Oleh: Rosyidah Purwo
Dalam sebuah percakapan menjelang tidur, seorang teman bercerita kepadaku tentang perjalannnya menuju ke sebuah kota Atlas, alias Semarang City. Dalam perjalanannya menuju ke sana, ia ditemani oleh seorang bapak bersama istri dan anak tercintanya.
Pagi hari setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam, mereka berhenti di sebuah rumah makan. Dalam keadaan yang cukup melelahkan dan kelaparan, sebab mereka tidak sarapan dulu saat hendak berangkat, mereka mengambil makan sebanyak-banyaknya, mumpung gratis.
Masing-masing sudah tersaji di hadapan merreka satu piring menu sarapan pagi dan satu gelas teh hangat. Bismillahirrohmaaanirohiiim….setelah membaca doa makan bersama, tentunya di dalam hati, mereka makan dengan khusyu dan lahap. Suasana hening. Hanya suara denting piring yang terkena sendok makan yang sesekali terdengar.
Angin pagi hari itu berhembus lembut. Matahari bersinar cerah. Lalu lalang kendaraan belum begitu ramai. Rumah makan itu seperti surga bagi mereka yang pagi hari ini dilanda kelaparan.
Seorang bocah kecil buru-buru menyelesaikan makannya. Setengah porsi makan masih tersisa di atas piring. Ia membiarkannya, sambil memegangi perut. Tanda kalau ia sudah kenyang.
Seorang bapak yang duduk di sampingnya memerhatikan dengan seksama. Lalu ia bertanya, “mengapa tidak dihabiskan?”
“Sudah kenyang, Yah.” Jawab bocah kecil itu.
Bapak itu melirik kepada istri tercintanya yang duduk di sebelah kanan. Sang istri menghindari tatapan matanya. Langsung ia memberi isyarat dengan tangannya. Ia sudah paham, tatapan mata seperti itu merupakan sebuah bentuk permohonan.“Ibu juga sudah kenyang, Yah.” Katanya.
Sang bapak yang dipanggil ayah oleh istri dan anak tercintanya mengambil seonggok sisa makan anak perempuan tercintanya. Sambil berdalih, “lain kali, kalau makan ambil secukupnya. Jika begini, (sambil memberi isyarat pada piring makan milik anaknya) sayang jadinya. Itu sama saja membuang rizki kita untuk besok,” tuturnya begitu santun. Lalu si Bapak menyatap sisa makan milik anak tercintanya dengan sisa kekuatan yang masih ada.
Setelah dirasa cukup, mereka melanjutkan perjalanan. Rupa-rupanya keluarga ini adalah keluarga yang sangat baik. Umunya sebuah keluarga apabila naik mobil, posisi duduk istri di sebeah suami, dan anak duduk di belakang. Namun tidak untuk keluarga ini, istri mengambil posisi duduk di belakang bersebelahan dengan teman saya. Sementara di bagian depan adalah anak dan suami yang menyetir kendaraan.
“Us,” sapa ibu itu kepada teman saya, “suami saya memang kaya gitu. Jangan kaget ya. Setiap kali anaknya makan tidak habis, pasti suami yang menghabiskan. Saya kalau ke mana-mana diminta membawa Tupper Ware. Katanya biar makanan yang tersisa tidak terbuang percuma.” Teman saya hanya menjawab dengan senyum ringan.
Dalam percakapan menjelang tidur itu, teman bercerita. Ia merasa kagum dengan keluarga ini. Meskipun mereka adalah keluarga yang kaya raya, namun sikap hidupnya sangat sederhana. Tidak pernah mereka membuang begitu saja sisa makanan. Sebab menurut mereka sisa makanan yang dibuang cuma-cuma, akan menutup rizki untuk esok harinya.
Suara nyamuk yang lalu lalang terbang di atas kepala, memotong pembicaraan kami. Cerita itu membawa kami pada sejuta mimpi dan angan.
Sudut Jalan Pungkuran
11 Mei 2010
(05.00wib)