saya akan menelpon mama lamaaa sekali. Maklum, saya dan mama terpisah dalam jarak yang cukup jauh. Jadi, sebagai obat pelepas rindu ya dengan telpon-teleponan itu.
Siang itu, saya melakukan regsitrasi ke operator 303 lalu saya kirim pesan seperti ini: SIANG. Dengan segera operator membalas SMS saya. Ah, bahagia rasanya. Saya langusung menyambar pesawat telepon dan ngobrol asyik bareng mama.
Setelah bertegur sapa, mama akan menanyakan kabar pekerjaan, kabar kesehatan, kabar jodoh saya (yang -mudah-mudahan- sebentar lagi datang), kabar cucu (khayalan) yang entah dari mana mama selalu bertanya seperti itu (he he he, mungkin saya dianggap sudah cukup umur dan sangat-sangat pantas untuk menimang anak), Mama akan mencari topik pembicaraan yang selalu saja menarik. Topik pembicaraan siang itu ada cerita tentang bosnya yang unik dan lucu.
“Saya punya cerita”, begitu mama memulai pembicaraan inti.
“Apa itu?” tanya saya.
“Kamu jangan tertawa ya…” kata Mama.
“Mudah-mudahan”, jawab saya.
Siang itu mama memulai pembicaraan tentang bosnya yang memiliki kesalahpahaman tentang sebuah kalimat. Kesalahpahaman yang sempat membuat mama harus ‘bekerja’ lebih ekstra.
Begini ceritanya, suatu hari mama dan bosnya mama menonton televis bersama-sama di ruang keluarga rumah milik bosnya mama. Ruang keluarga yang cukup sederhana untuk ukuran rumah yang sangat mewah di bilangan Pulau Matahari, Jakarta. Yah, saya bisa mengatakannya karena saya pernah berkunjung ke sana.
Di ruang keluarga itu, mama dan bos sama-sama menonton televisi. Mama memilih sebuah canal televise yang menyiarkan berita. Isi beritanya saat itu adalah tentang sebuah kerusuhan (dilihat dari kacamata orang kebanyakan) yang dilakukan oleh salah satu ormas Islam yang cukup sering disebut-sebut namanya di seluruh media massa yang ada di negeri saya tercinta Indonesia Raya.
Ciri khas unik dari ormas yang satu ini adalah selalu meneriakan kalimat Allahu Akbar! setiap kali hendak melancarkan aksinya. Perlahan namun pasti, karena terlalu sering melihat adegan yang demikian, kalimat dan aksi ini dipelajarai secara baik-baik oleh bosnya mama. Al hasil, diperoleh sebuah kesimpulan bahwa Allahu Akbar adalah sebuah kalimat yang ditujukan untuk sebuah hal yang jahat.
Bosnya mama kebetulan terlahir dari keluarga yang berbeda agama dengan mama. Ditambah dengan latar kehidupannya yang unik. Sejak kecil hidup di Amerika Serikat sampai selesai kuliah. Setelah menikah baru pindah ke Indonesia. Praktis, ia tidak memahami kultur yang ada di Indonesia.
“Sus,” begitu ia manyapa mama saya. Sus berarti suster. Yah, mama saya
adalah seorang suster . Sejak bergabung dengan sebuah lembaga pendidikan (kalau mama menyebutnya yayasan) perawatan anak, atau orang lebih sering menyebut suster, mama beralih profesi, dari ibu rumah tangga menjadi seorang suster.
Tugas seorang suster adalah khusus mengasuh anak mulai dari urusan A-Z. Menjadi suster bukanlah tugas yang ringan. Suster harus pinter segala-galanya. Pinter bahasa Inggris, pinter menguasai materi pelajaran anak-anak usia sekolah dasar, pinter mengasuh anak, harus mengetahui banyak lagu anak-anak, harus memahami keyakinan si empunya anak, bahkan jika di sekolah tempat anak yang diasuh ada materi asing, seperti bahasa Mandarin, misalnya, seorang suster dituntut untuk bisa. Jika tidak, jangan harap profesi sebagai suster mampu bertahan lama. Bisa-bisa hanya dalam hitungan jam didepak dari tempat kerja, tragisnya dikeluarkan dari yayasan.
Enaknya menjadi seorang suster adalah jika musim liburan anak tiba. Biasanya akan diajak menikmati liburan sekolah bersama ke mana pun sesuai keinginan si empunya anak alias bos. Pernah mama diajak pergi ke Amerika Serikat selama satu minggu. Pernah juga ke Hongkong, Singapore, Malaysia, Bali, Lombok, dan beberapa loka wisata di tanah air, mama pernah mengunjunginya. Bahkan ke Bali sudah bukan hal yang aneh lagi. Hampir setiap liburan mama ikut serta ke sana. Lumayan bukan? Itung-itung numpang liburan gratis J.
Enaknya lagi adalah jika sudah menjadi senior. Seorang suster tidak melulu mengurusi anak-anak, terkadang diikutsertakan dalam urusan bisnis si bos. Misalnya mengatur jadwal bos, mengatur kenaikan gaji karyawan, menentukan THR, menentukan menu makan sehari-hari si bos.
Jika sudah seperti ini, uang akan mengalir dengan mudah. Terlebih jika sudah menjadi suster kepercayaan bos, jangan khawatir kekurangan uang. Segalanya akan dipenuhi dan diperhatikan oleh bos. Mulai dari pakaian, uang jajan, uanga makan, uang untuk anak sendiri (jika seorang suster memiliki anak). Terlebih jika bosnya adalah orang baik hati, seorang suster bisa seperti ketiban rejeki untung beliung (hadiah Britama kali ya?).
Obrolan itu berlanjut seperti ini:
“Kemarin Mama dibilangin jahat?” kata Mama setengah tertawa.
“Kenapa?!” tanya saya terkejut, khawatir Mama jahat betulan.
“Mama kan bilang Allahu Akbar saat bos menjerit-jerit karena digigit semut. Lalu bos bilang, kok jahat, begitu, Ti…” katanya setengah tertawa. Saya ikut-ikutan tertawa.
“Terus, subhanallah itu katanya nyumpahin” kata Mama masih sambil tertawa.
“Lho kok bisa?” tanya saya.
“mama tidak tahu. Kan kemarin Mama bilang subhanallah saat bos dapat hadiah. Eh, bos marah-marah katanya Mama nyumpahin” kata mama sambil terkekeh-kekeh.
Beruntung salah pengertian itu tidak berlangsung lama sebab mama saya segera menjelaskan dengan baik sekali akan makna dua kata tersebut. Kata mama, Allahu Akbar adalah lafal sebuah doa agar Tuhan selalu memberi perlindungan. Subhanallah adalah memuji kepada Tuhan agar selalu diberi kebaikan.
“Bos, maksudnya adalah mereka berdoa agar Tuhan melindungi. Artinya bukan jahat. Yah, seperti bos berdoa pada Tuhan agar diberi perlindungan…bos pernah kan mau jahil sama suami atau anak, atau sama saya, terus berdoa dulu sama Tuhan?”
Begitu mama mengakhiri pembicaraan siang itu. Kami tertawa bersama-sama.
*) Rosyidah Purwo. Staf pengajar di RSDBI Al Irsyad Al Islamiyyah 01 Purwokerto.