Senin, 15 April 2013

Cerita Gadis Penjaja Kue


Oleh: Rosyidah Purwo

Ini adalah sebuah kisah nyata. Tidak direkayasa atau direka-reka. Gadis itu bernama Sari. Saat itu ia berumur 13 tahun. Usia SMP tentunya. Keadaan ekonomi yang cukup mapan telah memberinya kehidupan yang berbeda dari anak-anak se-uisnya pada masa itu.
Bapaknya yang bekerja sebagai PNS sekaligus pengusaha dan ibunya sebagai ibu rumah tangga, cukup sekali untuk memenuhi kebutuhan ekonomi pada masa itu. Masa itu adalah 1990-an. Masa di mana orang-orang kampung di tempat saya tinggal belum mengerti apa itu TV. Apa itu telephon. Di usianya, Sari sudah mengenal telephon apalagi TV.
Malam itu begitu syahdu. Alunan music kitaro yang diputar teman saya mengalun indah dan…penuh harmoni. Sesaat anganku melayang pada sebuah masa lalu. Dengan gesit, jujur, dan lancar gadis itu mengurai ceitanya satu persatu runtut dan tak pernah bohong. Aku menitikkan air mata. Terharu dan…sedih.
Cerita ini membuka pikiranku sedalam-dalamnya. Ternyata apa yang aku lakukan dan aku pikirkan selama ini sungguh sangaaaaat jauh lebih menyenangkan dari pada perjuangan seorang gadis bernama Sari untuk tetap memertahankan dirinya agar tidak tergusur dari bangku kuliah.
Saat itu, aku dan keluargaku adalah sebuah keluarga yang kaya raya dan angat, sangat berkecukupan. Saking kayanya aku hampir tidak pernah mengurus diriku sendiri. Hampir setiap kebutuhan hidup dan keperluan yang menyangkut diriku pembantu yang mengurusnya. Bahkan aku sendiri tidak pernah paham dengan apa saja yang aku miliki.
Aku tidak pernah mandi sendiri, tidak pernah makan, dan pakai baju sendiri. Semua kebutuhan hidupku dipenuhi oleh pembantuku. Bahkan sampai tidur-pun aku ditidurkan oleh pembantuku. Karena hal ini aku tumbuh menjadi seorang remaja yang manja, egois, dan tidak pernah memiliki rasa empati sedikitpun pada orang susah.
Aku membenci pengamen, dan pedagang-pedagang di pasar. Aku menganggap orang-orang seperti mereka adalah orang-orang malas yang usahanya kurang gigih.
Aku memiliki segalanya. Kamar dan rumah yang besar dan mewah. Aku sungguh tidak kekurangan sedikitpun. Baju yang aku miliki sangat banyak jumlahnya. Aku tidak mau memakai baju ini, baju itu. Aku berganti baju sampai berkali-kali sampai membuat pembantuku sangat kesal dan hampir marah saat itu.
Sungguh tidak pernah merasakan sedikitpun apa yang dirasakan oleh pambantuku. Yang aku tahu saat itu pembantu ya tugasnya memang seperti itu. Harus mau menjadi pelayan sampai yang dilayani merasa puas.
Sebuah kejadian yang tidak disangka-sangka menimpa keluargaku. Papa bangkrut. Benar-benar bangkrut. Rumah disegel, bahkan ibaratnya sampai baju yang aku pakai saat itu-pun disegel. Aku dan keluargaku saat itu tidak memiliki apapun. Aku benar-benar terusir dan terbuang.
Lalu orang tuaku menghubungi saudaranya. Aku dan orang tuaku tinggal di rumah saudara. Aku merasa beruntung karena masih memiliki saudara yang masih berbaik hati untuk mau menampung aku dan keluargaku.
Aku dan keluarga ditempatkan dalam sebuah ruang yang cukup lebar. Di ruangan itu kami tinggal dalam kurun waktu yang cukup lama. Dalam ruangan itu kami jadikan sebagai tempat tidur sekaligus ruang makan dan dapur.
Jika malam datang kami tidur impit-impitan seperti pindang dipepes. Dalam kondisi yang seperti itu, aku masih merengek-rengek minta tempat yang lebih luas. Sebab jika aku dan keluargaku tidur, kaki dan kepala empet-empeten hampir tidak dapat bergerak.
Tinggal ditempat orang, meskipun saudara sendiri rasanya tidak enak. Seolah-olah aku dan keluarga tidak mampu untuk hidup mandiri. Atas usaha papa, kami diberi rumah dinas.
Tinggal di rumah dinas sedikit lebih enak dan tenang dibandingkan menumpang di rumah orang. Aku dan keluarga menjalani kehidupan seperti baisa.
Sebuah kondisi perekonomian yang tidak diinginkan menimpa lagi. Dua adikku sudah saatnya masuk SMA dan SMP, sementara aku masih duduk di bangku kuliah saat itu aku masih semester 5.
Mama meminta aku untuk berhenti kuliah dulu. Aku tidak sanggup mendengarnya. Namun keinginanaku untuk tetap kuliah sangat tinggi.
Nah, pada masa inilah aku dipaksa oleh sebuah keadaan untuk belajar menggunakan otak saya. Aku bekerja keras memutar otak agar aku tetap mampu kuliah.
Suatu saat aku teringat akan keterampilan mama membuat kue. Dari sini akau meminta kepada mama agar aku diajari membuat kue. Aku belajar dengan giat membuat kue. Pertama hasilnya kurang memuaskan.
Dari hasil itu aku pasarkan sendiri. Aku menjajakan sendiri kue-kue hasil buatanku. Dari toko satu ke toko yang lain. Aku berangkat kuliah pagi-pagi. Aku berjalan dari pintu kost-ke pintu kost yang lain untuk menjajakan kue hasil buatanku. Dari hasil ini aku mampu memeroleh uang.
Aku memiliki cerita yang unik dari usaha ini. Suatu hari aku menjajakan kue ke sebuah toko, “Bu, Kuenya, Bu. Enak loh.” Kataku saat itu sambil membawa dua keranjang penuh donat.
Ibu itu lalu berkata, “kue apa si, MBak?” aku sangat senang sekali ditanya seperti itu. Ada sebuah harapan menggantung di sana, asyiiik ada yang bertanya. Mudah-mudahan ia mamu membeli. Batinku girang, sambil mengembangkan senyum manis bahagiaku.
“Ini, Bu. Kue donat. Kaalu boleh saya mau nitip di sini.” Kataku sambil tersenyum gembira. Lalau ibu itu melihat kue-kue buatanku. Ia mencoba satu.
“Ah, kue seperti ini sudah banyak dititipin di sini, Mbak. Tuh lihat. Masih utuh ndak ada yang beli.” Kata ibu itu. Aku melihat pada kue-kue yang ditunjukkan oleh ibu pemilik toko tersebut. Harapanku seketika itu pupus.
“Dek, kok nggak sekolah?” tanya ibu pemilik toko itu, yang tiba-tiba mengubah sapaannya menjadi, Dek. Sapaannya sempat membuyarkan lamunanku. “Iya, ini aku jualan dulu agar bisa sekolah.” Jawabku polos dan sedih. Aku tidak memiliki harapan apa-apa atas ceritaku ini, namun sebuah keajaiban terjadi. Ibu itu menaruh simpati kepada saya. “ Dek, taruh saja kue-kue itu di sini. Biar nanti ibu bilang ke tetangga. Pasti ada yang mau beli.”
Pyar! Sebuah cahaya hidup menerangi hati dan pikiranku saat itu. Kakiku terasa ringan dibawa berjalan untuk pulang.
“Iya, Bu” jawabku senang.
Suatu ketika, aku naik bus. Rambut panjangku tergerai indah saat itu. Sebab saat itu aku belum mengenakan jilbab. Tiba-tiba seorang pengamen memegang rambutku. Aku sangat benci pada pengamen itu. Lalu, saat pulang aku potong rambut sangat pendek!
Suatu hari, aku naik bus dengan membawa satu keranjang penuh kue donat buatanku. Aku duduk di sebelah seorang bapak muda. Ia membawa gitar usangnya. Aku sudah menduga ini adalah seorang pengamen. Teringat akan “tragedy rambut”, aku duduk agak menjauh dari bapak pengamen tersebut.
“Bawa apa, Mbak?” tanyanya, mengejutkan lamunanku.
“Kue, Pak” jawabku datar.
“Boleh saya lihat, Mbak.” Mengingat saat itu aku sedang membutuhkan sekali uang dan posisiku adalah sebagai penjual kue keliling, aku buang jauh-jauh rasa jijik dan benciku sesaat pada pengamen itu. Sambil ia mencoba satu biji kue donat buatanku, ia berkata, “Mbak, nggak sekolah?”
“La ini aku mau berangkat sekolah, tapi sambil jualan, Pak. Buat nanti uang saku saat pulang.”
Aku tidak menduga sama sekali kalau pengamen itu akan memborong semua kue-kue buatanku. Saat itu lah pikiranku mulai dibuka dan hatiku mulai menempatkan pengamen-pengamen jalanan. Ah, ternyata orang-orang seperti ini, terkdang malah merekalah yang memiliki hati, batinku saat itu. Saat itu pula pikiran jelek tentang pengamen yang selama ini aku simpan baik-baik di lubuk hatiku yang paling dalam, aku buang jauh sejauh-jauhnya.
Suatu saat. Aku sedang berdiri di pinggir jalan, seorang ibu menggendong keranjang besar menyapaku.
“Bawa apa, Mbak?” tanyanya.
“Kue, Bu. Mau nyobain?” jawabku datar dan biasa-biasa saja. Saat itu tak terbesit sedikitpun harapan agar ibu itu mau membeli kue milikku. Ibu itu berkata,
“boleh nyoba, Mbak?” tanyanya kelelahan.
“Ya,” jawabku singkat. Pandanganku tetap tertuju pada jalan raya besar yang dipenuhi lalu lalang kendaraan. Sebab aku ingin sekali bus segera datang. Sehingga aku bisa sampai ke rumah lebih awal. Sebab di rumah agenda membuat kue masih menunggu.
“Nggak sekolah, Mbak?” tanyanya.
“Sudah pulang, Bu. Ini mampir jualan kue dulu,” jawabku ringan. “O iya, Bu. Enak apa nggak kuenya?” tanyaku dengan sedikit ada harapan, ibu ini akan membeli kue-kue milikku yang masih banyak.
“Mbak, boleh ibu beli semua kue-kue ini?” tanyanya. Hampir aku tidak percaya.
“Ya, boleh, Bu. Kebetulan sekali malah.” Jawabku girang dan senang. Aku mengembangkan senyum. Tangaku gemetaran saking senangnya. Detik itu juga, aku mendapat pelajaran baru lagi. Ternyata orang-orang seperti ini lah yang justru member jalan terang bagi orang-orang yang sedang kesulitan. Detik itu juga aku tepis jauh-jauh pikiran buruk tentang ibu-ibu yang berpenampilan kumuh dan tidak rapi.
Ibu-ibu yang dulu aku benci penampilan dan cara bergaulnya, pengamen-pengamen yang dulu aku anggap sebagai pemalas yang kurang kerjaan, adalah malaikat-malaikat penolong yang mampu memberiku jalan terang. Sejak saat itu, aku tidak lagi memiliki anggapan buruk tentang pengamen dan ibu-ibu berpenampilan buruk.
Terlahir sebagi anak PNS tidaklah seindah yang dibayangkan oleh kebanyakan orang. Karena aku terlahir sebagai anak PNS, justru mempersulit jalan hidupku di dunia kampus.
Karena keadaan ekonomi yang tak kunjung pulih, aku memberanikan diri untuk mengajukan beasiswa. Siapa yang menyangka pengajuan beasiswaku ditolak mentah-mentah oleh pihak universitas. Alasan mereka adalah karena aku anak PNS. Aku menangis sejadi-jadinya saat itu. sebab aku benar-benar membutuhkan suntikan dana.
Aku mengajukan beasiswa lagi dengan membawa surat keterangan tidak mampu dari desa setempat. Tetap saja pengajuan beasiswaku ditolak mentah-mentah. Alasannya masih sama, adalah akrena aku anak seorang PNS. Namun aku bukanlah gadis yang pantang menyerah. Diantara puing-puing harapan yang sudah hancur luluh, aku bawa dua keranjang kue dagangku. Aku bawa dagangan saya ke kantor dekan.
“Pak, lihat ini, Pak,” kataku menggebu pada pak dekan yang saat itu sedang duduk manis di kursi empuknya.
“Apa in, Mbak?” tanya dekan saya datar dan ringan
“Pak tolong lihat ini. Ini adalah mahasiswa bapak. Apa hanya karena hal seperti ini, mahasiswa bapak harus kehilangan kesempatan untuk tetap kuliah,” aku member jeda sebentar pada kata-kataku yang hampir tidak keluar kerena isak tangis yang tertahan, “saya jualan kue.
Saya menjajakannya dari pintu ke pintu, dari kost ke kost,” tangisku hampir meledak saat itu. namun aku tahan agar tidak sampai menangis, “memang saya adalah anak seorang PNS, tapi kondisi perekonomian tidak mendukung saya untuk tetap bisa kuliah,” aku beri jeda sesaat untuk mengumpulkan kekuatan agar aku tetap bisa mengeluarkan kata-kata, “saya jualan demi tetap bisa bertahan di sini, Pak!” tangisku meledak.“Nama kamu siapa?”
“Anindya Purbasari.” Di antara isak tangis aku mencoba menjawab pertanyaan pak dekan.
“Baiklah, tunggu ada pengumuman beasiswa, nanti kamu yang akan saya utamakan.”
Bagai terbang di atas awan rasanya saat itu. Tubuhku ringan seperti berjalan tanpa beban. Pengajuan beasiswaku ada harapan diterima tahun depan.
Akhirnya, aku mampu menyelesaikan kuliah setelah melalui masa-masa yang sangat pahit. Sekarang keinginann terkuatku adalah, mempertahankan jilbab yang sudah aku kenakan. Aku meminta ijin kepada papah (suami saya) untuk tetap mengenakan jilbab, dan meminta agar papa, memberiku ijin bekerja pada sebuah lembaga pendidikan yang religious.

Cerita malam terahir seorang ibu muda yang ingin membesarkan anaknya
Rumah Keong, Purwokerto, 24 Juni 2010
18.29wib
The End

Tidak ada komentar: